Sebuah gelombang baru melanda Asia Tenggara, dipicu oleh pergeseran dramatis dalam dinamika kekuatan regional. China, dengan kekuatan ekonominya yang melonjak dan pengaruh politiknya yang semakin besar, muncul sebagai kekuatan utama di kawasan ini. Sementara itu, Amerika Serikat, yang dulunya merupakan pemimpin regional yang tak terbantahkan, mendapati dirinya tertinggal dalam beberapa langkah penting.
Survei terbaru dari Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) -Yusof Ishak Institute, menunjukkan bahwa di antara negara-negara Asia Tenggara, China bagaikan magnet yang menarik, dengan 71,8% responden memilihnya sebagai mitra ekonomi paling penting, dibandingkan dengan AS yang hanya 13,5%. Dominasi China semakin terlihat jelas dalam ranah politik, di mana 43,2% responden memilihnya sebagai mitra politik paling penting, dibandingkan dengan AS yang hanya 37,6%.
Namun, di tengah kebangkitan China, kekhawatiran pun muncul. Survei yang sama menunjukkan bahwa 77,7% responden menyatakan keprihatinan atas meningkatnya ketegangan antara AS dan China, bagaikan awan gelap yang menyelimuti kawasan. Bayang-bayang konflik antara kedua negara adidaya ini menghantui, dengan 62,2% responden menyatakan kekhawatiran mereka.
Bagi Indonesia, negara terbesar di kawasan ini, situasinya bagaikan berjalan di atas tali. Survei Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa 67,8% responden Indonesia memilih China sebagai mitra ekonomi paling penting, dibandingkan dengan AS yang hanya 18,9%. Dalam hal politik, 38,2% responden memilih China sebagai mitra politik paling penting, dibandingkan dengan AS yang hanya 35,3%. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia terjebak dalam situasi yang rumit, bagaikan terombang-ambing di antara dua kekuatan besar.
Masa depan Asia Tenggara bagaikan lembaran kosong yang masih harus ditulis. Dominasi China yang kian kokoh tak dapat dipungkiri, dan negara-negara di kawasan harus beradaptasi dengan realitas baru ini. ASEAN, bagaikan perahu yang mengarungi lautan, harus memperkuat persatuan dan otonominya untuk menavigasi lanskap geopolitik yang kompleks dan terus berkembang ini.
Namun, di tengah ketidakpastian ini, secercah harapan muncul. Kolaborasi antara China dan AS, bukan persaingan, demi kepentingan bersama di Asia Tenggara, bagaikan jembatan yang menghubungkan dua daratan. Sinergi ini dapat mengantarkan pada pembangunan infrastruktur regional yang merata, konektivitas yang lebih baik, dan peluang ekonomi yang lebih besar bagi semua pihak, bagaikan taman bunga yang mekar di tengah gurun pasir.
Kunci untuk masa depan yang damai dan sejahtera di Asia Tenggara terletak pada diplomasi yang cerdas, kerjasama regional yang kuat, dan komitmen bersama untuk pembangunan dan stabilitas. Hanya dengan bekerja sama, negara-negara di kawasan ini dapat memanfaatkan peluang yang dihadirkan oleh lanskap geopolitik yang berubah ini, sambil menghindari jebakan persaingan kekuatan besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H