Mohon tunggu...
Maryam Almaosy
Maryam Almaosy Mohon Tunggu... -

Alumni SMA N 3 Yogya (3B), FK. UGM. Minat : Kesehatan, lingkungan, pendidikkan, bahasa Jawa . Ibu 3 anak. Menulis menyehatkan pikiran dan otakku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Mempersulit Anak di Masa Depan dengan Memberikan Segala Kemudahan di Masa Sekarang

8 September 2012   05:23 Diperbarui: 4 April 2017   16:16 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: http://ilmu-duniadanakhirat.blogspot.com/2012/06/6-masalah-hidup-menurut-al-ghazali.html

[caption id="" align="aligncenter" width="330" caption="sumber: http://ilmu-duniadanakhirat.blogspot.com/2012/06/6-masalah-hidup-menurut-al-ghazali.html"]ayam kampung (sumber: http://rievl11.blogdetik.com/2009/10/05/phobia-binatang/ Kata-kata di atas adalah nasehat Ustadz Didik Purwodarsono, seorang ustadz yang tinggal di Yogyakarta, kepada kami beberapa waktu yang lalu. Beliau mengatakan kalimat yang singkattapi maknanya sangat padat. Intinya,seorang anak itu akan sangat baik jika dididik seperti ayam kampung. Ketika kecil, masih lemah dan belum bisa melindungi dirinya, maka induk ayam yang melindunginya. Si anak belum bisa mencari makan, maka induk mengajak untuk melihat dunia luar, si induk mengais makanan dan diberikannya kepada si anak,si anak tahu dan belajar langsung kepada si induk cara mencari makan. Ketika malam, direngkuh, dilindungi dari bahaya luar. Ketika agak besar, si induk masih mengajak untuk mencari makan bersama, tapi si anak tidak lagi di suap, dia mulai mengaismakanan di tanahsendiri, induk masih berada di dekatnya, melindunginya, kalau ada bahaya, si induk akan mendekat, menyerang yang membahayakan anaknya. Coba saja kalau ada induk yang sedang mengiring anaknya mencari makan, meskipun anaknya sudah agak besar, pasti si induk akan menyerang kita, itu perlindungan dari dia.Jadianaknya tidak dibiarkanjor-joran, tapi juga tidak di suapi terus. Diajaknya bersama-sama.Kalau kita bisa menerjemahkan bahasa ayam, mungkin jalinan komunikasi diantara mereka sangat indah.

Berbeda dengan ayam lehorn, ayam pedaging, sejak kecil dia terpisah dari induknya. Tidak mendapatkan kasih sayang induknya.Dari segi ini saja, dia sudah kalah dengan ayam kampung yanganak-anaknya merasa disayang si induk. Perasaan disayang induk sangat penting untuk perkembangananak, termasuk anak ayam tentunya.Habis itu, makanan ayam pedaging dikasih secaraberkala oleh yang memelihara.

Seandainyakedua jenis ayam ini tiba-tiba ditinggalkan, yang ayam kampung induknya mati, yang ayam pedaging, pemeliharanya matidan tidak ada yang menggantikan memberi makan si ayam pedaging (ini hanya contoh). Apa yang terjadi? Yang jelas dua-duanya pasti akan syok, kaget. Tapi kekagetan ayam kampung tidaklah lama, karena dia sudah sering tiap saat sudah diajari, diajak cari makan bersama sang induk. Tetapi ayam pedaging? Bisa dipastikan dia akan mati cepat atau lambat.

Anak ayam kampung tidak tergantung induknya lagi begitu dia sudah agak besar, berbeda sekali ayam pedaging yang sampai tua, dia tidak bisa menghidupi diri sendiri dan selalu tergantung pasokan makanan dari luar.Anak ayam kampung sudah dibiasakan dengan hal-hal yang sulit, tidak dimanja, maka dia survive.

Saya teringat ayam-ayam pedaging yang dipelihara Bapak di kampung, meskipun diberi makanan bergizi, diberi imunisasi, tapi tubuhnya ringkih, kaget sedikit saja bisa mudah sakit.Mudah kaget, mudah stres, mudah mati. Bila ada orang lain yang bukan biasa memberi makan tiba-tiba masuk kandang, mereka akan berlarian menghindar, barangkali takut karena tidak pernah meihat orang kecuali yang biasa memberi makan. Akibat berlarian ketakutan, ada yang terinjak-injak ayam lain, akhirnya pincang. Dari pincang ini, dia jadi tidak bisa mendekat ke tempat makan, akhirnya mati. (Ini pengalaman saya, karena tidak pernah melihat saya, kalau saya masuk kandang, ayam-ayam kecil ini berlarian, besoknya beberapa pincang dan beberapa hari kemudian mati).

Anak-anak yang telah terbiasa hidup dalam kesulitan dan fasilitas seadanya,apabila mendapatkan suatu masalah, maka diaakan menghadapinya dengan tenang dan mudah untuk menyelesaikan masalah itu.Karena hal seperti itu sudah biasa baginya. Berbeda dengan anak yang selalu dimanja,segala yang dia inginkan selalu dikabulkan, tidak pernah menemui kesulitan, maka suatu saat apabila mendapat kesulitan yang sepele saja, dai akan merasapesimis, gelisah, bingung dan tak bisa menyelesaikan masalah tersebut.

