Mohon tunggu...
Marwah B
Marwah B Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Penulis dan Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Representasi Feminisme dalam Film Raya and the Last Dragon

16 Januari 2022   09:10 Diperbarui: 29 Maret 2022   13:44 1709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di awal tahun 2021, Walt Disney kembali merilis film animasi epik bertajuk Raya and the Last Dragon. Film animasi yang bergenre laga petualangan ini disutradarai oleh Don Hall dan Carlos Lopes Estrada. Di beberapa animasi keluaran Disney, kebanyakan mengambil latar dunia Barat. Namun berbeda dengan film Raya and the Last Dragon, yang mana film ini mengadaptasi kebudayaan negara - negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Selain itu, penggunaan instrumen, ornamen dan beberapa musik bercorak kebudayaan nusantara turut mewarnai sepanjang adegan dalam film. Dalam pembuatan film Raya juga turut melibatkan beberapa orang yang berasal dari Indonesia seperti Juliana Wijaya, Griselda Sastrawinata, Emiko Susilo dan Dewa Berata. Pengisi suara dalam film ini terdiri dari Awkwafina, Kelly Marie Tran, Sandra Oh, Daniel Dae Kim, Benedict Wong, Izaac Wang dan Gemma Chan.

Alur dalam film ini mengisahkan tentang perjuangan seorang putri bernama Raya dari suku Hati yang mencari naga terakhir dengan harapan untuk menyatukan kembali permata naga yang akan mengusir roh jahat atau disebut sebagai Druun, hingga pada akhirnya Raya bersama naga Sisu dan teman-temannya berhasil menyelamatkan dan menyatukan kembali negeri Kumandra. Dalam artikel ini akan di bahas bagaimana film Raya and the Last Dragon merepresentasikan feminisme lewat scene-scene atau tiap adegan dalam film Raya ini.

Feminisme menjadi isu yang cukup populer dalam perkembangan sosial sekarang ini. Banyak penyintas yang mulai menyadari pentingnya memperjuangkan nilai-nilai feminitas, yang kemudian direalisasikan melalui aksi-aksi yang dilakukan baik secara langsung maupun menyuarakannya melalui berbagai media yang ada. Radita Gora Tayibnapis dan Risqi Inayah Dwijayanti dalam artikelnya yang berjudul perspektif Feminis Dalam Media Komunikasi Film (Wacana Kritis Perjuangan Keadilan Gender Dalam Film "Three Bilboard Outside") yang dimuat dalam Jurnal Vol.1 No.2, (2018) menyatakan bahwa film dapat difungsikan sebagai alat perjuangan gerakan feminis serta dipercaya bisa dimanfaatkan sebagai alat ideologi untuk melawan stereotip citra perempuan oleh laki-laki khususnya sebagai alat untuk meningkatkan penghargaan terhadap perempuan yang diposisikan inferior. Hal ini menegaskan bahwa film dapat menjadi salahsatu media yang berperan penting dalam hal menyuarakan isu feminisme.

Dalam dunia perfileman yang banyak memposisikan derajat perempuan lebih di bawah dari laki-laki, terkadang membuat kaum perempuan tidak dapat kesempatan untuk tampil sebagai dirinya sendiri. hal ini sejalan dengan penjelasan Susanto melalui bukunya yang berjudul Sosiologi Feminisme: Konstruksi Perempuan Dalam Industri Media, yang menyatakan bahwa feminitas di dunia industri media (televisi) telah memperlihatkan adanya stereotipe dan stigma tertentu, berupa nilai ideologi misoginis yang sangat tidak menguntungkan perempuan. Namun melalui Perilaku feminisme yang terepresentasi dalam film Raya and the Last Dragon, lewat berbagai macam adegan, ini diharapkan mampu mematahkan stigma mayoritas perempuan pada benak kita.  Sebagaimana yang diperlihatkan melalui karakter Raya dengan mempresentasikan kepahlawanan sosok perempuan yang menjadi pemimpin tim dalam mewujudkan cita-cita leluhurnya, berani mengambil resiko dan bertanggungjawab, menggambarkan bahwa seorang perempuan juga dapat memberikan kehormatan dengan menjadi dirinya sendiri, dan dapat mendapatkan hak untuk diperlakukan dengan setara dalam kehidupan masyarakat.

Selain itu, Feminisme juga seringkali diposisikan sejajar pembahasannya dengan maskulinitas, Kedua isu ini turut berkembang pesat di masyarakat luas pada umumnya. Dalam film Raya and the Last Dragon bahkan juga menguak isu maskulinitas dan feminitas di dalamnya, hal ini terlihat pada karakter Raya yang digambarkan sebagai sosok perempuan yang pemberani, kuat, lincah, cerdas dan teliti, namun di sisi lain ia tetap memiliki sisi emosional sebagai seorang perempuan.

Pada dasar-dasar pemahaman feminisme awal, Feminisme adalah sebuah paradigma, atau pemahaman komprehensif tentang keadilan berbasis gender yang bisa menjadi pijakan untuk pemikiran, gerakan, maupun kebijakan. Feminisme dapat dikelompokkan menjadi tiga spektrum, yakni sebagai gerakan sosial, alat analisis, dan ilmu pengetahuan, dan ketiganya saling melengkapi. Film Raya and The Last Dragon, mungkin dapat disebut sebagai pergerakan sosial melalui industri film sekaligus analisis sosial dan ilmu pengetahuan, salah satunya kajian film ini dilakukan untuk mengetahui informasi mengenai isu feminisme yang ditampilkan sepanjang cerita, baik secara protagonis maupun antagonis.

