"Semua makhluk hidup itu jenius, tetapi jika kamu menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka seumur hidup ikan itu akan mempercayai bahwa dirinya bodoh". Albert Einstein.
Di Indonesia sistem pendidikan sebelum kurikulum merdeka digagas lebih condong pada sistem pendidikan yang terpusat pada satu titik saja. Anak-anak digolongkan hanya pada satu hal yaitu disebut pintar jika cerdas secara akademik. Akibatnya sampai saat ini generasi-generasi Indonesia kerap merasa minder dan tidak percaya diri karena menganggap dirinya bodoh karena tidak pintar dalam hal akademik.
"Jahatnya pendidikan di Indonesia adalah ketika setiap anak tidak yakin bahwa dia berbeda dengan orang lain. Padahal, Ki Hajar Dewantara pernah bilang bahwa padi tidak akan menjadi jagung. Padi diperlakukan sebagaimana pagi, jagung sebagaimana jagung." -- Pandji Pragiwaksono
Padahal setiap anak adalah unik, maka guru seharusnya mampu untuk menemukan keunikan anak dan memberikan stimulus untuk mengasahnya menjadi sesuatu yang bernilai.Â
Menumbuhkan rasa percaya diri pada anak adalah salah satu hal yang sangat krusial. Apalagi dengan gencarnya digitalisasi pasca pandemi. Kepercayaan diri anak akan membantu menjaga anak dari pengaruh buruk yang bisa terjadi dari interakasi mereka dengan hal-hal di sekeliling.
Merdeka belajar menekankan pada rasa bahagia pada siswa saat melaksanakan pembelajaran. Bukan rasa terkekang dan dipenjara, pembelajaran bisa dilakukan dimana saja dengan media apa saja.
Ada satu poin pada kurikulum merdeka yang bisa saya jadikan pijakan untuk membangun rasa percaya diri anak bahwa mereka berbeda, yaitu pembelajaran berdiferensiasi.
Pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran merdeka yang membebaskan anak untuk bisa memaksimalkan pengerjaan tugas berpokok pada hal-hal yang mereka suka atau kuasai.
Kebetulan sekolah saya mendukung sekali pelaksanaan pembelajaran berdiferensiasi tersebut. Guru dibebaskan untuk membuat instrumen pembelajaran dan tugas sesuai dengan keperluan. Asal tidak melenceng dari capaian pembelajaran yang akan ditargetkan.
Contoh aksi nyata yang saya lakukan adalah ketika anak harus membuat proyek untuk tugas akhir mereka pada pelajaran Produk Kreatif dan Kewirausahaan. Untuk proyek akhir ini saya menugaskan anak-anak untuk membuat sebuah benda kerja.