Mohon tunggu...
maryam azizah
maryam azizah Mohon Tunggu... -

mahasiswa universitas indonesia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"Virus" BPJS yang Mungkin Menyebabkan dan Merusak Sistem Kesehatan Masyarakat?

31 Oktober 2014   18:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:02 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

BPJS mungkin dapat di ibaratkan seperti virus yang menyebar seluruh warga negara Indonesia yang bisa juga menyebabkan beberapa masalah sehingga yang seharusnya menjadikan sistem kesehatan masyarakat menjadi sistem kesakitan masyarakat, bagaimana tidak, BPJS yang seharusnya memenuhi dan menjamin kesehtan masyarakat justru beberapa fakta yang ada sebaliknya, BPJS merupakan jaminan kesehatan nasional, dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat agar hidupnya lebih produktif dan kompetitif yang diselenggarakan sebagai upaya memberikan perlindungan kesehatan kepada peserta untuk memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Saat ini, kita membahas tentang BPJS yang mewajibkan seluruh warga negara Indonesia wajib menjadi peserta tanpa terkecuali dan berhak mendapatkan jaminan sosial melalui sistem jaminan sosial nasional, Apakah fasilitas dan SDM kesehatan yang tersedia sudah memadai, dan mampu menerapkan kebijakan tersebut?

Apakah mungkin jika ditetapkan seluruh warga negara Indonesia harus menjadi peserta BPJS sementara pelayanan kesehatan yang kita ketahui tidak semua menjamin atau melayani BPJS? serta beberapa yang kita ketahui justru keluar dari BPJS dan tidak melayani peserta BPJS lagi, mungkinkah dapat tercapai derajat kesehatan Indonesia yang lebih baik. Seperti yang kita ketahui selama BPJS berjalan sampai sekarang ini banyak keluhan yang justru dialami, korban dari kebijakan BPJS pun meliputi: petugas pelayanan kesehatan, institusi sampai dengan peserta BPJS terutama dikalangan ekonomi menengah kebawah.

Dibawah ini merupakan keluh kesah, kejadian yang terjadi dan dialami peserta BPJS dan petugas kesehatan:

Segi peserta, masyarakat yang menggunakan BPJS mungkin sudah familiar dan terbiasa mendengar kata kamar “penuh” jika datang ke layanan fasilitas kesehatan, padahal tidak sedikit juga pasien yang membutuhkan penanganan segera. Beberapa kejadian yang terjadiyaitu mengenai jeritan hati orang yang tidak mampu, kejadian seorang pasien A telah divonis oleh dokter kandungan swasta terkena oligo hydromion atau ketuban sedikit, dengan memiliki bukti hasil pemeriksaan USG, dokter tersebut memvonis agar pasien dilakukan tindakan cesar secepatnya, karena pasien tersebut tidak mempunyai biaya, maka pasien menggunakan kartu BPJS, akan tetapi setibanya di rumah sakit yang terdaftar menerima BPJS, dari 5 rumah sakit yang didatangi oleh pasien, 3 rumah sakit menolak dikarenakan “penuh”, 1 rumah sakit hanya melakukan USG dan setelah itu pasien disuruh pulang karena pihak rs menyatakan tidak darurat, dan rumah sakit yang terakhir, baru sampai di unit pendaftaran dan dilayani, petugas pendaftaran tersebut membaca rujukan dan menyatakan kasus ibu tersebut tidak bisa dilayani di rumah sakit itu, keesokan harinya, pasien tersebut mencoba di 3 rumah sakit yang kemarin menyatakan penuh dengan harapan ada kamar, tetapi nyatanya tidak memiliki hasil, hari ke 3 tidak ada hasil.

Sampai keesokan hari akhirnya ada satu rumah sakit yang menerima, dan disana pasien tersebut tidak langsung dilakukan tindakan operasi, hanya dirawat selama 4 hari dengan alasan bayi kurang cukup bulan padahal jika membandingkan dengan hasil dari dokter pertama, dari hasil USG itu bayi sudah cukup bulan dan harus CITO untuk dilakukan tindakan operasi, setelah 4 hari dirawat tanpa dilakukan tindkan selanjutnya dari pihak rumah sakit menyebabkn bayi yang ada dalam kandungan meninggal dunia, dan setelah pihak rumah sakit mengetahui hal tersebut, barulah pasien itu diterima dan dilakukan tindakan operasi cessar. Ketika seorang janin dinyatakan meninggal tidak seharusnya penatalaksanaannya di operasi cessar. Pihak dokter dapat melakukan tindakkan induksi atau terminasi kehamilan dengan cara merangrang kontraksi dengan obat. Menurut ilmu kebidanan, terminasi kehamilan dgn kondisi janin sudah meninggal dalam kandungan dengan cara operasi cessar adalah opsi terakhir. Opsi awal adalah tindakkan induksi. Disini, penulis melihat ada ketidaksesuaian antara tatalaksana kebidanan dengan SOP yang berlaku di RS tersebut.Mengapa hal tersebut bisa terjadi, dan kenapa ada kesenjangan hasil antara dokter dirumah sakit tersebut dengan dokter yang pertama merujuk pasien? apakah pihak rs akan melakukan hal yang sama jika pasien tersebut bukan penggun BPJS? ataukah mungkin ada indiksi atau kemungkinan lain tetapi kenapa bisa sampai meninggal dunia padahal pasien tersebut masih dalam pengawasan pihak rs? mungkin ini bisa jadi faktor dari kelalaian layanan kesehatan terhadap pengguna BPJS, dan mereka yang berekonomi rendah dan pendidikan kurang hanya bisa berkeluh kesah tanpa meminta penjelasan jelas atau melakukan tuntutan apapun karena bingung harus berbuat apa? Pasrah mungkin merupakan satu-satunya jalan.

