Oleh Marwanto
Seiring maraknya praktik demokrasi elektoral (pemilu, pemilukada, serta pilkades), gugatan atas kriteria pemilih pun dilontarkan. Dasar argumentasinya, demokrasi yang menerapkan mekanisme pemilihan langsung kurang menjamin munculnya wakil rakyat dan pemimpin berkualitas. Bagaimana bisa kualitas seorang pemimpin ditentukan oleh pilihan publik dengan perolehan suara terbanyak?
Konon, pada zaman Yunani kuno, praktik berdemokrasi (termasuk pemilu) hanya melibatkan apa yang disebut sebagai "warga negara resmi". Rakyat jelata, atau lebih tepatnya budak, tidak diikutkan dalam pemilu. Demokrasi Yunani kuno beranggapan, masalah politik kenegaraan lebih tepat jika diputuskan oleh orang-orang yang memiliki pandangan tentang kebajikan hidup.
Mirip hal tersebut, dulu di berbagai wilayah Tanah Air saat melangsungkan pemilihan pemimpin adat acap kali dilakukan dalam sebuah rembuk (musyawarah) yang dihadiri utusan tokoh-tokoh masyarakat. Sementara di era Orde Baru, kita tahu, mekanisme demokrasi perwakilan ini dipraktikkan MPR untuk memilih presiden dan DPRD untuk memilih kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota).
Gelombang demokratisasi awal abad ke-21 ternyata membawa tren mekanisme pemilihan langsung. Demokrasi perwakilan dianggap bias (bahkan gagal) karena wakil rakyat di parlemen yang diharapkan memperjuangkan aspirasi warga malah berkiblat pada kepentingan partai politik. Oligarki parpol ini membuat pemilihan pemimpin tak lebih sebagai praktik dagang sapi para elite parpol.
Namun, ketika hasil pemilihan langsung tak juga kunjung berkorelasi positif dengan kesejahteraan, yang kemudian muncul tidak saja polemik seputar mekanisme pemilihan, tapi juga filosofi yang mendasari definisi pemilih (warga yang dilibatkan pemilu). Pihak yang setuju "membatasi" pemilih atau mendukung mekanisme pemilihan tidak langsung (perwakilan) memiliki argumentasi berikut.
Pertama, warga yang terlibat proses pemilu pada hakikatnya menanggung sejumlah konsekuensi. Di antaranya, konsekuensi terhadap pilihannya. Lebih jauh lagi, konsekuensi terhadap kekuasaan yang terbentuk dari hasil pemilu. Artinya, warga sebagai pemilih semestinya juga terlibat aktif mengawasi pemerintahan hasil pemilu. Konsekuensi ini sangat berat jika ditanggung warga negara biasa, apalagi budak.
Kedua, membatasi keterlibatan warga dapat menekan biaya pelaksanaan pemilu. Di tengah citra mahalnya biaya demokrasi, hal ini menjadi relevan. Dengan kata lain, pelaksanaan pemilu yang berbiaya rendah dan berlangsung efisien-efektif sekaligus sudah mampu melahirkan kekuasaan terlegitimasi yang mengemban amanat konstituen dalam rangka menyejahterakan rakyat.
Ketiga, hasil pemilu dapat dipertanggungjawabkan. Karena pemilih adalah warga terdidik (cerdas), maka selain persentase suara tidak sah sedikit, pilihan mereka juga diharapkan menghasilkan wakil rakyat (pemimpin) yang berkualitas. Pemilu 2009 di negera kita, yang punya slogan: pemilih cerdas memilih wakil berkualitas, agaknya terinspirasi dari sini.
Sementara mereka yang tidak setuju "pembatasan" pemilih akan berdalih, hak pilih itu seharusnya berlaku universal. Semua warga negara tanpa pengecualian yang bersifat ideologis dan politis berhak menjadi pemilih dalam pemilu. Pengakuan hak pilih universal ini menjadi salah satu syarat sebuah pemilu yang demokratis (Eep Saifullah Fatah, 1998: 101).
Pendidikan pemilih