Pengangguran adalah permasalahan yang butuh untuk segera diselesaikan. Banyaknya pengangguran dalam suatu Negara akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Kondisi Dunia baru-baru ini, seperti belum pulihnya kondisi ekonomi akibat pandemi Covid-19, terjadinya lonjakan inflasi, perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, dan tingginya suku bunga turut mempengaruhi ketidakpastian dalam perekonomian dan munculnya pengangguran.
Menurut Perkiraan Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia menjadi negara Asia Tenggara yang memiliki tingkat pengangguran tertinggi kedua pada 2023. Proyeksi tingkat pengangguran sebesar 5,3%.
Banyaknya pengangguran di era Industrialisasi tentunya bukan sesuatu yang ideal. Negara mencoba untuk mengurai masalah banyaknya pengangguran. Salah satu solusi yang dilakukan adalah dibuatnya Perpres 68/2022 tentang Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi (PVPV). Perpres ini dianggap mampu menciptakan sumber daya manusia (SDM) produktif, kompeten, dan mampu bersaing.
Menurut Mendikbudristek, dalam upaya Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi (PVPV) ada beberapa strategi yang perlu dilakukan, diantaranya pemerintah akan meningkatkan partisipasi dunia kerja. Partisipasi industri adalah bagian penting dalam kesuksesan seluruh program vokasi. Hal yang menjadi target strategi ini adalah Lembaga pendidikan vokasi mampu dioperasikan dan berorientasi pada industri, namun benarkah mewujudkan Link and match antara pendidikan vokasi dan industri efektif untuk menyelesaikan masalah pengangguran ?
Pengangguran memang merupakan salah satu masalah utama bagi setiap negara, tidak terkecuali Indonesia. Mensolusikan masalah pengangguran dengan peningkatan kualitas SDM memang dibutuhkan, namun ada banyak hal lain yang tidak kalah penting untuk dilakukan, karena faktanya pengangguran tidak hanya muncul akibat kurang kompetennya SDM.
Alih-alih menyelesaikan masalah pengangguran, terjadinya link and match antara pendidikan vokasi dan industri, justru berpeluang memunculkan masalah baru. Salah satu konsekuensi otomatis adalah berubahnya orientasi dunia pendidikan yang mengarah pada kebutuhan industri saja. Pendidikan bukan hanya sekedar sarana mendapat ijazah dan label kompeten bagi industri. Pendidikan memiliki tujuan mulia untuk mencerdaskan dan mendidik generasi Bangsa. Malakukan link and match pendidikan vokasi dan industri justru dapat membentuk generasi yang individualis dan materialistik. Generasi seperti ini hanya akan memikirkan dirinya, tanpa peduli melakukan perbaikan pada Bangsa dan Negeri ini.
Menyelesaikan masalah pengangguran tidaklah cukup hanya dengan membekali masyarakat dengan kompetensi yang berorientasi pada industri. Berharap SDM kompeten mampu diserap oleh industri. Sesungguhnya pandangan yang seperti ini tidak terlepas dari pandangan kapitalisme. Kapitalisme memandang bahwa Negara hanya sebatas regulator. Pendidikan juga berorientasi materi. Tujuannya sebatas mencetak mur-mur penggerak industri milik korporasi. Melihat kondisi ini, maka perlu perbaikan secara menyeluruh.
Negara adalah penanggung jawab atas terselesaikannya masalah pengangguran. Mulai dari menciptakan lapangan kerja sesuai kebutuhan masyarakat, meningkatkan kualitas SDM, memberikan informasi pasar kerja, memberikan regulasi kondusif bagi pengembangan usaha, dan memberikan stabilitas ekonomi. Selanjutnya negara harus menjalankan perannya secara maksimal, bukan hanya sekedar sebagai regulator saja. Selama kapitalisme masih bercokol kuat, akan menjadi mustahil mewujudkan pandangan bahwa Negara bukan hanya regulator dan menghilangkan orientasi materi dari setiap aspek kehidupan.
Kondisi ini berbeda dengan Islam. Dalam Islam negara bukan hanya regulator. Negara bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan masyarakat, termasuk memutus rantai panjang masalah pengangguran. Dalam mencapai tujuannya ada beberapa langkah yang setidaknya akan dilakukan Negara yang menerapkan Islam.
Langkah pertama yaitu mengubah pola pikir masyarakat utamanya laki-laki tentang konsep tanggung jawab. Salah satunya adalah memberikan nafkah kepada para perempuan dan anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya. Menumbuhkan rasa takut, apabila tanggung jawabnya tidak terlaksanakan.