Mahasiswa merupakan gabungan dari dua kata yaitu, “maha” dan “siswa”. Maha yang berarti lebih, penting, dan mempunyai kedudukan yang tinggi. Dan siswa yang berarti seseorang yang sedang menempuh pendidikan, atau biasa dikenal dengan pelajar. Jadi, kata “mahasiswa” berarti seorang pelajar yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelajar lainnya dengan dibuktikan bahwa ia (mahasiswa) sedang menempuh di perguruan tinggi. Adapun mahasiswa secara harfiah adalah seseorang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas (negeri atauapun swasta), institut ataupun di ruang akademik.
Mengutip dari Siregar, 2006 Kartono pernah menyebutkan, bahwasanya mahasiswa merupakan anggota masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tertentu, antara lain:
- Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi, sehingga dapat digolongkan sebagai kaum intelektual.
- Mempunyai kesempatan menjadi seorang pemimpin yang mampu dan terampil, baik sebagai pemimpin masyarakat ataupun dalam dunia kerja.
- Diharapkan dapat menjadi daya penggerak yang dinamis bagi proses modernisasi.
- Diharapkan dapat memasuki dunia kerja sebagai tenaga yang berkualitas dan profesional.
Selain pada penjelasan diatas, mahasiswa juga diatur dalam UU No.12 Tahun 2021 tentang Perguruan Tinggi. Dalam Pasal 1 ayat 15 yang berbunyi “mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang Pendidikan Tinggi. Dengan demikian, bisa kita pahami bahwasanya mahasiswa itu bukan hanya sekedar identitas atau bahkan sebutan saja. Akan tetapi, untuk menjadi seorang mahasiwa perlu beberapa syarat dan kriteria yang perlu dipenuhi.
Sebelum berlanjut pada pembahasan selanjutnya, disini penulis ingin memperkenalkan identitas penulis sendiri yang memang berhubungan dengan konteks “mahasiswa”. Penulis merupakan mahasiwa disalah satu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang ada di Jawa Barat. Tepatnya di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Penulis sendiri masih pada jenjang akhir semester dua, dan tepatnya pada awal September 2024 nanti penulis memasuki awal semester tiga. Penulis mengambil Program Sarjana Satu (S1) pada Program Studi Ilmu Komunikasi Hubungan Masyarakat, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Dakwah & Komunikasi. Penulis juga aktif di berbagai Organisai Kampus, baik intra ataupun ekstra. Kendati demikian, penulis sendiri masih meraba-raba dalam penyesuain diri dengan lingkungan di kampus. Selalu mencoba hal-hal yang baru dan menarik, baik tentang suatu kegiatan, kepanitiaan, aktivitas didalam kampus dan diluar kampus.
Disisi lain, penulis juga melakukan analisis terhadap seluruh kegiatan kampus yang berhubungan dengan mahasiswa, seperti kegiatan pembelajaran didalam kelas. Pembelajaran didalam kelas ini meliputi persentasi, diskusi, dan adu argumentasi. Hal ini merupakan kebiasaan-kebiasaan yang perlu dipertahankan didalam bangku perkuliahan. Karena pada dasarnya dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut, itu menjadi suatu upaya dan langkah awal bagi para mahasiswa dalam melatih kecerdasan “intelektualitas-nya” dan kecerdasan “emosionalitas-nya”. Namun, tidak sedikit dari kalangan mahasiswa yang mengeluh atas adanya kegiatan tersebut (persentasi, diskusi, dan adu argumentasi) karena ditimbulkan dari rasa kecemasan, ketakutan, dan bahkan kemalasan. Kecemasan dikarenakan ketidak percayaan diri dalam persentasi ataupun penyampaian materi. Ketakutan dikarenakan disuguhkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang kritis dan sulit dan harus beradu argumentasi dengan teman kelasnya. Sedangkan kemalasan dikarenakan dari dua hal sebelumnya, sehingga dampaknya dari awal mencari bahan materi sampai pada pemaparan materi, menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan bahkan adu argumentasi mahasiswa tersebut sepenuhnya menggunakan jalan alternatif yaitu dengan menggunakan internet dan “Artificial Intelligence” atau AI.
Hal inilah yang melatarbelakangi penulis mangangkat tema dan topik pembahasan tentang “Siapakah Sebenarnya Mahasiswa Itu?”. Dilihat dari kejadian-kejadian yang ada, bahkan kemungkinan disetiap bangku perkuliahan, hal tersebut sudah menjadi “habit” yaitu kebiasaan baru mahasiswa yang akhirnya dinormalisasikan olehnya. Dengan dalih “Jika ada yang mudah kenapa harus yang sulit, jika ada yang praktis kenapa harus yang rumit, jika ada AI kenapa harus literasi atau berpikir kritis”. Dalih-dalih tersebut seringkali menjadi alasan yang mendasar bagi mereka untuk tidak ingin berpikir kritis, tidak ingin berliterasi, seperti membaca buku dan berdiskusi dengan orang-orang yang mumpuni pada kedisiplinan ilmu tertentu.
Kebiasaan-kebiasaan seperti itu jangan pula dibiarkan atau bahkan dinormalisasikan. Karena sangat bertolak belakang dengan “khittah” mahasiswa, yaitu garis besar perjuangan dan gerakan mahasiswa yang terjadi pada gerakan Budi Utomo di Indonesia pada tahun 1908 hingga reformasi, bahwasanya mahasiswa sebagai ujung tombak dalam perubahan sosial, sehingga perlu memiliki kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan. Salah satu yang menjadi upaya dan langkah awal mahasiswa memiliki kemampuan tersebut adalah mempunyai pikiran yang kritis.
Pikiran kritis sendiri bukanlah warisan dari siapa kamu lahir atau siapa orang tuamu. Melainkan dari pembentukan diri kamu sendiri sejak hari ini, dengan menggiatkan berliterasi seperti membaca buku, berdiskusi, mendengarkan ide dan gagasan gagasan orang lain hingga saling bertukarnya pemikiran. Dan apakah menggunakan AI itu salah? Tidak selamanya salah, justru dengan adanya AI kita bisa berkolaborasi dalam pencarian data dan fakta terkait referensi dari suatu argmentasi. Yang salahnya itu adalah ketika kita sepenuhnya mengandalkan AI tanpa adanya keterlibatan kemampuan intelektualitas kita sendiri, sehingga dampaknya kita mempunyai ketergantungan terhadap AI, baik dalam aspek pendidikan ataupun sosial.
Maka daripada itu, penulis menawarkan upaya dan strategi dalam meningkatkan pikiran kritis kita sebagai mahasiswa dengan mempokuskan pada peningkatan dua kecerdasan, yaitu pertama dalam peningkatan kecerdasan intelektualitas dan yang kedua dalam peningkatan kecerdasan emosionalitas.
Sebelumnya kita harus mengenali apa yang dimaksud dengan kecerdasan intelektualitas bukan? Maka berdasarkan hasil dari litaratur penulis, penulis melansir dari Simply Psychologi, kecerdasan intelektualitas adalah kemampuan mental untuk berpikir logis, melakukan pertimbangan, problem-solving, dan membuat rencana. Dengan demikian, kecerdasan intelektualitas ini bisa dikatakan sebagai kemampuan kognitif kita sebagai “insani” yaitu manusia.