Mohon tunggu...
Mas Top
Mas Top Mohon Tunggu... Petani - Mari mendongeng

Hidup berasama alam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Potret Hasil Dunia Pendidikan Kita

14 Desember 2019   22:14 Diperbarui: 14 Desember 2019   22:19 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sekitar dua pekan, Andi seorang keponakan saya hanya mondar-mandir dengan sepeda motornya. Sesekali memboncengkan sebongkok rumput hijau untuk pakan kambing. Cara membawa rumput begitu kaku, pertanda ia tak terbiasa atau mungkin tak terlalu suka dengan pekerjaan itu.Andi merupakan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sekitar 6 bulan yang lalu. Sejatinya ia telah mendapatkan pekerjaan sebulan yang lalu. Sebuah kafe di Yogyakarta katanya menjadi tempat kerjanya. Sampai sekarang saya tak tahu pasti, apa yang menyebabkan ia meninggalkan pekerjaan itu.

Sebelum mendapatkan pekerjaan itu, ia sempat meminta saran untuk mencari pekerjaan. Kemudian saya berikan beberapa nama perusahaan yang juga berada di Yogyakarta. Termasuk bekas perusahaan tempat saya dulu bekerja. Meskipun kecil, tempat dulu saya bekerja tersebut sangat sesuai dengan jurusan Teknik Mesin yang ia ambil.

Akan tetapi, sepertinya ia tak terlalu tertarik dengan saran yang saya berikan, termasuk bekas tempat saya bekerja tersebut. Katanya, ia tak mampu mengoperasikan berbagai mesin pekakas yang telag ia pelajari selama 3 tahun tersebut. Dan hal semacam inilah yang membuat saya trenyuh. Sekolah tiga tahun dengan biaya yang begitu mahal, sekadar mengoperasikan beberapa jenis mesin pun tak mampu.

Saya pun teringat pengalaman sekian tahun lalu ketika menyelesaikan sekolah pada tempat yang sama dengan Andi ponakan saya itu. Itu sekitar 12 tahun yang lalu. Waktu itu dari sekitar 120 murid di jurusan teknik mesin, tak ada 10 orang yang mampu mengoperasikan mesin yang telah dipelajari selama 3 tahun tersebut. Bahkan itu hanya untuk 2 jenis mesin saja. Dan dari 120 murid tersebut, hanya sekitar 25% yang kemudian mendapat pekerjaan yang semestinya.

Memang ada faktor penyebab kenapa hal tersebut sampai terjadi. Akan tetapi proses pendidikan merupakan faktor terpenting yang menjadi penyebab kegagalan tersebut. Proses pendidikan semestinya menciptakan kemampuan dari ketidakmampuan. 120 orang kawan saya pada awalnya juga merupakan orang yang tak tahu menahu soal mesin perkakas. Dan ketika dari lulusanya tidak ada 10% yang mampu mengetahui soal mesin pekakas, apakah bisa dikatakan berhasil?

Keterampilan merupakan hal terpenting yang menjadi tolak ukur dari sebuah sekolah kejuruan. Meskipun keterampilan ini belum tentu terpakai dalam dunia kerja selanjutnya. Akan tetapi dalam konteks keberhasilan Sekolah Kejuruan, tentu saja sangat penting untuk dibicarakan. Kemudian hal berikutnya adalah etos kerja dan kedisiplinan. Dua hal ini tentu saja sangat di perlukan dalam dunia kerja.

Melihat dari cerita Andi diatas, ia tentu saja belum memiliki tolak ukur itu. Meskipun hal itu bukan tolak ukur untuk masa depannya, tetapi itulah tolak ukur kegagalan dunia pendidikan negeri ini. Dunia pendidikan belum mampu menciptakan kemampuan dari ketidak mampuan. Ketika hal semacam ini masih berlangsung dan tak ada perubahan, akankah kita mampu bersaing dengan bangsa lain?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun