Marzani Anwar
Kunci dari segala kunci dari sistem kepercayaan yang dibangun oleh komunitas eden, adalah kepercayaannya pada Lia Aminuddin, sebagai aktor sentral. Pemegang otoritas keberagamaannya, dengan menggunakan simbol kesemestaan, seperti pendamping malikat Jibril, klaim atas wahyu tuhan, bergelar ratu di kerajaan eden dan ruhul kudus.
Para anggota komunitas selama ini menempatkan diri sebagai murid yang setia pada gurunya, dan guru itu adalah ”malaikat Jibril”, dan malaikat itu adalah otoritas kewahyuan, dan kewahyuan itu adalah apa kata Lia baik sadar maupun tidak sadar (lihat: Sumardiono, The Loving You, Jakarta: Ys. Salamullah, 2003, hlm. 82)
Melakukan penyucian dipandang sebagai bagian sangat penting dari pengajaran itu. Mereka pun taat dan jalani perintah itu. Berbagai cara ditempuh, berbagai larangan dijauhi. Petunjuk-petunjuk dari malaikat jibril kadang menyusahkan, dan kadang menyenangkan, demikian pengakuan mereka (Penjelasan Abdul Rachman, dalam halaqah uci, 4 Desember 2004 di Tebet Jakarta Selatan ) .Namun itulah Eden, mereka yang selalu memelihara ritualitas penyucian, dan memahami arti pentingnya penyucian itu. Lia diyakini sebagai pengejawantah ruhul kudus dan Abdul Rachman sebagai Imam Mahdi. Para anggota komunitas Eden seakan menjadi petualang spiritual, dalam arti mencari kepuasan bathin yang intens, melalui hubungan emosional (emotional connectedness) dengan Tuhan. Jalan utama yang ditempuh adalah melalui
Proses ritual penyucian sebagai pergerakan peralihan, Oleh Victor Turner disebut sebagai yang melewati 3 fase, yaitu pemisahan (separation), ambang batas (margin, liminality) dan penyatuan kembali (reaggregation). Fase “pemisahan” terdiri dari perilaku simbolik yang memiliki arti pemisahan individu atau kelompok baik dari titik ajek dalam struktur sosial terdahulu, dari seperangkat kondisi (‘keadaan’) budaya, atau dari keduanya. Fase “ambang batas” menandai kondisi subjek ritual dalam keadaan ambigu; subjek ritual melalui suatu ranah budaya yang hanya memiliki sedikit atau tidak sama sekali karakter atau sifat-sifat dari keadaan masa lalu atau yang akan datang. Fase “penyatuan kembali” menandai berakhirnya situasi “liminal” atau “transisional” yang dialami oleh subjek ritual, baik individu maupun kelompok. Subjek ritual berada dalam keadaan yang relatif ajeg atau stabil. Victor W. Turner, The Ritual Process, ( United Kingdom: Aldine Publishing Company, 1969 , pg. 81-83.)
Prosesi Ritual pensucian di eden yang menjadi ambang batas (liminal) adalah saat seseorang: mengakui dosa-dosanya, kemudian berjanji tidak akan berbuat dosa sekecil apapun lagi. Dalam prosesi ini Lia yang dipercaya seabagi ruhul kudus menjadi saksi utama, dan berhak mengakui keabsyahan yang bersangkutan atas prosesi tersebut.
Rangakaian upacara pertaubatan seperti itu pada dasarnya juga ada pada setiap agama. Seperti pada upacara Sakramen atau Baptis di kalangan penganut Kristen, atau Moksa dalam agama Hindu. Di dalam agama Islam, demikian juga, yang biasa ditempuh kaum sufi dengan jalan Tariqat,
Namun prosesi penyucian pada kaum Eden, tampaknya merupakan cara baru dalam sistem yang biasa dilalui agama-agama yang ada selama ini. Situasi di mana sang pelaku pertaubatan dalam proses ritual, tidak terikat oleh struktur yang selama ini mengikat. Namun secara doktrinal, ia terikat oleh komitmen yang sangat dalam kepada petunjuk sang pimpinan komunitas. Langkah demi langkah, ucapan demi ucapan, dijalankan atas petunjuk sang pimpinan. Meski ketertundukan pada pimpinan itu, dibungkus oleh keyakinan sebagai individu yang ingin merubah diri secara moral, namun cara keprasahan kepada Tuhannya tetap mengikuti petunjuk sang pimpinan komunitas.