Padahal kita tahu, dalam setiap fase kehidupan, selalu muncul masalah baru. Dan masalah itu tidak semua bisa diselesaikan dengan uang (bagi orang tua yang selalu mengedepankan kemewahan).Harus diselesaikan dengan ketrampilan dan kecerdasan emosi dan spiritualnya.

[/caption]

Ada mahasiswa, yang 1 orang sudah selesai mendapatkan gelar sarjana kedokteran,1 orang lagisarjana dokter gigi (dua mahasiswa,di 2 kampus yang berbeda, tahun kuliah yang berbeda). Gelar sarjana mudah bagi dia , asal belajar, menghafal mata kuliah,belajar soal-soal tahun kemarin, nilai bagus untuk dia pasti didapat. Tapi giliran dia harus coas, (praktek di rumah sakit bagi calon dokter dan dokter gigi),mahasiswa initidak bisa mneyelesaikannya. Kenapa?Padahal mereka orang yang cerdas otaknya.

Rupanya, bukan masalah otak. Tapimereka tidak bisamenghadapi masalah yang sangat lumrah bagi mahasiswa, yaitu berhadapan dengan dosen.Persis anak ayam pedaging.Dosen bagi dia bukan orang yang bisa memanjakan dia, bukan orang yang bisa memberikan makanan kapanpundia inginkan.Dia tidak bisa bermanja-manja.Seperti mahasiswa yang lain,keduanyasering dibentak dosen, disalah-salahkan, digoblok-goblokkan.Harus begini, haru begitu. Ya, memang tidak semua dosen ramah. Dankita memang tidak bisa memaksa dosen harus ramah dengan kita.Kita tidak bisa memaksa mereka mengerti kita.Harusnya memang mahasiswalah yang harus mengerti bahwa mereka dosen-dosen itu yang berkuasa dan sebagai mahasiswa harus mengikuti perintah dosen.Disalahkan itu hal yang sangat biasa bagi rang lain, disuruh memperbaiki tugas berkali-kali, digoblok-goblokan bukan masalah bagi mahasiswa lain. Tapi bagi si anak manja, hal itu masalah besar. Hatinya sulit menerima. Akhirnya, ditinggalkanlahgelar dokter yang harusnyasebentar lagi dia raih..,

Ada seorangibu yang ketikaharus perhi ke Solo, dia tak dapat tiket keretamewah. Tiket terjual habis.Tinggallahkereta ekonomi. Rupanya baru sekali itu dia naik kereta ekonomi..Cerita dia, sepanjang perjalanan hanya kepengin maraaaah terus. Di kereta ekonomi itu banyak penjual,sebentar-sebentarberhenti,orang di kereta makan sembarangan dansuasana‘kelas bawah ‘ lainnya yang tidak bisa dia terima. Dia mangkel sekali sama saudaranya yang membelikan tiket kereta ekonomi. Orang seperti ini tidak bisa bahagia bila tidak di tempat yangmewah.Nah ini adalah kecerdasan emosional yang rendah.Kenapa kita tergantung dengan keretamewah dengan fasilitas wah?Ya kalau ada, kalau tidak, bukankah kita harus menyesuaikan diri dengan situasi. Bagi orang yang ketika kecil sudah terbiasa dengan kesulitan, keretamewah oke, kereta ekonomi pun oke. Tatap menyenangkan.. bisa menikmati perjalanan dengan santai.Dimanapun dana dalam keadaan apapun bisa menikmati hidup. Beda denga si ibu tadi dia pengin maraaah terus.. wah betapa kasihannya.. orang kok pengin maraaah terus hanya karena kereta ekonomi...

Pada sisi lain ada seorang dosen di universitas terbuka,dia enak saja pergi ke Solo naik bis ekonomi, berdesak-desak tanpa AC. Bukan karena tak punya mobil tapi tak mau capai. Bukan tak mau naik bis patas, tapi apa daya, semua bis patas ber AC sudah penuh.Dan dia bisa menikmati perjalanan, biasa saja...

Maka, tidak ada salahnya, sekali-sekali kita ajak anak kita pergi menggunakan transportasi umum. Naik bis ekonomi yang penuh sesak tanpa AC, menginap di penginapansederhana.. Agar ketika dewasa tidak kaget dengan kesulitan yang tidak terduga...

Bukankah tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan uang...? Coba kalau misalnya masalah itutentang jodoh.. Teman-temannya sudah dapat jodoh, dia belum, sementara usia semakin tua... Bukankah jodoh tidak bisa dibeli?Mungkin sajaada orang yang mau menikah dengan dia karena iming-iming uang, tapi ketika uang itu didapat,bisa saja si cinta uang itu kabur... hehe,, semoga saja tidak terjadi pada anak kita...

Memang benar kata Ustadz Didik.. Janganlah mempersulit anak kita di masa depan memberikan segala kemudahan di masa sekarang.. Terimakasih Ustadz atas masukannya.. Semoga berguna bagiku dalam mendidik anak-anakku...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun