Isterinya, ibunya, ayahandanya, hanya bisa menangis, sepanjang hari dan sepanjang malam. Hatinya tercabik-cabik, karena tidak mengira sama sekali ia berkeputusan seperti itu. Sementara yang bersangkutan tenang-tenang saja di Mahoni 30, seakan tidak terjadi apa-apa dalam keluarganya. Ketika ia datang ke rumah isterinya, ia hanya ingin menegaskan pendiriannya tentang keyakinan barunya. Tidak merasa ada masalah yang harus dicari solusinya. Ia datang ketika derita sang isteri tak tertahankan. Satu-satunya cara menghadapi suami, sang isteri hanya dengan menutup pintu kamar rumahnya rapat-rapat. Karena hanya itulah “bahasa seorang wanita”.
Ketika ia datang di rumahnya yang Jakarta, (karena ia punya dua rumah), ternyata pintu rumah dalam keadaan tergembok. Kemudian ia mengambil gambar pintu yang tergembok, dan kemudian gambar itulah yang dijadikan alasan bahwa “isteri menolak untuk ditemui” dan sekaligus dijadikan alasan untuk mengelak dari tanggungjawab sebagai suami. Tanpa melihat, bahwa dalam keluarganya sedang menghadapi masalah berat dengan perubahan drastis yang dilakukannya. Betapa pedih seluruh isi rumah, dan melebar ke keluarga besar, karena ulah sang anggota baru Eden, yang telah disulap oleh doktrin tak berperikemanusiaan itu.
Kondisi demikian bukannya dicarikan solusi, tapi yang muncul melalui website komunitas eden, yang bersangkutan menegaskan bahwa, “saya sudah bersumpah dengan Tuhan untuk tetap di Eden”. Tetap tinggal di Eden maksudnya juga tinggal di rumah Jl Mahoni 30 Jakpus. Tidak akan pulang ke rumah orang tua maupun rumah keluarga di mana isteri dan anak-anaknya merindukan kasih sayangnya. Penegasan berikutnya, bahkan disebar melalui media sosial Eden, bahwa “seluruh gaji Elfa untuk eden”. Sebagaimana juga pengalaman orang-orang yang sebelumnya, yang masuk Eden, meyakini bahwa “urusan Eden adalah urusan Tuhan, dan di luar itu bukan urusan Tuhan”. Begitulah keyakinan yang ditanamkan oleh eden ke mereka-mereka itu.
Naudzubillah, ini baru di tataran kemanusiaan, agama Eden sudah sedemikian garangnya. Maka kasus pemaksaan saya untuk mengambil seorang anggota yang masuk Eden, kalau itu dianggap kekerasan, bukan apa-apanya dibanding kekerasan cara eden yang telah membuat kepedihan sang isteri dan keluarganya.
Derita keluarga sebagai akibat dari anggotanya yang masuk Eden, telah dialami oleh banyak orang. Setiap ada anggotanya yang menghadapi masalah dalam keluarganya, gara-gara ia masuk Eden, selalu saja diultimatum “pilih kepentingan Tuhan atau kepentingan keluarga”. Dari ini juga mengapa Bpk. Sudiyono (alm) ayahanda Mbak Sudiarti, isteri Abdul Rachman, pernah mengadu ke saya kala itu, minta tolong atas kekesalan sebagai orang tua dan bahkan keputus asaan karena ditinggal anaknya untuk menetap di Eden. Sampai ketika ia menderita sakit sudah semakin parah, ia berwasiat, “kalau aku mati jangan ada anak-cucuku yang di Eden menyentuh mayat saya”. Saya tak hendak memperpanjang kisah-kisah keluarga seperti ini (maaf , aku benar-benar tidak kuat menahan tangis saya sambil menulis ini).
