Menjadi negara yang masuk negara lima besar tentu akan membuat rakyat bangga. Namun lain ceritanya jika masuk lima besar dalam urusan korupsi. Jujur sebagai rakyat Indonesia saya malu akan prestasi ini. Namun sepertinya hal ini sepertinya dianggap biasa-biasa saja oleh para petinggi kita. Bagi mereka prestasi lima besar itu justru membuat mereka bangga.
Bermacam macam alasan untuk membenarkan perilaku korupsi ini. Mulai dari warisan kolonial, sampai dengan banyaknya penduduk Indonesia. Kalau bicara masalah warisan koloni, saya kira sangat tidak masuk akal. Di negara Belanda ini, yang saya ketahui justru masyarakatnya sangat taat kepada pajak. Pajak di negara ini sangat tinggi. Bahkan pada taraf taraf tertentu, seseorang bisa membayar pajak 50% dari penghasilannya. Pengalaman saya, penduduk negara Belanda sangat taat membayar pajak walau pajaknya selangit.
Ada juga yang mempermasalahkan jumlah penduduk sebagai alasannya. Hal ini tentunya lebih tidak masuk akal. Belajar dari China yang penduduknya lebih lima kali lipat toh bisa sukses memberangus korupsi ini. Lalu sebenarnya akar permasalahan ini ada dimana?
Jika kita mau jujur, permasalahan korupsidi negara ini bagaikan lingkaran setan. Kita tidak tahu bagaimana cara memutus lingkaran tersebut. Namun sebenarnya permasalahan ini kembali kepada mentalitas bangsa kita. Mentalitas untuk memperkaya diri sendiri tanpa mempedulikan penderitaan orang lain inilah yang menjadi kunci maraknya korupsi, bahkan korupsi berjamaah di negara kita sudah dianggap jamak.
Tidak mudah memang untuk memberangus mentalitas tersebut. Namun tanpa usaha yang keras dan istiqomah, tentunya untuk lepas dalam jeratan lingkaran setan ini sangat sulit. Sebagai ilustrasi sederhana bisa dilihat disini. Dalam memilih pemimpinnya, rakyat kita justru terbuai dengan money politics yang dimainkan oleh para politikus. Kalau kita mau berkaca, harusnya kita peka, kalau seorang pemimpin yang membagi uang-uang untuk dipilih, tentunya ketika nanti menjabat akan mendaya gunakan kemampuannya untuk mengembalikan modal. Ini yang tidak disadari oleh rakyat. Justru bagi rakyat kita, siapa yang bisa memberikan itu yang akan dipilih. Padahal justru hal ini menjadikan boomerang.
Pada kenyataannya banyak petinggi kita ber'hutang budi' kepada koruptor. Secara gamblang kita bisa melihat pada peristiwa Pak Beye menghadiri pernikahan anak sang koruptor. Harusnya petinggi negara kita yang menggembar-gemborkan pemberantasan korupsi tidak mendukung perilaku ini. Namun apa lacur, ketika petinggi kita naik ke tampuk kekuasaan dengan bantuan para koruptor ini, jangan harap penguasa bisa secara obyektif memberangus korupsi. Yang ada hanyalah justru mendukung para koruptor tersebut untuk menghisap darah rakyat.
Penyakit Korupsi
Nah,disini memberangus korupsi yang sudah mendarah daging pada mental rakyat diperlukan komitmen bersama. Rakyat harus mulai sadar untuk memilih pemimpin sejati tanpa melihat siapa pemimpin yang memberikan kontribusi ‘finansial’ kepada mereka. Mentalitas rakyat inilah yang justru harus banyak disadarkan bahwa perilaku memilih pemimpin berdasar money politics merupakan hal hal yang akan melanggengkan korupsi.
Disisi lain bisa kita lihat, banyaknya abdi negara yang memberi teladan korupsi. Walaupun dimulai hanya korupsi waktu, namun para abdi negara ini tidak sadar hakekatnya mentalitas ini dicontoh rakyat. Sehingga akhirnya fenomena korupsi dalam wujud apapun itu menjadi hal yang jamak.
Individu merupakan anggota terkecil dari sebuah system. Jika ingin membentuk system yang bebas korup, tentunya kesadaran individu ini diperlukan. Sedikit menyitir kata sang ulama yang terkenal itu, Mulailah dari diri sendiri. Dengan tidak menggunakan kesempatan untuk berkorupsi dan istiqomah, insyaallah penyakit bangsa kita akan musnah dengan sendirinya. Sehingga suatu saat nanti, kita tidak mendapatkan prestasi sebagai lima besar dunia dalam hal korupsi. Bukan tidak mungkin, negara kita nantinya akan menjadi contoh negara lain dalam memberangus penyakit masyarakat yang dinamakan korupsi ini.
Salam prihatin
Nijmegen,November 2010
Mas PINK
Gambar: www.google.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H