Mohon tunggu...
Dyah Astiti
Dyah Astiti Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Menyampaikan opini

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kukatakan pada Hati

28 Mei 2023   09:20 Diperbarui: 28 Mei 2023   09:25 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata orang, semua harus pakai hati.
Tanpa hati, manusia ibarat mati.
Hidupnya seperti tak punya arti.
Namun sayang sekali.
Tak semua bisa menguatkan hati.

Adakalanya relung hati tak mau mengerti.
Sungguh ironi, ia tak mau berkompromi.
Seringkali ia rapuh lebih dulu dari raga ini.
Ketika ia merasa sedikit saja goresan luka.
Apalagi jika ada yang menunjuk dengan jari.
Menjatuhkan harga diri.
Berkata di atas toleransi hati.
Hati akan paling dulu membela diri.
Ia sulit untuk mengalah dari setiap yang ingin menang sendiri.

Namun, tak ada gunanya hati membela.
Jika hanya akan mendatangkan kata "aku".
"Aku" yang terus terpelihara.
Hingga dua hati tak pernah bisa menyapa.
Raga terlihat tertawa, namun nyatanya hati saling memunggungi dan memaki.
"Aku" yang menjadikan hati tak pernah bisa saling melengkapi.
Lukanya hati yang membuat jarak antara dia dan diri.

Maka ku katakan pada hati.

Wahai hati.
Dengarkanlah aku.
Tenanglah.
Kau tak perlu membela diri.
Tak perlu juga marah.
Mengalah bukan berarti kalah.
Bukan pula membenarkan yang bersalah.
Untuk berbicara dengan mudah, kepada yang tak mau mengalah.
solusinya hanyalah satu, terimalah.
Terkadang menerima dan diam akan mampu membuka celah.
Celah yang mungkin menampakkan angkuhnya jiwa dan sombongmu.
Maka diamlah sebentar saja.
Itu tak akan melukaimu.
Itu juga tak kan membuatmu mati.
Itu akan mengokohkanmu bak karang di luasnya sanubari.

Bukankah kau berbeda.
Kau lebih kuat dari raga.
Tak perlu kau simpan prasangka.
Terimalah.
Terkadang menerima adalah awal cerita indah.
Meski di awal, harus dianggap rendah.
Tapi akhirnya pasti berujung indah.
Berbeda dengan yang tak pernah mau kalah.
Selalu berkata di luar toleransi hati.

Tapi nyatanya tak seindah nampaknya.
Karena hanya selalu tentang dirinya.
Memaksa sekelilingnya berkata "iya" dan membenarkan si hati.
Raganya tak mau peduli, namun hati tak bisa dibohongi.
Ia hanya akan rapuh dan mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun