(KEBAKARAN hutan dan lahan seakan sudah menjadi hal yang biasa di negeri ini. Penduduk menderita. Tapi aneh, mengapa kita tidak pernah belajar untuk mengakhiri semuanya)
Pagi berkabut …
Tatapan tajam mata bocah itu ke arah langit sejenak terhenti ketika suara ayahnya dari halaman depan rumah tiba-tiba parau dan memintanya segera menaiki sepeda motor yang sejak tadi dinyalakan. Walau kaki bocah itu terasa berat melangkah, tetapi dia menuruti perintah ayah yang telah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu.
“Cepat Mudim, nanti terlambat pulak ayah sampai ke tempat kerje”
Mudim terdiam dan hanya menganggukkan kepala. Namun dari bola matanya yang sayu, tergambar sekali jika sebenarnya Mudim tak ingin ke sekolah pagi itu.
Kabut asap yang kembali menyelimuti kotanya sejak beberapa hari ini diakibatkan kebakaran lahan di sejumlah daerah di Sumatera. Kondisi udara yang tak bersahabat ini membuat semangat belajar Mudim mulai terkikis. Apatah lagi tadi malam ia sempat mendengar cerita dari ibunya bahwa ada seorang anak di salah satu kota di pulau Sumatera, kembali meninggal dunia akibat kabut asap.
“Yah, bile agaknye asap-asap ini pergi dari sini. Apekah die tak kasihan dengan budak-budak macam Mudim ni?”
Pertanyaan Mudim kontan saja membuat ayah Mudim, Umar, yang berprofesi sebagai pegawai honorer di salah satu instansi pemerintahan di kota itu tercengang dan terdiam seketika. Umar pun memandangi anaknya itu, dan tiba-tiba ia menaruh rasa khawatir jika asap yang datang pagi ini berisiko bagi kesehatan Mudim yang masih duduk di kelas II SD itu.
“Sudahlah Mudim, insyaallah tak ade ape-ape. Nanti lame-lame hilanglah asap ini”
“Mudim juge tak perlu takut, asalkan masker itu tetap terpasang, insyaallah aman”. Jawab Umar mencoba member semangat kepada anaknya, seraya merapikan letak masker penutup hidung dan mulut Mudim yang belum tepat pada posisinya.
Pagi dengan kondisi langit berkabut, seperti biasa sebelum menuju tempat kerja, Umar terlebih dahulu harus mengantarkan anak lelakinya ke sekolah yang jaraknya sekitar 7 Km dari rumahnya. Setelah itu barulah ia meneruskan perjalanan ke kantor. Sebagai pegawai honorer, Umar merasakan benar jika pendapatannya sangat pas-pasan. Tapi untunglah isterinya ikut bersama menopang ekonomi rumah tangganya dengan membuka warung kecil-kecilan di rumah.