Pasca seminar "Kepemimpinan menurut Islam" yang dihadiri seluruh kepengurusan Fatayat NU DKI Jakarta dengan narasumber Marzuki Alie selaku Ketua Dewan Ahli Ikatan Sarjana NU, menuai kritik dari berbagai golongan dan kepercayaan. Kritik yang tidak sehat sudah menjadi bias jauh dari substansi materi seminar dan berkembang luas di media masa, terutama berbagai media sosial yang bersumber dari berita yang dimuat di salah satu media online. Namun, selaku muslim yang berbicara dalam komunitas muslim, dalam kelompok warga NU Ahlussunnah wal Jamaah, referensi tulisan dan ceramah saya tentu bersumber dari hukum Islam, yaitu Al Qur'an dan As Sunnah, sebagaimana sering saya khotbahkan sebagai khotib Jum'at , ataupun kegiatan keagamaan lainnya. Materi seminar tersebut bisa didownload di alamat: http://www.marzukialie.com/?show=makalah.
Sudah seharusnya, sebagai sebuah negara yang menjunjung kebhinnekaan sebagai salah satu pilar kebangsaan, siapapun tidak bisa mengintervensi keyakinan orang lain, khususnya bagi yang berbeda keyakinan. Disinilah sebenarnya implementasi dari nilai keberagaman tersebut, saling menghormati di antara ummat beragama yang berbeda keyakinan. Sama halnya saya menghargai keyakinan sahabat-sahabat saya dan masyarakat Indonesia lainnya yang berbeda keyakinan dengan saya. Menurut saya, intervensi terhadap keyakinan saya sebagai Muslim, justru merupakan provokator, biang konflik SARA yang sebenarnya.
Pendapat, kritik dan saran yang termuat di berbagai media, umumnya mempersoalkan status saya sebagai Ketua DPR, sehingga tidak sepantasnya berbicara demikian. Kesan yang dimunculkan adalah, bahwa Ketua DPR telah berbicara SARA, memecah persatuan dan kesatuan bangsa dan tidak memahami berdirinya negara oleh the founding fathers yang berlandaskan nilai nilai keberagaman. Saya dituding tidak berperilaku negarawan.
Kritik dan berbagai pendapat tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya salah apabila konteks waktu dan tempat saya berbicara dan bertindak selaku Ketua DPR sebagai Pejabat Negara dan berdiri di atas semua golongan, etnis, suku, agama dan kepentingan.
Yang menjadi pertanyaan, apakah di luar tugas saya selaku Ketua DPR, tidak boleh menjalani kehidupan sosial dan agama sebagai seorang Marzuki Alie dalam kapasitas pribadi yang harus bermasyarakat dan mempunyai kewajiban sebagai seorang Muslim?
Saya mempunyai sisi private yang harusnya dihargai, yang tidak bisa dikaitkan dengan jabatan saya selaku Ketua DPR, Pejabat Negara. Itulah hak asasi setiap orang, yang seharusnya tidak harus selalu dicampur adukkan antara kehidupan private dengan posisi sebagai Pejabat Negara. Jangan hak asasi saya selalu dieliminasi dengan jabatan tersebut, namun juga perlu diperhatikan konteks dan waktunya.
Manakala saya berbicara dalam komunitas muslim saya, maka acuannya adalah nilai-nilai Islam sesuai tuntunan Al Qur'an dan As sunnah, bukan UU atau Peraturan Pemerintah.
Manakala saya berbicara dan bergaul dalam masyarakat di lingkungan, maka nilai-nilai kemasyarakatan tersebut yang harus saya junjung, terlepas dan tidak terkait dengan posisi saya sebagai Pejabat Negara.
Manakala saya menjalani kehidupan pribadi dalam keluarga besar saya, tidak ada status Pejabat Negara, karena ada norma kebiasaan dan norma agama yang harus saya laksanakan.
Demikian pula, manakala dalam lingkup tugas saya selaku Ketua DPR, maka saya harus berperilaku sebagai negarawan, yang mengayomi semuanya tanpa diskriminasi berpayung kepada peraturan dan perundangan yang berlaku.
Berbagai profesi saya dalam kehidupan sehari-hari ini, hendaklah dipahami secara utuh, sehingga penilaian menjadi proporsional. Tidak tepat bila dalam berbagai profesi itu semuanya dikaitkan dengan jabatan selaku Ketua DPR. Saya berusaha untuk menempatkan diri dalam posisi yang tepat, sesuai dengan profesi saya, baik di dalam kehidupan keluarga, beragama, bemasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan, untuk menghindari pemahaman yang keliru, sudah menjadi kewajiban saya untuk merespon dengan memberikan penjelasan, walaupun ruang untuk itu sangat terbatas.