Mohon tunggu...
Marwah Siti Mardiyyah
Marwah Siti Mardiyyah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Saya adalah seorang Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung jurusan PAI fakultas tarbiyyah dan keguruan. Hobi saya adalah membaca, menulis, olahraga, teaching, dan public speaking, saya menekuni dunia tulis menulis sejak tahun 2019.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pemahaman Reabilitas Alat Evaluasi Tes

29 Mei 2024   19:20 Diperbarui: 29 Mei 2024   19:43 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com

Reabilitas merupakan tinggkatan konsistensi dari sebuah instrumen. Reabilitas berkaitan dengan pernyataan "apakah alat tes tersebut dapat dipercayai sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Suatu alat tes dapat dikategorikan "reliabel" apabila menghasilakan hasil yang sama ketika uji cobakan kepada suatu kelompok yang sama pada waktu yang berbeda. 

Menurut Kerlinger (1986) berpendapat bahwa "kereabilitasan itu dapat diukur dari tiga kriteria, yaitu stability, dependability, dan predictability." Stability merupakan keajegan sebuah alat tes untuk mengukur fenomena yang sama pada waktu yang berbeda. Dependability yaitu seberapa jauh alat tes yang digunakan dapat diandalkan. predictability yang menunjukan kemampuaan suatu tes untuk menggambarkan hasil pada pengukuran fenomena/gejala selanjutnya. Salah satu cara untuk meningkatkan kereabilitasan suatu alat tes evaluasi yaitu dengan memperbanyak jumlah butir soal. 

Menurut pendapat Gronlund (1985) dalam buku "Evaluasi Pembelajaran" yang ditulis oleh Dr. Zainal Arifin, M.pd. bahwa terdapat 4 faktor yang dapat mempengaruhui kereabilitasan, yaitu ; Panjang tes, sebaran skor, tingkat kesukaran, dan objektifitas". 

1. Panjang Tes (banyaknya soal tes)

Dalam artian, semakin banyak evaluasi tes yang digunakan akan semakin tinggi tingkat kereabilitasan suatu tes, karena semakin banyak soal yang diteskan atau diuji cobakan, maka akan semakin banyak sampel yang dapat diukur dan proporsi jawaban yang benar akan semakin banyak, sehingga munculya faktor-faktor peserta didik dapat tebak-menebak semakin rendah. 

2. Sebaran skor (Besarnya sebaran skor)

Dalam artian, besarnya sebaran skor dapat mempengaruhi meningginya tingkat kereabilitasan, karena koefisien reabilitas yang lebih besar dapat diperoleh peserta didik ketika tetap pada posisi yang relatif sama dalam suatu kelompok pengujian ke pengujian berikutnya. maksudnya, adanya selisih perubahan posisi dalam suatu kelompok dapat mempengaruhi koefisien kereabilitasan semakin meningkat tinggi. 

3. Tingkat kesukaran 

Dalam artian, ketika dalam penilaian itu menggunakan pendekatan penilaian acuan norma, baik itu untu soal yang mudah ataupun yang sukar, akan cenderung menghasilakan tingkat kereabilitasan yang rendah. Hal tersebut disebabkan karena  diantara hasil soal yang mudah dan hasil soal yang sukar keduanya dalam satu besaran skor yang terbatas. Untuk hasil soal tes yang mudah, skor berada dibagian atas dan diakhir dari skala penilian. Sedangkan untuk kedua soal tes yang mudah dan sukar, perbedaan antar peserta didik itu kecil sekali dan cenderung tidak dapat dipercaya. Perlu diketahui, bahwa tingkat kesukaran soal tes yang ideal yang dapat  meningkatkan koefisien kereabilitasan yaitu soal yang menghasilkan besaran skor dalam bentuk kurva normal. 

4. Objektifitas 

Dalam artian, bahwa keobjektifitasan itu akan menunjukan kemampuan skor tes  yang sama antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lainnya. Apabila peserta didik mendapatkan hasil yang sama dalam mengerjakan sebuah soal tes. Apabila peserta didik memiliki kompetensi yang sama, maka akan mendapatkan hasil soal tes yang sama pada saat mengerjakan soal tes yang sama. Dapat disimpulkan bahwa keobjektifitasan prosedur tes yang tinggi akam menghasilkan reabilitas hasil tes yang tidak dipengaruhi oleh prosedur pemberian skor. 

