Mohon tunggu...
Marvel Graziano Kunarwoko
Marvel Graziano Kunarwoko Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA Kolese Kanisius

Pelajar Sekolah

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ekskursi Lintas Agama: Menemukan Makna Toleransi di Pondok Pesantren Al-Falah Pandeglang, Banten

18 November 2024   18:26 Diperbarui: 1 Desember 2024   00:07 1414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Marvel Graziano Kunarwoko

"Tidak ada orang yang dilahirkan untuk membenci orang lain karena warna kulitnya, atau latar belakangnya, atau agamanya." -- Nelson Mandela.

Pernahkah Anda merasa cemas ketika pertama kali berada di tengah-tengah orang yang berbeda? Dalam perjalanan ekskursi lintas agama ke Pondok Pesantren Al-Falah, Pandeglang, saya merasakan kecemasan itu. Sebagai seorang pelajar Katolik, saya membawa berbagai pertanyaan dalam benak: bagaimana mereka akan memandang kami yang memiliki keyakinan berbeda? Apa yang mereka pikirkan tentang agama kami? Namun, di tengah ketegangan yang terasa, saya justru menemukan bahwa keberagaman tidak hanya bisa diterima, tetapi juga bisa menjadi sumber kekuatan yang memperkaya hidup kita.

Saat pertama kali tiba, tatapan para santri terlihat tajam, seolah mereka sedang menilai kami, para pemuda yang datang dengan pakaian seragam berbeda dan warna kulit yang berbeda. Mungkinkah mereka merasa terancam? Mungkinkah mereka ragu untuk menerima kami?

Setelah beberapa hari berada di pesantren, saya menyadari bahwa kekhawatiran itu berangsur hilang. Tatapan-tatapan itu ternyata bukan tatapan sinis, melainkan rasa ingin tahu yang besar. Mereka ingin mengenal kami lebih jauh, mereka ingin tahu tentang agama kami, dan mereka menunjukkan rasa hormat yang besar terhadap perbedaan yang ada di antara kami. Di sinilah saya mulai memahami esensi toleransi, di mana tidak hanya soal menerima, tetapi juga memahami, berinteraksi, dan saling menghormati.

Pengalaman saya di Pondok Pesantren Al-Falah tidak hanya sebatas teori tentang toleransi, tetapi juga sebuah praktik kehidupan nyata. Setiap hari di pesantren dimulai dengan rutinitas yang sederhana, tetapi penuh makna. Kehidupan para santri yang ketat dan disiplin akan aturan membuat saya sangat kagum. Mereka menjalani itu semua dengan senyum dan tanpa keluhan. Bahkan anak-anak yang masih kecil sudah bisa membaca Al-Quran dengan lancar, berbicara dalam bahasa Arab, dan menunjukkan kedalaman pemahaman spiritual yang luar biasa. Mereka mengajarkan saya arti ketekunan dan kedisiplinan dalam menjalani hidup.

Saya dan teman-teman berkesempatan untuk terlibat dalam dinamika pembelajaran di SMK Al-Falah. Saya mengikuti kelas MPLB (Manajemen Perkantoran dan Layanan Bisnis) dan menemukan perbedaan yang jelas antara SDM anak kota dan pedesaan. Kami sebagai anak kota merasa bahwa pendidikan di sekolah ini sangatlah kurang. Para siswa SMK Al-Falah merasa bahwa pendidikan akademik bukanlah yang utama. Mereka lebih senang dengan ngobrol bersama teman, bermain, dsb. Namun, mereka sangat tekun dengan ajaran Islam. Saya bisa melihat dengan mata saya sendiri bahwa siswa-siswi SMK Al-Falah cukup disiplin ketika salat lima waktu. 

Ketika pelajaran minat mengenai personal branding, saya sempat berdiskusi dengan salah satu santriwati di kelas. Ia cukup pintar diantara teman-temannya dan memiliki wawasan yang luas tentang agama. Ketika saya mengajukan pertanyaan yang cukup kompleks mengenai realitas kehidupan kerja, ia dapat menjawab pertanyaan dengan baik, tanpa rasa ragu. Kami saling menyanggah pernyataan satu sama lain dan berakhir pada kesimpulan yang sama. Tidak hanya itu, kami juga berdiskusi tentang tentang agama dan bagaimana perbedaan bisa menjadi kekuatan.

Suasana di sekolah Al-Falah cukup menarik. Al-Falah memiliki sekolah dan pondok pesantren. Pondok pesantren memiliki fasilitas berupa kamar untuk santriwati dan santri. Setiap kamar (santri) dapat memuat 10 hingga 15 orang untuk tidur. Kamar santri biasanya disebut kobong oleh para santri. Al-Falah memiliki Masjid utama yang biasa digunakan untuk ngaji dan salat. Terdapat perpustakaan, kelas-kelas, ruang guru, kantin, lapangan serbaguna, dan kantor yayasan di lingkungan sekolah Al-Falah. Hal yang menarik adalah sekolah Al-Falah memiliki bus untuk antar jemput para murid secara gratis dari titik jemput ke sekolah dan sebaliknya. Ada pula kandang ayam, kelinci, dan kolam ikan di halaman belakang sekolah. 

Banyak kegiatan lain yang saya ikuti di pesantren, seperti makan bersama para santri, bermain, dan berbagi pengalaman. Kegiatan-kegiatan tersebut menjadi cara untuk menguji sejauh mana toleransi itu bisa berkembang. Tidak ada jarak yang terlihat, meskipun kami datang dari latar belakang yang berbeda. Kami makan bersama, berbincang tanpa ada rasa canggung, dan belajar satu sama lain tentang kehidupan. Di sinilah saya menyadari bahwa toleransi bukan hanya tentang menerima perbedaan dalam hal agama atau budaya, tetapi juga tentang berbagi ruang hidup, saling mendengarkan, dan memahami satu sama lain tanpa prasangka.

Setelah berdinamika dari hari Rabu hingga Jumat di Pondok Pesantren Al-Falah, saya merasa lebih bijak dalam menyikapi perbedaan. Saya belajar bahwa keberagaman yang kita miliki, baik itu agama, budaya, atau warna kulit, bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan harus dimaknai. Keberagaman adalah kekayaan yang seharusnya memperkuat kita, bukan memisahkan. Indonesia merupakan negara dengan lebih dari 17.000 pulau, 1.340 suku bangsa, dan enam agama yang diakui menjadikan perbedaan sebagai anugerah yang harus diterima dengan lapang dada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun