Manusia, apakah kita sudah sebetulnya menjadi manusia? Apakah kita hanya tahu saja bahwa manusia itu hanya sebatas nomenklatur saja? Atau bahkan kita juga tidak tahu apa itu nomenklatur? Sebuah pepatah pernah mengatakan, “benar dan salah-nya perjalanan hidup-mu itu tergantung seberapa jauh kamu mengenali dirimu.”
Manusia merupakan sebuah karya tuhan yang maha esa. Karya ini lalu disebut dengan makhluk. Kemudian sebutan makhluk ini dinisbatkan kepada sebutan khalik, artinya ciptaan dari sang pencipta. Bermula dari sang khalik menciptakan Nabi Adam a.s, lalu dilanjut dengan menciptakan Siti Hawa a.s. Keduanya merupakan bentuk simbolis dari sang khalik untuk kemudian dijadikan sebagai kholifah atau pemimpin di bumi.
Dari sanalah bermula adanya manusia pertama sekaligus pendampingnya, yaitu Nabi Adam a.s dan Siti Hawa a.s. Sebetulnya, penulis sendiri tidak bermaksud untuk menjelaskan secara detail terkait historis dari Nabi Adam a.s dan juga Siti Hawa a.s, karena pasti kita semua sudah pasti tahu akan historis-nya. Baik melalui Al-Quran, Al-Hadist, ataupun cerita cerita yang terdapat pada buku cerita para nabi. Akan tetapi, penulis sendiri bermaksud untuk menuliskan secara definisial serta referensial adanya sebutan manusia.
Manusia merupakan bahasa adopsi dari bahasa Al-Quran, yaitu dari lapadz “Naasa”. Lapadz “Naasa” ini sebetulnya juga dari lafadz “Nawaasa”, yang kemudian di dalam ilmu nahwu ini diganti haraf “wau” nya dengan alif. Karena berdasarkan kaidah “al-alifu uhtun fatah”, artinya alif itu merupakan saudara fatah. Oleh karena dalam lafadz “Nawaasa” itu terdapat baris fatah diatas haraf “wau”, maka haraf “wau” itu diganti dengan haraf “alif” sukun, maka menjadi “Naasa”.
“Naasa” ini kemudian memiliki makna dalam penafsiran secara tekstual Al-Quran yaitu, manusia. Tapi, sebetulnya lafadz “Naasa” ini secara harfiah mengandung makna yang berbeda, yaitu lupa atau pelupa. Mengapa pula berbeda? Sebetulnya ini selaras dengan penyebab Nabi Adam a.s dan Siti Hawa a.s dikeluarkan dari surga oleh Alloh SWT. Penyebab-nya yaitu dari kedua-nya melanggar aturan dari Alloh SWT untuk tidak mendekati bahkan memakan buah khuldi. Padahal sebelumnya Alloh SWT sudah mengingatkan dan memperingatkan terhadap kedua-nya untuk tidak mendekati dan memakan buah itu. Tapi barangkali karena kedua-nya lupa di sisi lain juga di hasut oleh syitan akan peringatan tersebut, maka kedua-nya pun melanggarnya dan pada akhirnya mendapatkan teguran dari Alloh SWT sehingga kedua-nya di turunkan ke bumi.
Dari historis tersebutlah lafadz “Naasa” ini kemudian mempunyai kandungan makna sebagai pelupa. Bahkan tidak hanya di maknai sebagai pelupa saja, ”Naasa” ini juga berdasarkan historis di atas dimaknai sebagai “khoto”, yaitu pelaku kesalahan. Definisal ini-pun diperkuat dengan argumentasi dari salah satu seorang ulama fiqh, yaitu Sayyid Abdulloh bin Husain bin Thahir Ba’alawi al-Hadhrami melalui karangan salah satu kitab-nya yaitu kitab Sullamut Taufiq ila Mahabbati-Lah ‘alat-Tahqiq. Dalam kitab ini termaktub definisi tentang “Naasa” ataupun manusia, yaitu Al-insanu Mahalul Khoto’ wal Nisyan, artinya “manusia adalah tempat (pelaku) salah dan lupa. Jadi, jangan heran ketika ada manusia yang berbuat kesalahan dan lupa akan segala kewajiban dan tanggung jawab diri-nya, karena pada dasarnya secara definisi di atas seperti itulah manusia. Definisi ini pun menjadi suatu pemahaman bagi manusia itu sendiri terkait kemanusiaan-nya. Definisi ini juga sekaligus diperkuat dengan adanya historis dan sebuah argumentasi di atas.
Kemudian, kenapa pula ada sebutan manusia? Sebetulnya sebutan manusia itu hanya sebatas sebutan bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat indonesia. Hal ini pun disebut sebagai “nomenklatur”, yaitu sebutan untuk satu predikat tertentu. Artinya sebutan manusia ini hanya sebatas predikat saja terhadap kita sebagai salah satu makhluk Alloh SWT.
Kendati demikian, definisi tentang manusia bukan hanya sebagai nomenklatur dan sebagai pelaku kesalahan serta pelupa saja. Melihat daripada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), manusia adalah makhluk yang berakal budi. Dalam definisi ini terdapat dua point, yaitu akal dan budi. Pertama, akal adalah kemampuan manusia untuk berpikir, memahami, dan memecahkan masalah. Kedua, budi adalah kemampuan manusia untuk merasakan, memahami, dan mengambil tindakan yang baik. Kedua hal ini juga diterangkan oleh seorang filsup kontemporer, yaitu Muhammad Mufid melalui sebuah karya bukunya yang berjudul “Etika dan Filsafat Komunikasi.”
Dalam buku tersebut Mufid menuliskan bahwa sudah menjadi kodrat manusia menjadi seorang makhluk yang berakal budi (homo rationale). Kendati demikian, definisi manusia tidak sesederhana itu, bahkan bisa di katakan cukup kompleks juga. Banyak sekali definisi-definisi dan pemahaman-pemahaman tentang manusia itu sendiri. Seperti yang pernah di katakan oleh Aristoteles, bahwa manusia merupakan gabungan dari beberapa jiwa. Sebagaimana dijelaskan Prof. Onong, manusia mempunyai tiga anima (jiwa), yakni:
Anima avegatativa/jiwa vegetatif “tumbuh-tumbuhan”
Manusia sebagai makhluk Alloh SWT mempunyai kesamaan dengan tumbuhan. Sehingga jiwa bahkan karakter yang di miliki oleh tumbuhan manusia juga memilikinya. Fungsi daripada jiwa tumbuhan ini adalah membutuhkan makan, tumbuh dan berkembang biak. Begitupun kita sebagai manusia, kita butuh untuk makan sebagai upaya pemenuhan nutrisi di dalam tubuh kita, sehingga manfaat-nya kita akan memiliki tenaga untuk bekerja. Pertumbuhan serta perkembang biakan juga perlu kita lakukan. Karena sebagai bentuk usaha kita menjaga dan melahirkan spesies atau turunan kita kedepan-nya.