Penyiapan ruangan secara khusus, di rumah Jl. Mahoni 30 Jakarta Pusat, mengesankan bahwa, tidak ada tempat lain yang dianggap layak menjadi ”tempat pertaubatan”. Demikian juga perangkat upacara yang dihadirkaan pada ruangan tersebut, menjadi simbol yang pada akhirnya mengantarkan pada penguatan sistem menuju pada penciptaan struktur baru yang diciptakan oleh sang pimpinan. Pelita-pelita di ruangan, bunga-bungaan, iringan musik, altar putih, seragam pakaian ”lenan”- serba putih, semua itu ada maknanya sendiri-sendiri, yang merepresentasikan aroma kesucian dan dibahasakan sebagai simbol ketaatan.
Masalah adalah: Bahwa ritual pensucian telah dimaknai sebagai Pembaitan, saat di mana seseorang yang tersucikan mempertaruhkan jiwa raganya untuk tunduk dan patuh hanya kepada tuhan-nya. Situasi pasca liminal yang dialami oleh yang disucikan bisa diuraikan sbb.:
1) Ketaatan kepada tuhan adalah ketaatan pada apapun yang diajarkan oleh Lia. Semua perintah dari kitab suci apapun, selama tidak sesuai dengan ajaran Lia sang ruhul kudus, harus ditolak.
2) Amalan agama eden, hanya berkisar soal pentingnya pensucian, dengan segala cabangnya. Mereka tidak lagi ada perintah beramal saleh, kepedulian sosial, dan sebagainya, dan tidak ada lagi kepercayaan memperoleh balasan di akhirat.
3) Mereka yang tersucikan harus pindah agama. Karena sebagian besar pengikut Lia adalah berasal dari peganut Islam, maka mereka harus keluar dari Islam
4) Dosa yang dimaksud ”harus dihindari” adalah segala perbuatan yang dilarang oleh Lia sang ruhul kudus, dan bukan dosa yang dilarang menurut kitab suci seperti Al Qur’an.
5) Tempat yang diyakini sebagai surga dalam arti yang sebenarnya adalah rumah Eden yang beralamat Jl. Mahoni 30 Kal. Bungur Kec. Senen. Menolak mempercayai keberadaan surga tersebut, sama saja dengan ”menentang kehendak tuhan”.
6) Kepentingan tuhan yang harus dilayani adalah segala macam urusan yang berhubungan dengan kegiatan di rumah surga eden tersebut. Apabila terjadi konflik keluarga dengan kepentingan eden, harus didahulukan ”kepentingan tuhan” dan bukan kepentingan keluarga. Dari sinilah sumbernya konflik, dan bahkan berakhir dengan perceraian antara suami isteri, termasuk memisahkan diri dengan orang tua.
Ada yang perlu dicatat bahwa, unsur yang terambil dari ritual pertaubatan, sejak awal adalah dari Islam. Ini dimungkinkan, karena hampir seluruh pengikunya beragama Islam. Beberapa prinsip yang diambil dari tradisi Islam itu, adalah: (1) didahului dengan pengakuan dosa, dilanjutkan dengan (2) bersumpah demi Tuhan untuk tidak mengulangi dosa lagi. Kedua prinsip itu pada dasarnya adalah ajaran Islam, yang dituntunkan kepada manusia untuk menjalankan apa yang disebut taubat nasuha. Namun dalam prosesi pensucian telah terjadi ekstreemitas dalam tindakan. Dengan mengatasnamakan kehendak Allah. Kehendak Allah telah terkamuflase oleh kehendak Lia yang memposisikan sebagai ruhul kudus. Dengan posisinya itu, ia menyatakan berhak untuk memberikan pengesyahan diterima atau ditolaknya pertaubatan. Ekstreemitas juga ditunjukkan dalam masalah pembakaran. Meski tindakan itu dikatakan sebagai symbol pemusnahan nafsu iblis, tetapi pembakaran pada bagian-bagian fisik tubuh seseorang, dapat berarti sebuah kekerasan.