Selain itu, dari segi tenaga kesehatan, jeritan hati seorang petugas kesehatan bidan praktek swasta yang baru mengikuti program BPJS. Dalam ketentuannya, bidan tersebut harus menginduk kepada klinik yang telah mengikuti program BPJS, biaya kapitasi klinik dari perkunjungan pasien yaitu sebesar 10ribu/kunjungan untuk semua jenis pelayanan seperti meliputi pemeriksaan kehamilan, KB, imunisasi serta pengobatan umum, dari semua pelayanan yang diberikan, bidan tersebut hanya mendapatkan separuhnya dari pihak klinik dengan catatan pemotongan untuk kerja sama sesuai dengan aturan kontrak antara klinik dan BPS tersebut yaitu hanya menerima uang sebesar Rp 5.000 per kunjungan pemeriksaan kehamilan. Bidan tersebut merasa jika hanya dibayar dengan Rp 5.000 tentu saja tidak akan menutupi biaya operasional meliputi jasa tenaga, obat dll, dengan biaya yang didapat dari BPJS sebesar Rp 10.000 saja dianggap masih kurang apalagi jika hasil keseluruhnnya didapat hanya sebesar Rp 5.000 karena ada pemotongan dari pihak klinik, apalagi yang kita ketahui bidan praktek swasta tidak bisa bekerja sama dengan BPJS tanpa adanya perantara dari pihak klinik.

Pemberian layanan Imunisasi dan KB juga dibayar dengan harga Rp 10.000 padahal biaya untuk modal suntikan, bahan baku dan lainnya ditanggung oleh bidan itu sendiri bukan dari pemerintah maupun klinik, sehingga tidak mungkin cukup dengan biaya sebesar itu, malah mungkin menyebabkan kerugian petugas kesehatan, karena bisa dikatakan biaya yang didapatkan dari BPJS dengan tenaga dan biaya yang dikeluarkan BPS tidak sebanding, selain itu dengan peserta BPJS yang banyak sementara fasilitas dan SDM kesehatan yang mungkin tidak sebanding, membuat beban kerja tenaga maupun SDM kesehatan menjadi lebih berat

Dan dari segi rujukan, kesulitan petugas kesehatan dalam hal merujuk pasien pun dialami dikarenakan fasilitas kesehatan atau rumah sakit sangat terbatas dan sering kali menyatakan “penuh”, sedangkan banyak pasien gawat darurat yang butuh penanganan cepat tetapi untuk mencari layanan fasilitas kesehatan pun banyak yang tidak bisa atau mau menangani, dan terkadang sekalinya pasien dapat diterima pun, pasien yang mempunyai hak di kelas 3 tetapi di rumah sakit kelas yang sesuai dengan haknya penuh sehingga petugas rumah sakit menawarkan pasien untuk ditempatkan dikelas satu tingkat diatasnya dengan catatan pasien membayar secara pribadi selisih biaya tersebut, padahal berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan mengenai manfaat yang dijamin pada peningkatan kelas perawatan menyatakan “Dalam hal ruang rawat inap yang menjadi kelas hak peserta penuh, peserta dapat dirawat dikelas perawatan satu tingkat lebih tinggi paling lama 3 hari. Selanjutnya dikembalikan ke ruang perawatan yang menjadi haknya, bila masih belum ada ruangan sesuai haknya, maka peserta ditawarkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang setara atau selisih biaya tersebut menjadi tanggung jawab fasilitas kesehatan yang bersangkutansedangkan pada kenyataannya tidak sesuai, pasien diminta untuk membayar selisih diawal kelas rawat inap yang bukan sesuai haknya karena penuh tanpa ketentuan paling lama 3 hari menjadi tanggung jawab fasilitas yang bersangkutan, karena seharusnya fasilitas pelayanan sudah mengerti tentang peraturan mengenai manfaat yang dijamin serta ketentuan hak-hak dikelas perawatan.

Dari ini semua, apakah mungkin tujuan agar tercapainya derajat kesehatan yang lebih baik bisa terealisasi dengan benar jika pada kenyataannya, ketentuan mewajibkan seluruh warga negara Indonesia wajib menjadi peserta BPJS pun tidak sebanding dengan tersedianya fasilitas dan SDM kesehatan yang secara keseluruhan justru masih banyak layanan kesehatan yang tidak menjamin program tersebut yang nanti justru akan berdampak lagi terhadap masyarakat terutama rakyat miskin dan yang memiliki pendidikan rendah serta bagi tenaga maupun SDM kesehatan beban kerja menjadi lebih berat.

Mungkin dari beberapa masalah yang terjadi membuat masyarakat atau instansi yang ada menjadi berfikir ulang untuk menjadi peserta maupun bekerja sama menerima layanan BPJS jika beberapa keluh kesah yang ada tidak diperhatikan juga oleh Pemerintah, Semoga beberapa masalah yang ada tidak terus terjadi dan yang seharusnya bertujuan untuk membuat kesehatan masyarakat tidak berbuah menjadi kesakitan serta masyarakat Indonesia dapat terus selalu sehat dan mendapatkan hak-haknya dengan baik begitu halnya juga dengan instansi maupun petugas kesehatan lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun