Akhirnya Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Ormas disahkan menjadi undang-undang, meskipun di kalangan akar rumput masih menyimpan pergolakan antara setuju dan tidak setuju. Hal ini biasa dalam negara penganut demokrasi. Tidak semua kepentingan harus diakomodasi. Sangat pelik bahkan mungkin mustahil semua kebijakan akan diterima 100% oleh masyarakat apalagi Indonesia memiliki jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa yang begitu bervariasi. Jadi tidak perlu risau akan adanya pro dan kontra semacam ini.
Tulisan ini tidak akan membahas sisi keadilan dan substansi dari UU ormas, melainkan akan melihat bagaimana keterkaitan UU ormas dengan konstalasi partai-partai politik yang tengah berkuasa di gedung parlement menjelang pemilihan umum (pemilu)2019. Tidak bisa dilihat secara normatif bahwa UU ormas hanya upaya mencitapkan stabilitas dan mengantisipasi gangguan dari gerakan kelompok yang dianggap bertentangan dengan pancasila. Lebih dari itu, UU ormas dapat dilihat sebagai pampangan segmentasi suara pemilihan umum dua tahun kedepan. Â
Sebagaimana diketahui hasil rapat pembahasan UU ini, terdapat partai yang setuju dikonversinya perppu menjadi UU yakni PDIP, Partai Golkar, Partai Hanura dan Partai Nasional Demokrat. Tiga parpol menyetujui dengan syarat direvisi adalah PPP, PKB, dan Demokrat. Dan terakhir tiga partai yang menyatakan menolak yakin Gerindra, PKS dan PAN.
Membentuk segmen suara
Tentunya sikap partai-partai politik ini tidak bisa dilepas dari kepentingan politik yang mengikutinya. Mereka ingin membentuk segmen suara untuk pemilu kedepan terutama untuk pemilu 2019. Keputusan politik mereka terhadap UU ormas berimplikasi pada sikap masyarakat di akar rumput. Apalagi UU ini cukup sensitif karena telah terkonstruksi sebagai upaya meredam gerakan islam yang cukup menonjol di tahun-tahun terakhir.
Segmen suara yang terkonsolidasi dapat dipetakan dalam beberapa garis besar. Pertama, kelompok nasionalis islamis yang cenderung dan ingin mewarnai Indonesia dengan hukum syariah dan kedua, kelompok nasionalis sekuler yang tidak ingin hukum syariah mengintervensi konstitusi. Ini hanya pengistilahan penulis untuk menjelaskan kelompok yang pertama sebagai penolak UU ormas dan kelompok kedua adalah pendukung UU ormas. Meskipun ada kelompok ketiga misalnya dari kelompok yang dapat berkompromi atau menjembatani kedua kelompok sebelumnya tapi tidak akan dimasukan dalam pembahasan.
Umumnya partai politik penolak UU ormas ialah partai politik yang menang dalam plkada Jakarta yang baru usai dilaksakan. Para pendukungnya banyak dari kalangan nasionalis islamis. Penolakannya dapat dilihat sebagai strategi merawat suara yang sudah terkonsolidasi dengan baik bahkan semakin kuat untuk modal pertarungan di pilkada dan pemilu kedepan. Basis suara ini cukup jelas dan menyimpan fanatisme yang cukup dalam. Mereka terideologisasi terlebih jika hal tersebut yang menurut mereka berkaitan dengan kepentingan islam.
Di sisi lain, partai politik pendukung tanpa syarat juga melakukan hal yang sama. Segmen suara mereka ada pada kelompok nasionalis sekuler yang kalah dalam pilkada Jakarta terakhir. Mereka juga sedang merawat segmen suara yang telah ada.
Bagaiamana dengan partai politik yang menyatakan mendukung dengan syarat atau dengan beberapa revisi? Kelompok ini sedang bermain di dua kali. Mereka ingin masuk dalam dua segmen suara meskipun menurut penulis agak pelik karena hari ini polarisasi suara mulai mengkristal.
Kedepan setiap isu akan digiring dan dikonstruksi demi kepentingan suara elektoral seperti halnya UU ormas. Apalagi semakin hari, jarak hajatan demokrasi terbesar di 2019 semakin dekat. Akan sangat sulit dihindari semua manuver partai politik akan diarahkan bagaimana mendapat simpati yang berujung pada kemenangan dalam kompetisi demokrasi dua tahun kedepan ini. Bola liar politik terus bergelinding, kita akan melihat siapa korban dan siapa pemenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H