Lembaga Pendidikan, Universitas Nias Raya Tempat Belajar yang Humanis
Perguruan Tinggi merupakan sarana pengembangan ilmu pengetahuan. Tempat belajar tidaklah cukup dengan keberadaan ruang kelas, namun ketika Universitas Nias Raya yang dikenal dengan Uniraya sebagai Universitas pertama di kepulauan Nias yang berlokasi di Jalan Pramuka, Nari-Nari Kelurahan Pasar Teluk Dalam di Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan hadir dan tampil sebagai ruang yang humanis. Kehadiran Uniraya di kepulauan Nias sebagai ruang riset dan laboratorium pembentukan karakter dan yang ramah terhadap siapapun.
Pembentukan karakter di Uniraya ditandai dengan hadirnya peraturan kode etik dosen dan kode etik mahasiswa, hadirnya satu badan satuan tugas (satgas) penanggulangan kekerasan seksual, setiap tahun diadakan kuliah umum tentang masalah tiga dosa yang dihadapi di Perguruan Tinggi, yaitu kekerasan seksual, perundungan dan intoleransi. Dari tiga dosa besar perguruan tinggi ini juga dibekali tentang menjauhi penyalahgunaan narkoba dan pencegahan korupsi. Korupsi juga saat ini ibarat candu yang hampir setiap orang dapat terkontaminasi ketika menganggap korupsi suatu hal biasa. Baliho, spanduk dan bahkan banner tolak korupsi yang berdiri dipintu masuk ruang pimpinan dan banner yang dipasang di setiap sudut ruangan gedung juga tidak memberi dampak agar tindakan korupsi bahkan grativikasi yang terang-terangan jelas diberikan ibarat memberikan kado, hal ini juga tidak mengurangi kesalahan yang diakibatkan oleh korupsi.
Berharap lembaga pendidikan sebagai ruang dalam pembentukan karakter ini tidak hanya sebatas lips service ketika guru atau dosen atau pendidik menceramahi audiencenya, akan tetapi bagaimana tindakan atas ucapan itu juga sejalan beriringan. Ucapan dan dibarengi dengan tindakan hendaknya sama. Para penjabat yang dipercayakan dalam lingkup kepemimpinan tentu sudah dan pernah menghirup suasana dan didikan serta mempelajari tentang menghargai perbedaan dan tidak boleh mengambil yang bukan haknya, akan tetapi ketika kita sudah diposisi yang sama dalam jabatan kesempatan ini terkadang kita salahgunakan untuk memuluskan kepentingan kita. Pertanyaannya, kapan hal ini akan berakhir? Mengapa ruang pembentukan karakter dan perilaku, yaitu sekolah yang akhirnya hasilnya membuat seseorang terkesan tidak terdidik? Kenapa ketika jabatan itu sudah dipercayakan namun nilai-nilai etika yang seyogianya pimpinan tersebut sebagai roll model atau panutan malah mencederai apa yang tidak berlaku dimasyarakat? Dan sejumlah pertanyaan lainnya. Tentu hal ini, kembali ke tabiat seseorang dan ketika seseorang masih belum selesai dengan dirinya. Seyogianya seseorang pemimpin dan patut jadi panutan perlu dipastikan bahwa seseorang tersebut sudah selesai dengan dirinya, maka saya yakin tindakan yang tidak sesuai dengan norma masyarakat akan berkurang atau terkikis dengan sendirinya tatkala pemenuhan kebutuhan dasar manusia itu terpenuhi atau ketika karakter itu sudah menjadi darah dagingnya untuk terus berbuat tidak senonoh atau asusila atau tindakan yang diluar kebiasaan masyarakat umumnya.
Kita bukan tidak punya budaya, undang-undangpun mengatur tentang manusia bahkan memuat isinya "memanusiakan manusia", memiliki istilah adat ketimuran, memiliki keyakinan yang bersumber dari ilham warisan leluhur, dan bahkan merasa dirinya beragama serta memiliki Tuhan atau bertuhan. Namun, ada apa dengan manusia? Mari kita renungkan bersama. @mss
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H