Mungkin anda akan bertanya-tanya kenapa dua pasangan di atas diperbandingkan? saya tidak akan sedang membandingkan antara siapa yang penting atau lebih penting tapi saya hanya ingin membincangkan kemiripan pelantikan dua pasangan tersebut.
Mejelang 20 oktober yang lalu dan setelahnya, ramai diperbincangkan oleh publik terutama di media. Rafi-Nagita dengan pernikahannya membentuk bahterah yang bernama rumah tangga sedangkan jokowi-Jk dengan pelantikannya menjadi pemimpin di negeri yang bernama Indonesia ini. Prosesi keduanya terselenggara dengan dana yang lumayan besar. Bahkan terkesan media-media pun terbelah dan berbeda sikap dalam penayangannya. Ada yang terkonsentrasi pada acara pernikahan, ada juga yang mengonsentrasikan pada acara pelantikan. Keduanya memiliki segmen masyarakat media (penonton) tersendiri yang masing-masing cukup besar.
Nah, pernakah mendengar istilah ‘bulan madu’ ? yah, saya pastikan anda sudah tahu. Istilah ini biasanya dilekatkan pada sepasang kekasih yang baru menyelesaikan pernikahan. Mereka biasanya akan memadu cinta dan kasih sebagai bagian pemenuhan kebutuhan spritual dan biologis. Dan hal ini adalah sah bahkan di wajibkan oleh agama (islam, tidak tau kalau agama lain). Inilah yang sedang dilakukan oleh pasangan Rafi-Nagita.
Ternyata istilah ‘bulan madu’ juga belaku pada politik. Setelah pelantikan Jokowi-Jk sebagai pemimpin Indonesia, maka keduanya masuk dalam babakan sejarah baru, yakni fase ‘bulan madu’. Tapi jangan diartikan sebagaimana halnya bulan madu dalam tradisi pernikahan. Namun istilah ini bisa diartikan adanya masa-masa konsolidasi dan kebahagiaan bersama yang jauh dari konflik. Masa dimana adanya kasih sayang yang begitu kuat antara Jokowi-JK dan partai-partai pengusungnya serta pihak-pihak yang mendukungnnya.
Pada substansinya bulan madu yang dilakukan Rafi-Nagita akan kurang lebih sama dengan Jokowi-Jk. Mereka akan melawati masa-masa indah itu.
Bulan madu yang berubah
Namun, dalam banyak cerita yang merundung para selebritas tanah air, sering terdengar kasus perceraian. Keputusan itu tentunya selalu di awali dengan adanya konflik kepentingan (minimal kepentingan batin. Hehe) antara kedua bela pihak yang berujung pada perceraiaian. Tentunya kita tidak berharap hal ini akan menimpa pasangan Rafi-Nagita. Namun terjadinya konflik, itu adalah sebuah keniscayaan. Pada waktu tertentu mungkin masa bulan madu itu akan mereka lewati dan konflik akan menjadi warna tersendirii dalam kehidupan rumah tangga mereka. Jika konflik ini tidak dikelolah dengan baik, maka bahtera (kapal) rumah tangga yang mereka bangun akan mudah goyah. Karena selalu saja setiap kapal yang berlayar selalu akan menemui ombak ataupun badai, besar atau kecil. Maka kelihaian dan kekuatan keduanyalah yang mampu menyelamatkan kapal yang mereka telah bangun untuk sampai ditujuan. Jika mereka (baca: Rafi-Nagita )tidak mampu mengelolah perbedaan itu dengan baik, maka bisa saja kapal itu akan karam di tengah jalan, inilah perceraian itu.
Fenomena ini juga biasa terjadi dalam dunia politik. Kadang sejarah selalu mengulangi dirinya. Kita belajar pada perjalanan sejarah politik bangsa ini. Tidak perlu membawa memori kita jauh kebelakang. Mari kita lihat realitas politik di zaman SBY. Awal-awal pemerintahannya, beliau merangkul partai-partai serta membentuk kabinet dengan orang-orang yang cukup mumpuni dibidangnya meskipun faktor kepentingan politik selalu ada. Saat itu mereka cukup solid. Mereka kemudian membuat kapal besar yang disebut dengan koalisi (kapal koalisi). Dan setelah itu mereka naik bersama dan berlayar menuju tujuan yang sama.
Kapal koalisi itu ternyata tidak berjalan mulus sesuai dengan tujuan. Dalam perjalanan banyak tantangan dari dalam dan luar kapal. Banyak badai serta ombak-ombak kepentingan yang selalu mengganggu tujuan sang kapal. Kadang kepentingan itu menginginkan sesuatu diluar tujuan bersama dalam hal ini tujuan pribadi atau kelompoknya. Sementara jika kapal mengikuti semua ke inginan partai atau pihak tertentu, maka kapal akan cukup sukar untuk sampai pada tujuan bersama. Di satu sisi jika partai atau pihak tertentu dikeluarkan atau dibiarkan keluar dari kapal koalisi maka bisa saja kapal tersebut akan hancur. Karena kapal koalisi di bangun atas pertimbangan-pertimbangan politik yang cukup teliti. Keluarnya satu anggota koalisi bisa jadi akan menyebabkan kapal akan lemah untuk menghadapi serangan-serangan yang mengganggu jalannya pemerintahan.
Realitas ini saya yakin akan tejadi pada pemerintah Jokowi-Jk. Bahwa kapal koalisi akan selalu mendapat goncangan merupakan sebuah kepastian. Saat ini saja (saat menulis tulisan ini) kapal koalisi itu mulai sedikit tergoncang. Indikasi itu bisa terlihat dari terlambatnya pengumuman mentri-mentri pembantu Jokowi-Jk. Keterlambatan itu dapat mudah dibaca sebagai betapa sengitnya tarik-menarik kepentingan untuk mengakomodasi seluruh kepentingan semua partai serta pihak yang mendukung kapal koalisi Jokowi-Jk. Ini adalah tantangan bagi pemerintah Jokowi-Jk. Karenanya euforia kita menyambut pemerintahan baru perlu disikapi dengan bijak. Banyak yang tidak berani menjamin bahwa Jokowi-Jk akan mudah konsisten dengan janji-janjinya. Euforia bisa saja asalkan jangan terlampau berlebihan.
Inilah bulan madu yang harus dinikmati dengan bijak. Sangat perlu disadari bahwa masa-masa bulan madu ini pada saatnya nanti akan berubah. Fase keindahan hubungan (koalisi/bahterah rumah tangga) tidak selamanya akan terus menerus dirasakan. Akan ada banyak tantangan kedepan dimana selalu ada perbedaan kepentingan sehingga tak jarang menimbulkan konflik.