Era reformasi membuka pintu kemerdekaan pers. Media menjadi sangat bebas. Di masa pemerintahan Presiden BJ Habibie dibuka peluang munculnya 5 stasiun TV swasta baru, yaitu: Trans-TV, TV-7, Gobal-TV, LaTV dan Metro-TV. Kemunculan 5 stasiun TV baru ini menambah semaraknya TV swasta yang telah lebih dulu ada (RCTI, TPI, SCTV, ANTV dan Indosiar).
Berdasarkan UU nomer 24 tahun 1997, pendirian 5 stasiun TV baru itu masih menggunakan pendekatan yang sentralistis. Itulah sebabnya salah satu syarat untuk mendapatkan izin siaran adalah: jangkauan siarannya harus nasional. Dengan demikian kelima stasiun TV baru itu diwajibkan untuk membangun stasiun-stasiun relay di berbagai kota. Tujuannya adalah agar program yang disiarkan dapat disaksikan oleh sebanyak-banyaknya pemirsa, sementara pengelola siarannya tetap berada di Jakarta.
Pada awalnya kewajiban membangun stasiun-stasiun relay itu sangat memberatkan, mengingat investasi yang ditanam di situ tidak kecil. Sementara pemasukan dari iklan masih belum mencukupi untuk menopang beaya operasional dan lain-lain. Namun kewajiban tetap harus dilaksanakan, karena membangun stasiun relay adalah sebuah mandat. Maka sedikit demi sedikit akhirnya terbentuklah infrastruktur jaringan TV swasta nasional yang kemudian menjadi sangat solid seperti sekarang ini.
Dengan kemampuan permodalan yang cukup besar, masing-masing stasiun TV swasta nasional itu mampu membayar jasa konsultan untuk melakukan survey, menentukan program yang terbaik dan memilih teknologi yang tepat untuk itu. Wal hasil kualitas penerimaan sinyalnya cukup bagus, isi programnya disukai pemirsa, sehingga mampu mendatangkan pemasang iklan yang besar.
Di antara sesama TV swasta nasional itu sendiri terjadi persaingan yang sangat ketat. Maka tidak mengherankan bila mereka kemudian saling berlomba untuk menjadi yang terdepan. Masing-masing mengerahkan sumber daya terbaiknya untuk menduduki posisi yang tertinggi.
Rating adalah salah satu tolok ukurnya. Rating tinggi berarti program yang ditayangkan disukai pemirsa. Kaitannya adalah para pemasang iklan juga ikut berlomba untuk memasang iklan di program-program yang disukai pemirsa itu. Satu hal yang paling menguntungkan bagi pemasang iklan adalah bahwa iklannya itu disiarkan juga di semua stasiun relay yang tersebar di banyak kota. Oleh karena itu meskipun harga iklan sangat mahal, namun setimpal dengan apa yang dicapai, yaitu jumlah pemirsa yang menyaksikannya sangat banyak. Dengan demikian rasio atas harga iklan terhadap jumlah kepala yang menyaksikannya menjadi sangat rendah.
Lalu bagaimana dengan TV lokal? Bagaimana TV lokal bisa bersaing dengan TV nasional yang sudah lebih dulu eksis?
Posisi TV nasional yang sudah begitu kuat, karena didukung oleh kekuatan modal dan SDM yang handal, sangat sulit ditandingi oleh TV lokal masih baru belajar. Sementara Menutup stasiun relay daerah, jelas bukan pilihan. Sebab sejarah berdirinya stasiun relay itu adalah kewajiban.
Maka mau tidak mau TV lokal harus bersaing secara “head-to-head” dengan TV nasional di wilayah jangkauan yang sama. Dengan modal dan SDM yang terbatas, TV lokal jelas bukan lawan tanding TV nasional. Akhirnya ya blunder. Membuat program yang bagus tidak bisa, karena modal yang terbatas, sehingga program yang disairakan tidak ada yang menonton. Tidak ada yang menonton berarti tidak ada pemasukan dari iklan. Tidak ada pemasukan berarti tidak ada modal untuk membuat program yang bagus. Jadi muter-muter saja di situ, seperti lingkaran setan.
Maka makin terjepit lah kondisi mereka sehingga cukup banyak TV-TV lokal yang hidupnya segan matipun tak mau. Malah banyak juga yang akhirnya diakuisisi oleh group lain yang lebih besar.
Kondisi ini sebetulnya telah diperbaiki dengan hadirnya UU nomer 32 tahun 2002, dimana dalam pasal 20 ditegaskan bahwa: Lembaga Penyiaran Swasta hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran.