Kita barangkali pernah mendengar sebuah pepatah lama yang menyebut bahwa “bahasa menunjukkan bangsa”. Melalui ungkapan ini dapat kita maknai secara dalam betapa bahasa yang kita pergunakan sehari-hari memiliki keistimewaan dan kekhasan tersendiri bagi setiap diri pribadi penuturnya, baik dalam pergaulan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahasa juga sebagai ‘penanda’ tentang karakter dan jati diri seseorang. Semakin baik dan sopan seseorang dalam bertutur kata, diyakini baik pula tingkah dan prilakunya.
Meskipun anggapan ini tidak selalunya benar, seperti ada yang mengatakan “cakapnya saja yang begitu, tapi hatinya baik”, namun peran dan fungsi bahasa yang disampaikan secara lisan maupun tulisan ketika berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, akan sangat menentukan kualitas diri dan ketinggian akal budi yang kita miliki.
Bahasa, termasuk didalamnya sastra, merupakan dua hal yang selalu beriring dan saling berkaitkelindan. Dalam ketamadunan Melayu Nusantara, dari dahulu lagi masyarakatnya telah menempatkan bahasa sastra sebagai media yang dinilai paling efektif dalam memberikan nasihat, tunjuk ajar dan pantang larang serta sarana untuk menyampaikan ide dan gagasan. Maka tak mustahil jika mereka kala itu selalu menyelipkan kata-kata dengan sastra, seperti berpantun, bersyair, gurindam, bidal dan lain sebagainya.
Para orang-orang tua kita dari sejak dahulu lagi, sepertinya sadar betul bahwa menggunakan bahasa yang baik dan efektif dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesamanya, akan menghasilkan sebuah pesan yang positif dan tujuan serta hasil yang baik pula. Disamping itu mereka juga terkadang suka merangkai kata-kata yang mengandung humor. Sehingga tak jarang sekeruh apapun persoalan yang dihadapi, akan menjadi jernih kembali dan terselesaikan dengan baik.
Bila kita mau mengkaji dan menelisiknya lebih jauh, bahasa dan sastra dengan berbagai dialek dan penuturan yang telah diwariskan para orang-orang tua kita dahulu, sudah sepatutnya kita bersyukur dan berterima kasih kepada mereka. Sebagai pewaris dan penerus bangsa yang memiliki latar belakang sejarah yang besar dan kaya dengan adat istiadatnya, maka nilai-nilai budaya yang dimiliki dan mengakar di tengah masyarakat ini semestinya terus dikekalkan. Bahkan alangkah baiknya bila kita ikut melestarikan, mengajarkan, serta menurunkan warisan luhur ini kepada generasi-generasi penerus kita sebagai bentuk tanggungjawab yang sudah tentu akan bernilai ibadah.
Bahasa dan sastra, sebenarnya bukanlah perkara baru yang alih-alih muncul dan berkembang di dunia ini. Ianya telah ada seiring berkembangnya peradaban manusia. Bahkan sastra telah pun berkembang sebelum Al-quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW di tanah bangsa Arab. Bukankah kita sadari pula bahwa Al-quran adalah firman Allah SWT yang sarat dan kental akan nilai-nilai kesusastraannya?, yang dengan kehadirannya membuat masyarakat Arab ketika itu terkagum-kagum dengan gaya bahasa dan isi kandungan Al-quran?.
Saya merasa terkagum-kagum ketika membaca sebuah buku yang berjudul “147 Ilmuan Terkemuka dalam Sejarah Islam” yang ditulis Muhammad Gharib Gaudah dan telah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia oleh H Muhyiddin Mas Rida, Lc. Dalam buku setebal 543 halaman itu ditulis bahwa bahasa Arab merupakan bahasa yang besar dan tidak diragukan. Bukan saja disebabkan kitab suci Al-quran dirurunkan dengan bahasa Arab sehingga menambah kemuliaan dan kedudukannya diantara berbagai bahasa lainnya, melainkan juga karena ia merupakan bahasa yang banyak digunakan untuk berbagai macam tujuan yang besar dalam mengungkapkan dan mendapatkan maknanya.
Atas sebab itu, maka bahasa Arab juga yang membuatnya dapat berinteraksi dengan berbagai disiplin ilmu, baik ilmu filsafat, logika dan ilmu-ilmu lainnya yang memakai puisi dan prosa (sastra). Bahkan tidak sedikit anak-anak yang berasal dari negeri-negeri yang telah ditaklukan Islam ketika masa penyebaran Islam berlangsung, menjadikan mereka bersungguh-sungguh untuk mempelajari bahasa Arab dan menimba ilmu dari pakarnya. Maka tidak mustahil pula jika sastra yang berkembang di tanah air kita hingga hari ini, dahulunya tidak lepas dari pengaruh sastra Arab ketika Islam tersebar di bumi Nusantara tercinta ini.
Saya atau Anda di luar sana barangkali mungkin masih ingat ketika dahulu waktu belajar di bangku Sekolah Dasar atau di tingkat SLTP, dimana waktu itu kita diajarkan oleh guru bidang studi Bahasa Indonesia untuk lebih mengenali bahasa dan bentuk-bentuk sastra lama yang ada di tanah air ini. Saat itu mungkin kita tidak hanya sekedar bisa menuturkan pantun, syair atau gurindam, namun lebih dari itu kita juga diajar untuk memahami setiap pesan-pesan moral atau makna positif yang terkandung dalam berbagai bentuk sastra yang ada itu.
Inilah uniknya bahasa dan sastra yang kita miliki dan kita warisi sampai hari ini. Kekayaan budaya yang menjadi kebanggaan masyarakat kita, masyarakat yang mengedepankan rasa, hormat dan sopan santun dalam bertutur kata dan memiliki kehalusan akal budi. Sehingga dengan semangat itu pula bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan menjadi bangsa yang disegani dan dihormati. Wallahu a’lam.***
*) Penulis adalah jurnalis dan pegiat sastra. Buku berjudul “Menakar Cahaya”, merupakan kumpulan puisi perdana yang diterbitkan awal 2016 lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H