Mungkin kita masih mengingat nama Muhammad bouazizi. Dia adalah seorang pedagang kaki lima Tunisia yang melakukan adegan bakar diri. Adegan ini memicu revolusi di Tunisia.
Di Indonesia, adegan ini juga terjadi. Sondang hutagalung adalah seorang mahasiswa universitas bung karno juga melakukan aksi bakar diri. Namun Indonesia tidak serta merta menimbulkan gerakan rakyat secara massif untuk melakukan revolusi. Kenapa hal ini terjadi?
Sebernarnya, berbicara revolusi sosial meniscayakan sarat-sarat atau prakondisi tertentu yang membuatnya tejadi. Di Tunisia di bawah rezin ben ali, kebebasan berpolitik sangat di batasi. Segala aspirasi yang bersifat oposisi akan segera di hilangkan. singkatnya rakyat Tunisia hidup dibawah bayang-bayang kekuasaan yang otoriter.
Selain factor politik, ekonomi tak kalah pentingnya. Meskipun pendapatan rata-rata perkapital rakyat Tunisia lebih besar di banding Indonesia namun distribusi kekayaan tidak mengalir secara merata keseluruh rakyat Tunisia. Kekayaan hanya terkonsentrasi pada segelintir orang. Sedangkan mayoritas rakyat Tunisia hanya mendapat sebgian kecil dari total kekayaan Tunisia. Dan terpenting dari itu semua adalah kesadaran politik (sosial) tentang realitas yang sebenarnya.
Di Indonesia, sarat dan prakondisi itu sudah ada namun belumlah sepenuhnya terjadi. Terlebih kesedaran politik (sosial) tentang apa yang terjadi sebenarnya. Kekuatan hegemonik rezim SBY- Budiono sangat kuat. Sehingga mengalienasi rakyat Indonesia untuk menerima keadaan yang diciptakan oleh rezim secara sukarela. Terlebih salah satu alat hegemonik yang paling ampuh adalah politik pencitraan SBY yang dapat meredam pemberontakan.
Jadi meskipun saudara kita Sondang Hutagalung membakar diri namun gejolak protes terhadap penguasa tidak akan terjadi seperti di Tunisia. Protes akan ada namun hanya kelompok minoritas yang tersadarkan secara politik dan sosial yang melakukannya. Mayoritas rakyat Indonesia lain hanya merasa iba tanpa melakukan aksi yang berarti. Atau malah kejadian ini hanya dilihat sebagai adegan bunuh diri biasa karena kelaianan jiwa. Apalagi jika presiden SBY melakukan jumpa pers untuk mengucapkan bela sungkawa dengan ekspresi wajah yang menyedihkan (menangis).
Jadi yang terpenting adalah bagaimana kesadaran itu dibangkitan. Represi politik dan monopoli ekonomi adalah faktor yang penting tapi tak kalah penting dengan kesadaran politik (sosial). Jangan lupa ketika kejatuhan Suharto semata-mata karena tekanan ekonomi dan politik terhadap rakyat Indonesia. Melainkan beberapa Tahun sebelum peristiwa reformasi upaya-upaya penyadaran politik sudah digalakkan. Sehingga hegemoni penguasa dapat terkalahkan.
Makassar (kafe mamiri), 12 desember 2011, Pukul 03:33
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H