Kami berjabat tangan dalam aplikasi.
Perkenalan pagi, siang, hingga malam habis, esok saling mencari lagi.
Masa itu, kami masih remaja.
Menulis kata, tanpa menyangka, akan membawa kami, dalam ruang chat di aplikasi yang berbeda.
Kami bertemu, lagi...
Apalagi? Tentu saja pada dunia algoritma ini.
Nyatanya semua cerita diatas, hanyalah bentuk nyata, betapa besarnya rasa percaya diriku.
Kukira kami bisa saling menjaga hati, tapi akhirnya aku yang harus menahan malu, supaya ia tetap tak akan tau.
Haha, aku sering melihatnya tanpa sengaja, memperhatikannya dari jauh, menyukainya diam-diam.
Hingga aku terjebak pada perasaan yang terlanjur dalam.
Naif kataku, jika kunyatakan padanya, aku sudah menyukainya.
Tapi sungguh meletup dadaku, kukira cintaku bertambah, padahal kutemui, ada seseorang yang namanya ia sebut dengan jumawa.
Sekarang aku harus belajar lebih giat.
Mencari sendiri, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
Aku malu bertanya padanya.
Tak apa jika aku harus tersesat di jalan, daripada aku harus terpasung dalam tutur budimannya.
Dan keputusanku untuk tidak berharap lebih jauh pada ocehan hahahihi kami ternyata menyelamatkanku.
Tapi maaf, jika aku harus mengatakannya kali ini, hei...
Entah sejak kapan, aku tak pernah menyatat harinya, kurasa aku menyukainya.
Namun saat sudah ku angkat sebelah kaki untuk melangkah.
Kulihat kepatuhannya, tapi tak tentu arah.
Ia punya ingin...
Namun ada kuasa menghendaki sesuatu yang lain.
Sungguh ia merana, meranggas sisa nuraninya.
Aku tak boleh memeluknya, maka yang kulakukan hanya terus menyertakannya dalam pinta.
Semoga ia tak sebaik dugaanku.
Hingga tak ada sesal, karena tak pernah mengorbankan apapun, agar ia menjadi milikku.
Agunglah dalam kepatuhan.
Aku akan menjaga pera
saanku dalam ketabahan.
Pati, 15 April.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H