Kebutuhan manusia akan pendidikan adalah sebuah keniscayaan yang melekat pada setiap diri manusia semenjak hari pertama ia menyapa dunia.
Guruku pernah berkata, “Ilmu pengetahuan bukanlah segalanya, tapi segalanya berasal dari ilmu pengetahuan.” Tanpa ilmu pengetahuan Sang Pencipta, alam tidak akan terbentuk. Begitu pula manusia, makhluk Tuhan yang sangat istimewa. Yang diberikan karunia berupa akal untuk mempelajari indahnya alam ini. Karena itu kita sebagai manusia memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu, seperti terdapat dalam hadits, “Barang siapa berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim)
Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang No.20/2003 tentang sistem pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan: "pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, banga dan negara"
Dari pernyataan tersebut kita tahu bahwa pendidikan adalah faktor yang sangat penting dan diperlukan oleh masyarakat, bangsa, dan negara. Begitu pentingnya pendidikan, sudah menjadi rahasia umum bahwa maju atau tidaknya suatu negara diukur dari kualitas pendidikan di negara tersebut.
Berdasarkan hasil data penelitian yang dikeluarkan dalam Education For All (EFA) oleh UNESCO, indeks pembangunan pendidikan di Indonesia masih rendah. Kualitas pendidikan Indonesia masih berada di urutan 69 di dunia. Masih jauh lebih buruk dari Brunei Darussalam yang mencapai peringkat ke-34 dan Malaysia yang berada di peringkat ke 65. Bahkan dalam penelitian yang dilakukan dalam Programme for International Student Assessment (PISA) 2012, Indonesia berada di peringkat paling bawah dari 65 negara dalam kemampuan di bidang matematika. Bukan berarti kurikulum di Indonesia lebih mudah materinya, justru sistem pendidikan dan sekolah-sekolah di Indoensia terlalu fokus membebani siswa dengan materi yang terlalu padat tanpa memperhitungkan aspek kreativitas murid yang berbeda-beda. (http://news.detik.com)
Cerita Makan Mie Ayam
Saat pertama saya diminta berpikir kritis tentang pendidikan Indonesia, maka hal pertama yang saya pikirkan adalah bagaimana saya bisa mengajak banyak orang untuk bersama membenahinya. Kita semua berhak mendapatkan pendidikan yang layak, seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 32 ayat 1. Namun pertanyaannya, sudahkah system pendidikan di Indonesia ini mampu membentuk manusia yang siap akan tuntutan masa depan atau hanya membentuk “robot-robot” produk kurikulum??
Berangkat dari itu semua, saya teringat saat saya memakan mie ayam di dekat tempat kosan. (loh koq gak nyambung?) Waktu itu saya berkata pada penjual mie ayam tidak usah memakai sambal dan pakai kecap yang banyak, akhirnya ibu-ibu si penjual mie ayamnya memberi kecap terlalu banyak hingga rasanya terlalu manis dan saya bahkan tidak habis memakannya. Uang delapan ribu saya pun terbuang!
Dari situ hal terburuk yang saya dapatkan adalah pengalaman. Hal terbaik yang saya dapatkan adalah ide. Saya mendapatkan ide sederhana. Jika dikaitkan dengan pendidikan di Indonesia khususnya, saya pikir tidak berlebihan jika berteori “Pendidikan adalah ibarat makanan”. Semua orang butuh makan, begitu pula semua orang butuh pendidikan. Namun tentu saja, setiap individu memiliki “selera” mereka masing-masing dalam berbagai bidang keilmuan. Jika individu itu harus menjalani bidang keilmuan yang bukan merupakan bidangnya, tentu yang terjadi hanyalah buang-buang waktu!
Turuti Kata Hati Sebagai Passion Menuntut Ilmu
Sayangnya sistem pendidikan di Indonesia lebih mengorientasikan nilai. Semua mata pelajaran harus bagus! Semua siswa di Indonesia harus lulus mata pelajaran yang di-UN kan kalau tidak mereka tidak bisa kuliah atau melanjutkan jenjang lebih tinggi . Walhasil, banyaklah dari mereka yang akhirnya mencontek, membeli naskah soal, jual beli ijazah, dll.
Saya jadi ingat kata-kata Rancho dalam film 3 idiots, “Jalani pekerjaan yang kau kuasai! Jika saja bapaknya Mariah Carey menyuruh dia untuk menjadi Insinyur, atau bapaknya Jet lee menyuruh dia untuk menjadi penyanyi, coba bayangkan, akan jadi apa mereka hari ini?”
Bagaimanapun lembaga pendidikan bukanlah sebuah panci bertekanan tinggi dan peserta didik bukanlah robot yang siap menerima input apa aja seperti program komputer. Bahkan program komputer pun bisa nge-hang kalau terlalu banyak yang harus diolah. Semua program malah menjadi tidak berjalan!
Ada yang bilang tips bahagia itu sederhana: Do what you love or love what you do!
Akhirnya setelah memangkas rerumputan sepanjang mata memandang, saya menemukan passion pribadi saya menjadi seorang public speaking: motivator. Dari situ saya memilih untuk masuk jurusan psikologi, karena saya tahu dan saya memilih untuk membutuhkannya.
Pendekatan Tolikara (Pendidikan Hingga Daerah Terpencil)
Setiap individu pasti memiliki keahliannya masing-masing bahkan untuk hal-hal kecil. Namun, bagaimana kita memaksimalkan keahlian tersebut untuk menjadi prestasi? Dan bagaimana kita memanfaat keahlian tersebut menjadi kebaikan untuk banyak orang? Dalam sebuah hadits dikatakan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain.”
Maka dari itu, sekarang kita terbang ke Jayapura, dari pedalaman Tolikara. Waktu itu pemerintah daerah dipusingkan dengan miskinnya dana pembangunan dan administrasi, seorang ‘gila’ bernama John Tabo malah melatih edan-edanan 15 anak Papua berbakat dalam bidang Fisika selama 10 bulan sehingga mereka bisa menyelesaikan problem matematika tersulit tingkat SMA bahkan universitas.
Hasilnya apa? Pelajar-pelajar ini pun berhasil mengharumkan Indonesia di tingkat dunia dan meraih medali emas. Indonesia dikenal lewat Tolikara meskipun selama ini Indonesia tidak kenal Tolikara. Akhirnya Tolikara pun mendapat bantuan lebih dari Indonesia dan dunia. Segala pembangunan infrastruktur berjalan lebih cepat dari daerah lain.
Solusi Untuk Sistem Pendidikan Indonesia
Banyak dari kita saling berteriak menyalahkan yang justru semakin menghilangkan letup semangat nasionalisme. Banyak dari kita memahami betul sistem pendidikan Indonesia yang bobrok namun belum ada usaha konkret untuk menuju perbaikan.
Sebetulnya usaha yang sebaiknya kita lakukan bersama adalah “Membuat Mie Ayam Sendiri” kalau tidak suka mie ayam, bisa bikin bakso sendiri, atau apapun makanan yang disuka. Kalau makanan tidak disukai atau takaran tidak pas walhasil maka banyak makanan yang tidak termakan. Ibaratnya, banyak pelajaran justru yang tidak terserap!
Tidak berlebihan saya bilang masyarakat hanyalah produk kurikulum. Semuanya sama. Tidak ada yang baru. Konsep yang me-”rimba” ini hanya akan menguntungkan mereka yang benar-benar kompetitif dan pintar, lalu melumat habis-habis mereka yang sebenarnya cerdas, tapi tidak ditangani dengan sistem yang baik. Di sisi lain, sistem yang hanya mementingkan kompetisi akan membuat mahasiswa tidak pernah berpikir kreatif, takut bahwa hasil karyanya tidak sesuai dengan yang diinginkan dosen atau institusi. Sistem pendidikan cenderung “teacher centre” bukan “Student Centered Learning”.
Akhirnya mereka yang tidak memenuhi standar,melakukan berbagai kecurangan agar bisa memenuhi standar. Jadilah mereka benih-benih korupsi baru di masa depan sebagai buah dari sistem yang menyeret ketidakjujuran.
Nah! Kalau kita sudah berhasil mencuri hati pak presiden dan duduk di bangku menteri pendidikan, maka kita harus paham “selera” kita belum tentu sama dengan “selera” orang lain. Saya tidak akan menetapkan kurikulum harus KTSP, KBK, atau apapun nama dan tetek bengeknya. Saya lebih cenderung menetapkan kurikulum dimana pelajaran adalah passion bukan pressure. Bukan permintaan pasar bukan pula asal pemasukan, namun sebuah jawaban atas permasalahan umat dengan ide-ide baru dan cerdas dari setiap aspek.
Sebelum bermimpi melakukan pembenahan, tentunya kita butuh menempuh satuan pendidikan itu sendiri. Lagi-lagi, sekalipun banyak yang perlu dibenahi, carut-marut disana-sini, pendidikan adalah sebuah keniscayaan.
Contohnya adalah pendidikan barat zaman penjajahan Belanda yang kini menimbulkan kekangenan. Waktu itu, pengetahuan bahasa Belanda merupakan kunci yang bisa membuka gudang harta peradaban dan pengetahuan Barat. Pada awalnya, pendidikan ini diterima dengan curiga karena dapat mengikis nilai-nilai budaya lokal dan budaya berbahasa Indonesia, namun tentunya masyarakat Hindia Belanda yang terdidik jadi memiliki kemampuan analitis tajam sehingga membentuk kembali kesadaran pribumi untuk merdeka. Sebutlah tokoh-tokoh hasil didikan Belanda, Tirtoadisuryo, Soewardi Soeryaningrat, dsb.
At last but not least, jika diungkapkan dalam kalimat sederhana, Indonesia membutuhkan peran-peran paraagents of changeyang bisa membawa bangsa menuju cita-cita besar pada sebuah perubahan yang sejak lama diimpikan. Maka dari itu, saya termotivasi menulis esai ini. Saya berharap ada generasi muda yang sepenuhnya menyadari bahwa di tangannyalah perubahan itu terwujud. Satu kalimat favorit saya:Maka daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin. Let’s make it happen!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H