Sebagai seorang perempuan, saya termasuk golongan yang tidak terlalu mengikuti perkembangan sepakbola. Pemain bola terakhir yang sanggup membuat saya pantengin berita bola dan pertandingannya di tv hanyalah Ricardo Kaka, itu pun waktu masih berseragam AC Milan (tahulah yah karena apa, maklum namanya juga wanitah, hehehe).
Tapi meski begitu, saya termasuk yang antusias apalagi jika ada pertandingan timnas Indonesia (usia berapapun itu) melawan tim-tim luar.
Sedikit banyak jadi hapal "kutukan" atau "pola" yang sering melanda para pemain kita, yang sebenarnya sangat bagus secara teknik dan taktik, namun selalu terjegal stamina atau entah bagaimana selalu kurang beruntung setelah meraih kemenangan di partai sebelumnya.
Bosan melihat euforia kemenangan di awal, dan kemudian melempem di akhir, saya jadi malas-malasan setiap nonton timnas. Tapi untuk timnas yang berlaga di SEA Games kali ini, saya akui pandangan saya berubah.Â
Acungan 2 jempol pun rasanya tidak cukup untuk mengapresiasi perjuangan Egi Maulana Fikri dan kolega di medan laga. Awalnya saya kira anak-anak muda itu akan kewalahan menghadapi lawan-lawannya di fase grup yang cukup tangguh.
Tapi hasil berkata lain, tim sekelas Thailad dan Singapura mereka paksa menyerah, Brunei hingga Laos pun di labas tak berbekas. Hanya Vietnam yang mungkin sedikit sulit untuk ditaklukan. Tapi itu tidak mengurangi kekaguman saya, terlebih ketika tim besutan pelatih Indra Syafri itu berhasil membuktikan kedewasaan mereka dengan mengalahkan Myanmar dengan skor 4-2 di semifinal.
Mengapa saya sebut kedewasaan? Karena jika jadi mereka mungkin saya pun akan down, ketika kemenangan sudah di depan mata namun kemudian justru kebobolan dua gol dalam waktu nyaris berdekatan.
Biasanya, mental pemain apalagi pemain muda, akan langsung jatuh di sana. Beberapa kali saya menonton tim yang bernasib serupa dan akhirnya seperti kehilangan visi bermain. Tapi timnas kali ini berbeda, walaupun sudah kebobolan dua gol dan game tampaknya akan dilanjutkan ke babak penalti (seperti yang sudah-sudah), Evan Dimas dkk tetap berjuang habis-habisan menggempur pertahanan lawan.
Dan seperti yang sudah kita ketahui, usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Dua gol tambahan cukup membuat Indonesia lega bisa lolos ke partai final dengan menyungkurkan Myanmar 4-2.
Yang menarik, tanpa mengurangi rasa hormat dan kagum pada segenap official pelatih dan pemain lainnya, gol terakhir dari Evan Dimas membuat saya senyum-senyum sendiri. Saya yang jarang menonton pertandingan sepakbola ini sangat terhibur dengan kecerdasan visi seorang Evan membangun serangan dan kelincahan Sadil Ramdhani menggocek bola. Tidak lupa peran Sani Rizki yang tidak kalah dewasa sehingga memutuskan memberikan asisst ke Evan Dimas yang berdiri lebih bebas.
Akhirnya, kemenangan itu bukan hanya sekedar angka yang terpampang  di papan skor, namun lebih dari itu, ia menegaskan
bagaimana pemain timnas kali ini bukan hanya bagus secara kualitas permainan, tapi juga matang dalam kedewasaan. Â Ya, kedewasaan dan kematangan berpikir ternyata dibutuhkan di setiap lini kehidupan, termasuk pertandingan sepakbola. Bravo Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H