Mohon tunggu...
maruto asmoro
maruto asmoro Mohon Tunggu... -

pelaut

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ibu Pertiwi dan Perdarahan

16 Februari 2015   19:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:05 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ibu Pertiwi dan Perdarahan

Seorang dosen sastra senior dari Universitas Indonesia mengatakan, di salah satu stasion TV, Jakarta bahwa negeri kita ini disebutnya sebagai Ibu Pertiwi. Seorang Ibu, bila melahirkan, tentu ada perdarahan.

Ibu Pertiwi, Indonesia, bila akan “melahirkan” seorang Pemimpin Baru terjadi perdarahan. Beliau menyampaikan;

Pertama, ketika Sukarno “lahir”, semua orang tahu, seberapa banyak “darah” yang “tumpah”. Sedemikian besarnya manusia menjadi korban.

Kedua, ketika Suharto “lahir”, juga, semua orang tahu, sedemikian banyak “darah” yang tumpah dan sedemikian banyak korban manusia, yang sampai sekarang masih simpang siur jumlahmya.

Ketiga, lengsernya Suharto “lahir”-lah paket Habibie, Gus Dur dan Megawati, juga diawali dengan ”tumpah”-nya darah, yang ketika itu dikenal dengan kerusuhan Mei, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.

Dosen sastra UI tersebut menyampaikannya pada jaman Gus Dur.

Pada suatu kesempatan di talkshow, masih di jaman paket Habibie, Gus Dur dan Megawati, saya sempat bertanya kepada nara sumber, seorang Doktor ilmu politik yang dulu wartawan, DR. Salim Said, yang sekarang sudah Profesor. Lebih dulu saya ceritakan apa yang disampaikan dosen sastra UI tersebut, kemudian saya tanya, apa komentarnya?

Sang Doktor menjawab; “Ini menunjukkan bahwa bangsa kita belum beradab. Pada bangsa yang sudah beradab, hal itu tidak terjadi lagi”. Begitu inti komentarnya.

Keempat, jaman “paket” Habibie, Gus Dur dan Megawati berlalu. Ketika Megawati turun, “lahir”lah Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Perdarahan akibat konflik horizontal tidak terjadi, tetapi setelah kelahirannya, terjadi perdarahan yang cukup hebat yaitu adanya peristiwa tsunami di Aceh.

Kelima, SBY turun, “lahir”-lah Joko Widodo (Jokowi). Pada saat kelahirannya tidak ada perdarahan akibat konflik horizontal, tetapi ada perdarahan setelah ke”lahir”-annya. Seperti SBY, yaitu longsor di Banjarnegara dan musibah AirAsia di Laut Jawa.

Dari kelima contoh di atas, perdarahan tetap ada, tetapi berbeda pada waktu dan penyebabnya. Pada kelahiran pertama tumpahnya “darah” terjadi sebelum dan sesudah kelahiran dan dilakukan oleh sesama manusia. Dua kelahiran berikutnya, darah “tumpah” sebelum kelahiran dan juga disengaja oleh manusia. Dua kelahiran berikutnya terjadi sesudah kelahiran, bukan karena konflik sesama manusia. Apakah ini tanda bahwa bangsa Indonesia sudah/masih belajar beradab?

Perjalanan Jokowi belum selesai, belum berakhir. Kita tidak tahu dalam perjalanan berikutnya akan mulus atau akan ada "darah" yang tumpah karena adanya konflik antar manusia. Belum tahu. Kalau saja Prof. Salim Said membaca tulisan ini, apa komentarnya?Anda pun boleh berkomentar.

Terima kasih.

Tangerang Selatan, 16-02-2015

Salam dari Maruto Asmoro

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun