Sejarah penambangan emas dan perak di Tumpang Pitu berawal pada tahun 1995, dimana PT Hakman Metalindo mendapatkan izin Kuasa Pertambangan (KP) dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) untuk melakukan eksplorasi pertambangan di Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi dengan luas 62.586 hektar. Dalam melakukan eksplorasi, PT Hakman Metalindo bekerja sama dengan Golden Valley Mines N.L, yakni perusahaan yang berasal dari Australia. Setelah mendapat kepastian tentang kandungan mineral yang ada, pada sekitar pertengahan tahun 2000, PT Hakman Group mengajukan kontrak karya pertambangan kepada pemerintah Jember dan Banyuwangi. Berdasarkan surat No.01.17/BM/VII/2000, tanggal 17 Juli 2000, PT Banyuwangi Mineral (perusahaan bentukan PT Hakman) mengajukan permohonan izin prinsip Kontrak Karya Pertambangan untuk kawasan seluas 150.000 hektar di daerah Banyuwangi. Eksplorasi Hakman Group berakhir setelah diterbitkannya surat Bupati Banyuwangi dengan nomor 545/513/429.022/2006 pada tanggal 20 Maret 2006. Penguasaan pertambangan kemudian diberikan kepada PT Indo Multi Cipta (IMC) yang kemudian berganti nama menjadi Indo Multi Niaga (IMN) dengan izin Kuasa Pertambangan Eksplorasi seluas 11.621,45 hektar.
Pada tahun 2012, PT IMN mengalihkan Izin Usaha Pertambangannya kepada PT Bumi Suksesindo (BSI) yang merupakan anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold, Tbk. Merdeka Copper Gold, Tbk memiliki 3 anak perusahaan, yaitu PT Bumi Suksesindo (BSI), PT Damai Suksesindo (DSI), dan PT Cinta Bumi Suksesindo (CBS). BSI dan DSI memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), sedangkan CBS belum memiliki IUP. Lokasi IUP BSI dan DSI terletak di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Provinsi Jawa Timur, dengan IUP OP BSI seluas 4.998 hektar dan IUP Eksplorasi DSI seluas 6.632 hektar. IUP OP milik BSI akan berlaku sampai 25 Januari 2030 dan IUP Eksplorasi milik DSI berlaku sampai dengan 25 Januari 2016 kemudian diperpanjang pada tahun 2018 dengan izin eksplorasi sampai 2024 seluas 6.558,46 hektar.
Meskipun perusahaan tambang di Tumpang Pitu memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), terdapat dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Lingkungan Hidup dan peraturan daerah yang berlaku. Contohnya seperti PT BSI yang memiliki IUP namun kepatuhan terhadap syarat-syarat di dalam IUP tersebut masih dipertanyakan. Terdapat dugaan juga bahwa perusahaan tidak melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang komprehensif sebelum memulai operasi, yang merupakan kewajiban berdasarkan UU No.32 Tahun 2009. Selain itu, penambangan yang dilakukan telah menyebabkan kerusakan hutan dan lingkungan yang signifikan, yang berpotensi melanggar regulasi perlindungan lingkungan hidup.
Aktivitas penambangan yang dilakukan di Tumpang Pitu yang seharusnya menjadi kawasan pariwisata dan perikanan juga melanggar ketentuan rencana tata ruang yang ada. Dan terdapat laporan mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dimana terdapat penangkapan warga yang menolak aktivitas tambang, yang menunjukkan adanya masalah dalam penerapan regulasi yang melindungi hak masyarakat.
Kegiatan penambangan eksploitasi emas di Gunung Tumpang Pitu memberikan dampak positif juga negatif. Dampak positif kegiatan penambangan yaitu memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah. dan menyumbangkan devisa negara, membuka lapangan pekerjaan, pengadaan barang dan jasa untuk konsumsi serta menyediakan prasarana bagi pertumbuhan sektor ekonomi lainya (Dewi dalam Mariati dkk, 2023).
Dampak positif dari segi ekonomi adalah investasi pertumbuhan ekonomi dari peluang kerja yang terbuka dan mengurangi pengangguran sesuai data tingkat pengangguran terbuka tahun 2020 mencapai 3,92% dari seluruh angkatan kerja kondisi membaik dari tahun 2021.Tingkat pengangguran terbuka menurun mencapai 3,71% berada di bawah TPT Jawa Timur yang mencapai 4,16%. Dengan adanya pertambangan ini, juga meningkatkan pendapatan daerah, Pemkab Banyuwangi mendapatkan tambahan bagi hasil dari pembayaran pajak hingga mencapai 440 sampai 500 miliar dari Golden Share, selain itu, jumlah dari UMKM juga meningkat (Mariati dkk, 2023).
Dampak negatifnya, dalam catatan JATAM 2012, eksplorasi yang dilakukan oleh PT Hakman Metalindo menyebabkan hutan jati yang ada di kawasan teresebut menjadi kering. Selain itu, menurut Mariati dkk (2023), penambangan menyebabkan rusaknya lingkungan hutan lindung, karena kegiatan tersebut dilakukan tanpa memerhatikan keberlanjutan ekologi Gunung Tumpang Pitu.
Akses jalan juga menjadi rusak karena kegiatan pra-reproduksi penambangan yang dilakukan oleh perusahaan yang awalnya menggunakan akses jalan darat sehingga menurut Heri (2022), mobil yang melintasi wilayah Desa Sumberagung melebihi tonase yang telah ditentukan (Mariati dkk, 2023).
Tambang dapat mengakibatkan kerusakan pada ekosistem alami seperti hutan, sungai, dan lahan pertanian. Penggalian, pengangkutan, dan pemanfaatan bahan tambang dapat mengganggu struktur dan komposisi ekosistem, menyebabkan kehilangan habitat bagi flora dan fauna serta mengganggu keseimbangan ekologis (Nadya dalam Alkautsar, 2023). Aktivitas pertambangan dapat mencemari kualitas air dengan zat-zat kimia seperti logam berat yang terlepas dari batuan tambang. Air limbah dari tambang dapat mencemari sungai dan sumber air, mengancam kualitas air minum dan kehidupan akuatik (Indah & Norsita Agustinadalam alkautsar, 2023). Selain itu, debu dan partikel berbahaya yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan dapat mencemari udara dan menyebabkan polusi udara. Ini dapat berdampak negatif pada kesehatan manusia dan lingkungan sekitar (Al Idrus dalam Alkautsar, 2023).
Selain itu, aktivitas peledakan oleh perusahaan tambang menyebabkan kematian ikan akibat frekuensi pengeboman yang tinggi. Limbah tambang yang dibuang langsung ke muara laut juga mengakibatkan air laut tercemar hingga warna airnya berubah menjadi coklat keruh, diperburuk oleh berkurangnya resapan air akibat dari penebangan hutan. Kerusakan ekologi ini sangat merugikan masyarakat sekitar yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Hal tersebut melanggar UU No.32 Tahun 2009 pasal 69 ayat 1 huruf (a), yang berbunyi:“setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup”. Kerusakan yang ditimbulkan akibat aktivitas pertambangan seolah menjadi suatu hal yang biasabagi masyarakat setempat (Bebbington dkk.dalam Robbins dalam Setiawan, 2024).
Mempertimbangkan dampak positif dan negatif dari adanya pertambangan di Tumpang Pitu, aktivitas penambangan lebih banyak memberikan kerugian dibanding keuntungan. Meskipun keuntungan yang didapat Pemerintah Kabupaten banyuwangi cukup besar, namun hal tersebut tidak sebanding dengan kerusakan alam dan juga masyarakat Desa Sumberagungg yang kehilangan mata pencahariannya karena laut yang tercemar akibat aktivitas penambangan. Untuk itu, sebaiknya aktivitas penambangan dihentikan atau perusahaan tambang dapat mematuhi regulasi penambangan dengan baik, agar tidak terjadi kerugian bagi alam maupun masyarakat setempat.