Biasanya, kesalahan dasar dalam mengukur kereabilitasan ketika pendidik melakukan pengujian terhadap peserta didik dengan sebuah alat evaluasi tes dan ternyata mendapatkan nilai 70. Lalu, pada waktu yang berbeda dengan alat evaluasi tes yang berbeda, pendidik melakukan pengujian kembali, dan ternyata peserta didik tersebut memperoleh skor 75. Maka artinya, alat tes yang digunakan tersebut tidak reliabel, karena terjadinya kesalahan dalam pengukuran reabilitasnya. Dapat disimpulkan bahwa tes evaluasi yang reliabel itu ialah apabila koefisien reabilitasnya tinggi dan kesalahan baku pengukurannya rendah. 

Berdasarkan perhitungan product-moment dari Pearson, bahwa reabilitas itu terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut :

1. Koefisien Stabilitas 

Jenis reabilitas ini merupakan jenis reabilitas yang menggunakan teknik test and retest, yaitu memberikan pengujian tes kepada sekelompok individu, lalu diadakan pengulangan pengujian tes kepada kelompok yang sama pada waktu yang berbeda. Teknik mendapatkan koefisien stabilitas yaitu dengan mengkorelasikan hasil tes pertama dengan hasil tes kedua dari suatu kelompok yang sama, pada waktu yang berbeda. Jikalau jarak waktu tes yang pertama dengan waktu tes kedua cukup lama, lalu diadakan kembali latihan tambahan, maka bisa jadi nilai tes kedua lebih besar daripada nilai tes pertama. Akan tetapi sebaliknya, apabila jarak antara waktu tes pertama dengan tes kedua waktunya pendek, maka nilai dari hasil tes kedua bisa jadi sama atau bisa jadi lebih besar daripada nilai dari hasil tes pertama karena soal dan jawabannya masih dapat diingat.

2. Koefisien Ekuivalen 

Dalam hal ini berkaitan dengan mengkorelasikan dua jenis tes yang paralel pada kelompok dan waktu yang sama. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan koefisien ekuivalen yaitu dengan menggunakan dua buah bentuk tes yang paralel. Terdapat syarat-syarat yang mesti dipenuhi kedua bentuk tes paralel yaitu ; kriteria yang digunakan pada kedua bentuk tes paralel harus sama, masing-masing tes dikontruksikan sendiri, jumlah item, isi, dan corak harus sama, tingkat kesukaranya sama, petunjuk waktu dalam pengerjaan tes dan contoh-contohnya juga harus sama. Mungkin saja terdapat kesalahan pada teknik ini itu berawal dari tingkat keseimbangan antara kedua tes tersebut, serta situasi tempat yang berbeda antara kelompok tes pertama dengan kelompok tes kedua, walaupun dilaksanakan pada waktu yang pertama. 

3. Koefisien Konsistensi Internal 

Dalam hal ini menjelaskan bahwa kereabilitasan yang diperoleh melalui cara dengan mengkorelasikan dua buah bentuk tes dari kelompok yang sama, akan tetapi diambil dari butir-butir soal yang kategori nomor genap untuk tes yang pertama dan butir-butir soal yang kategori nomor ganjil untuk soal tes yang kedua. Metode ini seing dikenal dengan sebutan split-half method. Split yang berarti membelah dan half yang berarti setengah. Maka, dapat disimpulkan bahwa split-half itu merupakan alat tes yang dibagi menjadi dua bagian yang sama, lalu dikorelasikan dengan butir soal pada nomor ganjil dalam belahan pertama (x) dan untuk butir soal pada nomor genap dalam belahan kedua (y). Untuk membagi tes menjadi dua bagian dengan cara mengambil nomor soal secara acak, tetapi jumlahnya harus tetap sama dengan masing-masing kelompok. Selain itu juga, pembagian alat tes dapat dilakukan dengan cara separuh bagian pertama untuk kelompok pertama dan separuh lagi untuk kelompok kedua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun