Berpikir tentang kolonialisme identik dengan segala yang merampas hak orang lain bahkan identik dengan penjajah. Ini suatu pemikiran yang sudah terbentuk karena adanya satu pemikiran yang membentuk sebuah konsep antara yang kuat dan yang lemah atau yang superior dan inferior. Apalagi ketika manusia tidak lagi menghargai keberadaan manusia lainnya. Antara ras kulit putih dengan kulit berwarna. Kata kolonialisme ini tentu menggiring kita juga ke cara berpikir yang seakan perbuatan yang salah dan bahkan jahat. Kolonialisme membentuk pola berpikir kita tertuju pada bangsa Eropa yang menguasai beberapa wilayah bahkan benua.
Melihat makna kata kolonialisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, kolonialisme adalah paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara tersebut. Kolonialisme dari kata colonus artinya menguasai bahkan menjadi sebuah penaklukkan suatu wilayah atau penaklukan suatu bangsa yang diangap tidak layak untuk berkembang.Â
Mengkaji tentang kolonialisme ini oleh Universitas Nias Raya (Uniraya) bersama Pressing Matter dari Amsterdam Belanda melalui seminar sejarah kolonialisme dapat dibaca dalam link berikut. https://news.uniraya.ac.id/seminar-sejarah-kolonialisme-di-kepulauan-nias-dan-focus-group-discussion-digelar-di-universitas-nias-raya/. Dan di link fanpage Uniraya https://www.facebook.com/share/v/9MG7sYhoRvuDanGm/?mibextid=w8EBqM.
Berdasarkan hasil dari seminar yang telah dilakukan  oleh Uniraya bersama pressing matter bahwa kolonialisme merupakan sikap menguasai. Dalam konteks ini ternyata dalam tatanan hidup masyarakat lokal juga sangat sering terjadi sikap kolonialis itu tatkala yang kuat mengintimidasi yang lemah atau yang seorang menjustifikasi kehidupan orang lain. Artinya bahwa kolonialis itu bukanlah hanya tertuju pada bangsa Eropa yang di kenal selama ini sebagai bangsa penjajah. Di era sekarang ini juga sangat terlihat sikap kolonialis tersebut ketika kita melakukan sesuatu sikap yang mengatur hak orang lain. Contoh ketika dalam sebuah desa oleh kepala sukunya agar semua masyarakat tunduk dan taat pada kepala suku maka dibuatlah suatu aturan yang seakan demi kepentingan bersama bahkan tanpa disadari mewajibkan setiap warganya melakukan kewajibannya yang kadang memberatkan pada sebagian masyarakat. Demikian juga peristiwa gerhana matahari di era pemerintahan presiden orda baru untuk memastikan pengaruh dan kekuatan pemerintahannya dibuatlah suatu pengumuman melalui radio dan surat kabar, yaitu melarang masyarakat melihat gerhana matahari total 11 Juni 1983 secara langsung sebagaimana berita dan informasi ini. https://news.detik.com/berita/d-3133797/astronom-melawan-instruksi-presiden-soeharto-soal-gerhana-1983. Dan karena ini ternyata sebagai alat untuk menguji kepatuhan masyarakat atas kekuasaan dan pemerintahannya maka dibuatlah pengumuman tersebut. https://nasional.kompas.com/read/2016/03/02/17261111/soeharto-gunakan-gerhana-matahari-untuk-menguji-kekuasaannya. Dari contoh-contoh tersebut dan masih banyak contoh lainnya tanpa disadari inipun bagian dari sikap kolonialis. Jadi kolonialis tidak saja identik dengan bangsa Eropa yang menguasai beberapa wilayah di belahan dunia ini namun termasuk sikap-sikap kita yang terus menyalahkan orang lain seakan hanya kita yang benar. Maka agar tidak terlihat sikap kolonialis tersebut dibuatlah dalam sebuah aturan atau regulasi. Terlihat halus namun tidak terasa sebenarnya hal ini sudah menunjukkan sikap-sikap kolonialisme. Berbeda lagi bila aturan dan regulasi yang dibuat tersebut untuk kemaslahan hidup masyarakat banyak, bukan koloni maka hal ini juga menjadi sebuah diskusi yang perlu untuk dikaji kemudain dan akan diulas oleh penulis.
Disamping seminar tentang kolonialisme yang diselenggrakan Uniraya bersama Pressing Matter terdapat point lain tentang plaster cast yang dilakukan oleh seorang antroplog de Zwaan berkebangsaan Belanda untuk riset ras manusia. Namun proses penelitian tersebut dilakukan dengan cara membuat topeng dari gipsum kepada wajah manusia. Hal ini diangagp sikap kolonialisme yang menyiksa manusia. Maka untuk mendapatkan hasil dan jawaban dari seminar tersebut dilanjutkan dengan FGD (forum group discussions) yang dapat di baca di https://news.uniraya.ac.id/hari-kedua-focus-group-discussion-tentang-plaster-cast-dan-masa-depannya/. Topeng-topeng ini sebelumnya di pajang di museum-museum di Amsterdam namun saat ini sudah tidak dipajang karena dianggap rasis dan bahkan ada upaya untuk membuang atau menghancurkannya. Akan tetapi sebelum itu dilakukan maka dilakukanlah riset terutaa kepada masyarakat yang bersumber dari pembuatan plaster cast tersebut untuk dimintai keterangan dan pandangan mereka atas topeng-topeng yang dibuat oleh Yohannes Klewig de Zwaan. Kita berharap persoalan kolonialisme ini tidak lagi hanya dipandang dan dijadikan seakan sebuah alat kekuasaan namun diperlukan sikap dekolonialisme untuk tujuan meluruskan sejarah masalalu dan rekonsialiasi. Semoga. (@mss)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H