Kondisi yang sungguh memilukan demikian, di mata orang Eden, tampaknya justru dijadikan kebanggaan sebagai “keberhasilan dalam uji kesetiaan pada tuhannya”. Kekejaman Eden, dengan dalih memihak “kepentingan tuhan” seperti itu, menjadi tanda kemenangannya.
Sejumlah cendekiawan dan seniman besar, memang benar pernah mengampiri Eden. Juga saya sendiri, benar sebagaimana yang anda sebut-sebut, bahwa mereka semula tertarik untuk melihat ada “kebenarankah di sana”. Tapi apa yang terjadi. Diakui, bahwa ada pesan-pesan yang spektakuler di Eden, menyangkut keadaan umat manusia, dan cara bagaimana mengatasi. Kami berprasangka baik, waktu itu, dan siapa tahu pesan itu memang dari langit. Tapi semakin dekat ke Eden, semakin terlihat juga pesan-pesan yang berisi ramalan-ramalan kosong.
Apakah orang yang dibohongi itu gagal melihat kebenaran, ataukah kaum eden, sendiri yang justru gagal memperlihatkan bukti kebenarannya. Pandangan positif para cendekiawan dan seniman itu pun lambat laun luntur karenanya. Karena tidak mungkin wahyu Tuhan itu memberitakan kebohongan. Seperti janji tentang malaikat Jibril yang akan turun dalam ujud manusia di Kemayoran, Jibril mau menjilma menjadi manusia di tengah pengadilan Lia Eden di bulan Maret 2009 waktu itu.
Wajar sajalah kalau teman-teman yang sudah bertahun-tahun di Eden, berkeputusan chek out dari “surga eden” Mahoni. Seperti Satya, Suad, Zaitun, Aun, Aar, Simon, Fadly, Andito. Yang disebut terakhir ini tentu manusia suci karena menjadi penulis lembar-lembar Risalah Eden, namun justru semakin menjauhi. Kurang apa gagahnya mereka-mereka ketika menangkis tuduhan-tuduhan sesat dari luar, dan buku-buku tulisannya, yang mereka terbitkan telah cukup membahana membela paham Eden.
Sampai pada anak-anak sang ruhul kudus, seperti Muqy Day, Mukti Day, dengan alasan masing-masing, yang kalau saya beberkan di sini, akan menghabiskan banyak halaman dan melelahkan. Belum lagi Kisah Bpk Aminuddin Day, yang awalnya oleh Ruhul Kudus diangkat sebagai ruhnya Nabi Adam, kini telah berbalik menuduh Lia itu ruhnya Iblis.
Mereka-mereka yang kini menjauhi bukanlah manusia-manusia radikal dan sangar. Dan aku melihat sendiri bagaimana taqarubnya pak Aminuddin sekarang kepada Allah, setelah melewati penyesalan yang dalam karena telah mengikuti paham yang sesat. Belum lagi Aun, yang balik membenci sang ibundanya, karena banyak dikhianati ibunya sndiri, meski bergelar orang suci (ruhul kudus) tapi, Ibu kerjanya morotin uang sang anak. Menjadilah kini Lia sebagai sosok ibu yang tak lagi peduli pada nasib anak-anaknya. Bahkan status rumah Mahoni yang dideklar sebagai “surga” ternyata adalah tanah yang disengketakan dengan sang suami
Anda boleh berkilah, bahwa mereka yang saya sebut itu adalah orang-orang yang gagal menjalani atau menuntaskan pensucian. Dan dari Anda pula teberitakan, bahwa mereka yang telah melewai ujian ke ujian pensucian itu adalah yang memilih hidup di surga Tuhan. Kalau benar demikian, surga yang luasnya seluas bumi dan langit, itu milik siapa. Apakah terjatahkan hanya untuk orang-orang, tersebut yang sudah berhasil melewati uji kesucian, sebagaimana yang anda utarakan. Alangkah naifnya, kemahabesaran Allah yang telah menjanjikan surga seluas bumi dan langit.
dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, ( QS Ali Imran/3:133).