Dalam perjalanan sejarahnya yang sangat panjang dan penuh dengan lika-liku, Gereja Katolik telah tumbuh dan berdiri tegak sebagai pendekar moderasi beragama yang sejati. Ajaran iman Katolik menempatkan posisi tengah di tengah masyarakat majemuk untuk memberikan keseimbangan secara elegan tanpa kehilangan makna mendasar dari dogma-dogma yang telah dihayati selama berabad-abad. Bahkan dapat dikatakan sikap moderat sesungguhnya merupakan jati diri Gereja Katolik.
Di antara sejumlah dokumen ajaran Gereja Katolik yang dikeluarga oleh Magisterium, Ensiklik Ecclesiam Suam menjadi salah satu yang patut diberi perhatian dan didalami, selain tentu saja Dokumen Konsili Vatikan II Nostra Aetate yang berisi pernyataan tentang hubungan Gereja dengan agama-agama bukan kristiani dan Unitatis Redintegratio yang merupakan dekrit tentang ekumenisme dengan saudara-saudara seiman yang terpisah. Ecclesiam Suam sendiri berbicara tentang hakikat Gereja.
Lahir di Masa Sidang Konsili Vatikan II
Ecclesiam Suam adalah ensiklik pertama dari Paus Paulus VI yang dikeluarkan pada Hari Pesta Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya, 6 Agustus 1964, pada tahun kedua masa kepausannya. Dokumen ini lahir pada masa sidang Konsili Vatikan II yang berlangsung tahun 1962-1965. Masa ini merupakan momentum yang sangat historis bagi Gereja Katolik dalam merefleksikan perjalanan panggilannya yang sudah panjang dan sekaligus memancangkan visi perutusannya ke ruang zaman yang tak terbatas.
Konsili Vatikan II yang dibuka pada 11 Oktober 1962 berawal dari refleksi Paus Yohanes XXIII terkait Gereja Katolik yang telah berjalan selama 20 abad. Di tengah dunia telah banyak berubah, Gereja dilihat sudah waktunya memiliki semangat dan cara pandang baru terhadap dunia. Inti semangat Konsili Vatikan II antara lain memperbarui cara Gereja memahami peran kaum awam, imam, dan uskup serta memulai dialog dengan dunia modern, termasuk membuka diri terhadap agama-agama lain.
Paulus VI yang menggantikan Yohanes XXIII dalam masa sidang mengeluarkan Ecclesiam Suam yang semangatnya koheren dengan Konsili Vatikan II. Dokumen ini sangat penting karena mengidentifikasikan Gereja Katolik dengan Tubuh Kristus. Ia menyebut Gereja sebagai seorang bunda penyayang bagi seluruh keluarga umat manusia (art. 1). Ia juga menyadari bahwa Gereja sendiri sedang dilanda dan digoncangkan oleh gelombang perubahan, dan sangat terpengaruh dengan suasana dunia saat itu.
Dialog sebagai Hakikat Gereja
Ecclesiam Suam dikeluarkan untuk merefleksikan dan sekaligus menyatakan makna kehadiran Gereja bagi dunia. Dalam artikel 3 dikatakan, Â "Tujuan dari ensiklik ini adalah untuk menunjukkan dengan semakin jelas betapa pentingnya bagi dunia, dan betapa besar keinginan Gereja Katolik, bahwa keduanya harus bertemu bersama, dan saling mengenal dan mencintai." Pernyataan ini juga menegaskan kembali amanat agung Yesus Kristus yang mengutus murid-murid-Nya kepada seluruh bangsa.
Upaya merajut harmoni Gereja dengan dunia seperti dicita-citakan Allah dalam penciptaan dan misi Yesus Kristus adalah melalui dialog. Gereja tidak menjauhkan atau memisahkan diri dari dunia yang secara natural memang majemuk, baik keyakinan maupun budaya. Pada titik inilah masalah dialog Gereja dengan dunia modern muncul (art. 14). Hakikat dari karunia-karunia yang Kristus telah berikan kepada Gereja menuntut agar karunia-karunia itu disebarluaskan dan dibagikan kepada orang lain (art. 64).
"Fakta bahwa kita berbeda dari dunia tidak berarti bahwa kita sepenuhnya terpisah darinya. Juga tidak berarti bahwa kita tidak peduli, takut, atau meremehkannya. Ketika Gereja membedakan dirinya dari umat manusia, ia melakukannya bukan untuk menentangnya, tetapi untuk mendekatinya. Sebagaimana seorang dokter yang menyadari bahaya penyakit, melindungi dirinya sendiri dan orang lain darinya, tetapi pada saat yang sama ia berusaha untuk menyembuhkan mereka yang terjangkit penyakit itu" (art. 63).
Menurut Ecclesiam Suam, dialog merupakan hakikat dan jati diri Gereja. "Pada hakikatnya, agama adalah hubungan tertentu antara Tuhan dan manusia. Ia menemukan ekspresinya dalam doa; dan doa adalah dialog. Demikian juga wahyu, mata rantai adikodrati yang telah ditetapkan Allah dengan manusia, dapat dilihat sebagai sebuah dialog. ... Dalam "percakapan" Kristus dengan manusia, Allah mengungkapkan sesuatu tentang diri-Nya, misteri hidup-Nya, esensi unik-Nya dan trinitas pribadi sendiri (art. 70).