Kata orang, semua harus pakai hati.
Tanpa hati, manusia ibarat mati.
Hidupnya seperti tak punya arti.
Namun sayang sekali.
Tak semua bisa menguatkan hati.
Adakalanya relung hati tak mau mengerti.
Sungguh ironi, ia tak mau berkompromi.
Seringkali ia rapuh lebih dulu dari raga ini.
Ketika ia merasa sedikit saja goresan luka.
Apalagi jika ada yang menunjuk dengan jari.
Menjatuhkan harga diri.
Berkata di atas toleransi hati.
Hati akan paling dulu membela diri.
Ia sulit untuk mengalah dari setiap yang ingin menang sendiri.
Namun, tak ada gunanya hati membela.
Jika hanya akan mendatangkan kata "aku".
"Aku" yang terus terpelihara.
Hingga dua hati tak pernah bisa menyapa.
Raga terlihat tertawa, namun nyatanya hati saling memunggungi dan memaki.
"Aku" yang menjadikan hati tak pernah bisa saling melengkapi.
Lukanya hati yang membuat jarak antara dia dan diri.
Maka ku katakan pada hati.
Wahai hati.
Dengarkanlah aku.
Tenanglah.
Kau tak perlu membela diri.
Tak perlu juga marah.
Mengalah bukan berarti kalah.
Bukan pula membenarkan yang bersalah.
Untuk berbicara dengan mudah, kepada yang tak mau mengalah.
solusinya hanyalah satu, terimalah.
Terkadang menerima dan diam akan mampu membuka celah.
Celah yang mungkin menampakkan angkuhnya jiwa dan sombongmu.
Maka diamlah sebentar saja.
Itu tak akan melukaimu.
Itu juga tak kan membuatmu mati.
Itu akan mengokohkanmu bak karang di luasnya sanubari.
Bukankah kau berbeda.
Kau lebih kuat dari raga.
Tak perlu kau simpan prasangka.
Terimalah.
Terkadang menerima adalah awal cerita indah.
Meski di awal, harus dianggap rendah.
Tapi akhirnya pasti berujung indah.
Berbeda dengan yang tak pernah mau kalah.
Selalu berkata di luar toleransi hati.
Tapi nyatanya tak seindah nampaknya.
Karena hanya selalu tentang dirinya.
Memaksa sekelilingnya berkata "iya" dan membenarkan si hati.
Raganya tak mau peduli, namun hati tak bisa dibohongi.
Ia hanya akan rapuh dan mati.