Kekerasan verbal dalam kegiatan perpeloncoan mahasiswa baru merupakan persoalan serius yang melukai prinsip pendidikan sebagai lingkungan yang mendukung dan membangun. Kasus di Universitas Jember menunjukkan bahwa praktik ini masih terjadi dan memerlukan perhatian serta tindakan nyata untuk dihentikan.
Kasus perpeloncoan yang terjadi di Universitas Jember baru-baru ini mengundang perhatian publik setelah terungkapnya tindakan kekerasan verbal yang dialami mahasiswa baru dalam kegiatan orientasi. Beberapa mahasiswa melaporkan perlakuan kasar, penghinaan, hingga ancaman dari senior selama kegiatan tersebut. Salah satu korban bahkan mengaku mengalami tekanan psikologis yang signifikan, seperti rasa cemas, takut, dan kehilangan kepercayaan diri. Peristiwa ini tidak hanya mencederai mental korban, tetapi juga mencoreng citra dunia pendidikan sebagai lingkungan yang seharusnya aman dan mendukung.
Kasus ini mencerminkan bagaimana tradisi perpeloncoan masih bertahan di sejumlah institusi pendidikan, meskipun dampaknya sangat merugikan. Kekerasan verbal yang terjadi tidak bisa dianggap remeh, karena dapat memberikan dampak jangka panjang terhadap kesehatan mental korban. Insiden ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa kekerasan verbal dalam perpeloncoan masih terus terjadi, dan langkah apa yang perlu diambil agar praktik ini dapat dihentikan secara permanen?
Kekerasan verbal adalah penggunaan kata-kata untuk merendahkan, menghina, atau mempermalukan orang lain. Dalam kasus perpeloncoan, kekerasan ini sering kali digunakan sebagai alat untuk menunjukkan dominasi atau kekuasaan senior terhadap mahasiswa baru. Kekerasan verbal memiliki dampak yang tidak bisa diremehkan, mulai dari menurunnya rasa percaya diri, trauma psikologis, hingga gangguan kesehatan mental yang lebih serius.
Fenomena kekerasan verbal dalam kegiatan orientasi sering terjadi karena beberapa faktor. Budaya senioritas yang berlebihan membuat sebagian orang merasa memiliki hak untuk memperlakukan junior secara semena-mena. Tradisi ini sering dianggap sebagai bagian dari "pendidikan karakter," meskipun kenyataannya justru menciptakan lingkungan yang tidak sehat. Selain itu, normalisasi kekerasan verbal membuat banyak pihak menganggapnya sebagai hal yang wajar, bahkan sebagai bagian dari proses adaptasi di dunia kampus. Kurangnya pengawasan dari pihak universitas juga menjadi faktor penting yang memungkinkan kekerasan ini terus berlangsung.
Kasus di Universitas Jember menjadi contoh nyata bagaimana kekerasan verbal dapat mencoreng citra institusi pendidikan. Dalam kegiatan orientasi tersebut, mahasiswa baru dilaporkan menerima berbagai bentuk penghinaan dan ancaman. Hal ini tidak hanya berdampak pada korban, tetapi juga menciptakan suasana kampus yang tidak kondusif. Argumen bahwa perpeloncoan adalah tradisi yang membangun karakter tidak dapat diterima karena praktik ini bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan yang seharusnya mendukung tumbuh kembang individu secara positif.
Universitas Jember harus mengambil langkah tegas untuk memastikan kasus serupa tidak terulang. Reformasi sistem orientasi sangat penting, dengan mengganti kegiatan perpeloncoan menjadi program yang edukatif dan mendukung pengembangan mahasiswa baru. Edukasi tentang bahaya kekerasan verbal harus diberikan kepada seluruh civitas akademika, baik mahasiswa maupun staf pengajar. Selain itu, universitas perlu menyediakan mekanisme pengaduan yang aman bagi korban serta memastikan adanya pengawasan ketat dalam setiap kegiatan mahasiswa.
Dalam konteks hukum, kekerasan verbal dapat dijerat melalui berbagai undang-undang, seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak jika korban berusia di bawah 18 tahun, atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE untuk kekerasan yang dilakukan secara digital. Meski demikian, implementasi hukum ini masih membutuhkan penguatan agar benar-benar efektif dalam melindungi korban dan memberikan efek jera kepada pelaku.
Sejak tahun 2024, tercatat lebih dari 50 kasus perpeloncoan di berbagai universitas di Indonesia, dengan 30 persen di antaranya melibatkan kekerasan verbal. Kasus di Universitas Jember hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh yang menunjukkan perlunya perubahan paradigma dalam menyikapi orientasi mahasiswa baru.
Untuk mencegah perpeloncoan, perubahan budaya di kampus sangat dibutuhkan. Tradisi senioritas yang berlebihan harus dihentikan, dan kampus harus menjadi tempat yang aman serta mendukung untuk semua mahasiswa. Penyediaan layanan konseling bagi korban dan pelaku juga penting untuk memastikan tidak ada pihak yang merasa terabaikan. Kampanye anti-kekerasan secara berkala dapat membantu meningkatkan kesadaran seluruh civitas akademika tentang pentingnya menjaga hubungan yang sehat dan saling menghormati.