Lagi-lagi teroris menjadi headline topik dalam pemberiataan media massa kita. Masalah ini memang cukup serius untuk bangsa kita yang sangat plural. Di tengah ke pluralan itu, terdapat kelompok-kelompok yang ingin memaksakan kehendaknya dengan cara kekerasan yang kadang tak manusiawi. Seperti di ungkapkan di media, untuk menjalankan misinya biasanya dengan melakukan perampokan uang (bank), pembunuhan terhadap polisi serta aksi-aksi kekerasan lain seperti pemboman.
Di malam pergantian tahun yang barusan terlewati, kita kejutkan kembali dengan penggrebekan rumah terduga teroris. Tepat malam peralihan tahun yakni 31 desember menuju 1 januari 2014 peristiwa itu terjadi. Penggerebekan tersebut serta merta menimbulkan perlawanan sehingga terjadilah tembak menembak antara kedua bela pihak (terduga-polisi).
Motif apa?
Ada yang menarik dari proses penangkapan ini. Saya yakin polisi sudah tahu keberadaan mereka sejak beberapa hari sebelumnya bahkan jauh sebelum insiden tembak-menembak itu terjadi. Tapi demi pengumpulan informasi/data yang lebih dalam, para terduga teroris tetap dibiarkan berkeliaran. Hingga akhrinya pihak kepolisian memilih momentum tahun baru sebagai saat yang tepat untuk melakukan penangkapan. Sayang, bukan di tangkap malah hampir semua di tembak mati. Padahal mereka (terduga teroris) belumlah pasti bersalah.
Tapi kenapa harus di malam tahun baru? Dan kenapa harus di grebek terlebih lagi dengan adegan tembak menembak?
Entah agenda apalagi yang ingin di mainkan. Hemat saya momentum tahun baru memiliki nilai jual yang cukup tinggi dalam momentum-momentum akhir-akhir ini. Sebelum tahun baru juga, saudara-saudara kita umat kristiani tengah merayakan hari besarnya, natal. Sehingga ada kesan yang ingin di kontraskan atau di negasikan antara dua kelompok agama ini. Karena ketika mendengar term ‘teroris’, kebanyakan masyarakat kita akan terasosiasi pada kelompok-kelompok gerakan ‘islam ekstrimis’ atau malah seluruh umat islam. Maka umat islamlah yang menjadi kambing hitam, nama islam kemudian akan tercoreng.
Ini sangat berbahaya ditengah kehidupan perpolitikan kita yang kian memanas. Sebentar lagi kita akan melaksanakan sebuah hajatan demokrasi secara nasional, pemilu. Sebuah sejarah baru yang akan di catat oleh bangsa kita. Oleh karena itu, momentum-meontum seperti ini sangat tidak akan dibiarkan begitu saja oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil ikan di air yang keruh tak terkecuali pihak asing. Apalagi percaturan politk internasional yang setiap negara berambisi mengambil ke untungan bahkan menguasai negara lain.
Untuk pertanyaan kedua juga sangat penuh teka teki. Seperti keyaikan awal tadi, bahwa para terduga telah diketahui keberadaannya sebelumnya tapi kenapa cara menangkapannya seperti di atas hingga pembunuhan. Padahal bagi detasemen khusus (densus) 88, cara-cara penangkapan yang lebih elegan pasti sudah mereka kuasai. Misalnya mereka bisa saja melaukan penculikan terhadap para terduga teroris tatkala mereka keluar rumah. Tapi kenapa itu tidak di lakukan? Mungkin karena tidak heboh dan sensasional.
Sehingga penggerbakan hingga tembak-tembakan yang mematikan itu di jadikan komoditas pemberitaan yang ‘wah’. Karena pasar media lebih menyukai hal-hal yang bernuansa kekerasan atau teroris. Tidak menutup kemungkinan ada kerja sama dengan media untuk kepentingan bisnis.
Selain itu kenapa haru di tembak mati? Padahal bisa saja banyak informasi penting yang patut di ketahui oleh masayarakat Indonesia. Atau bisa jadi juga, informasi penting dari para terduga yang mati itu sangat penting yang dapat menggoyahkan pihak tertentu sehingga mereka harus ditembak mati. Terlepas dari itu semua, menembak mati tanpa ada proses peradilan adalah pelanggaran HAM yang berat.
Ada juga analis yang mengatakan, keberadaan densus 88 merupakan proyek yang memiliki agenda tertentu. Sehingga membuat isu teroris lebih boming menjadikan mereka semakin eksis dan medapatkan kesan simpati yang semakin dalam dari masayarakat Indonesia. Bahwa keberadaan mereka benar-benar di butuhkan.