Dalam film Raya and the Last Dragon, penulis menemukan ada banyak sekali isu feminisme yang diangkat di dalamnya, hanya saja penulis mengelompokkan sedikitnya dalam delapan isu: yang pertama; Sifat peduli dan pelindung, kedua; Sifat percaya dan bersahabat, ketiga; Mudah terkesan dan tersentuh, keempat; Gemar berbagi dan tertarik pada cerita, kelima; Sifat keibuan, keenam; Sosok naga lucu dan humoris, ketujuh; Karakter labil dan pesimis, kedelapan; Suka Menasehati.

  1. Sifat peduli dan pelindung. Seorang Raya, anak ketua Benja lahir dari suku Hati, tepat di era kedamaian Kumandra, digambarkan sebagai sosok gadis remaja yang sangat tekun berlatih beladiri dari ayahnya. Tujuannya begitu mulia, agar dapat melindungi permata naga dari gangguan roh jahat bernama Druun.
  2. Sifat percaya dan bersahabat. Kehadiran sosok Namaari sebagai tokoh antagonis, menjadi rival sekaligus sahabat bagi Raya. Pertemuannya dengan Raya adalah awal kehancuran ketentraman Kumandra. Mulanya pada suatu pertemuan yg diadakan kerajaan Hati milik Ayah Raya, Namaari muncul dengan polosnya sebagai sosok gadis remaja sebaya dengannya. Tak butuh waktu lama untuk mereka merasa bersahabat, sifat Namaari juga terlihat akrab, membuat Raya semakin terbuka, bahkan memperlihatkan Namaari sebuah hal yang paling dirahasiakan dan dijaga dalam kehidupan Raya. Batu permata naga.
  3. Mudah terkesan dan tersentuh. Salah satu yang membuat Raya dapat mempercayai Namaari sepenuhnya adalah, dengan diberikannya sebuah liontin naga kepada Raya. Iapun terkesan pada pemberian pertama dari sahabat barunya itu, dengan begitu ia merasa tersentuh dan dengan mudah mempercayai Namaari sebagai sahabat baru yang paling peduli padanya.
  4. Gemar berbagi dan tertarik pada cerita. Namari adalah sosok gadis yang meskipun sebaya dengan Raya, namun Ia tak sepolos Raya. Ia sadar bahwa ia adalah alat dari sukunya sekaligus ujung tombak yang sangat ia pahami betul posisinya yang harus dipertaruhkan dengan cara apapun, bahkan menghianati teman barunya sekalipun yang sangat mempercayainya. Untuk itu, setelah sadar dengan sifat dan karakter serta kelemahan Raya, ia pun mulai menyentuh simpati Raya dengan memulai sebuah kisah pemancing yang juga Legenda turun temurun yang meyakinkan Raya bahwa Sisu masih hidup dan dapat dipanggil. Sisu sendiri adalah satu-satunya naga terakhir yang dipercaya dapat menyatukan negeri Kumandra serta melindungi dari serangan roh jahat.
  5. Sifat keibuan. Yang paling tak dapat lepas dari diri sosok Raya adalah sifat keibuannya, terlihat pada beberapa adegan ketika dipertemukan kepada dua bayi mungil yang belakangan diketahuinya sebagai pencuri, namun hingga alur cerita berakhir, kedua bayi itu turut menjadi pendukung perjuangan Raya. Rayapun tak segan-segan merawat mereka layaknya bayi pada umumnya, meskipun bayi tersebut cukup konyol.
  6. Sosok naga Sisu. Kehadiran seekor naga yang bernama Sisu ini menjadi segmen tersendiri dalam mewarnai alur cerita dari film ini, penampilannya yang tak biasa jika dibandingkan dengan Karakter naga lain dalam film yg berbeda. Jika biasanya naga digambarkan dengan sosok yang menyeramkan dan buas, berbeda dengan naga Sisu yang digambarkan dengan sosok naga perempuan yang cantik, lucu dan humoris.
  7.  Karakter labil dan pesimis. Naga Sisu ini seringkali ditampilkan dengan wujud yang labil, suka berganti wujud dan kostum, setiap kali orang lain bergantung padanya, ia malah sering tidak percaya diri, ia merasa bahwa mungkin bukan dia yang selama ini tercatat pada legenda, terlebih ia merasa bahwa tak sehebat dan semampu yang orang lain liat dalam dirinya.
  8. Suka Menasehati. Hal yang unik dari sosok Sisu tersebut adalah, pada scene di mana tak ada lagi jalan untuk menyatukan Kumandra dan dunia terancam musnah dengan serangan roh jahat Druun, Sisu, malah meminta semuanya bergantung dan menitipkan kepercayaan kepada Namaari, orang yang paling dibenci dan dihindari oleh Raya. Bagaimana bisa itu terjadi? Sebab Sisu, masih menyelaraskan hati dan akalnya untuk meyakinkan Raya agar dapat lebih berpikir positif untuk kembali percaya pada Namaari.

          Marwah.B, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun