Mohon tunggu...
Marulam Nainggolan
Marulam Nainggolan Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuluh

Kementerian Agama Kota Medan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Inspirasi Moderasi Beragama dari Santo Fransiskus Assisi

25 Juni 2024   11:13 Diperbarui: 25 Juni 2024   11:34 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gereja Katolik sudah lama memandang moderasi beragama sebagai jalan terbaik bagi peradaban umat manusia. Sejarah mencatat, ada banyak upaya Gereja untuk menjembatani perbedaan agama dan keyakinan, alih-alih mendirikan tembok pemisah yang mengembangbiakkan ketegangan antara satu ekstrem dan ekstrem lain. Satu tokoh moderasi paling inspiratif dalam sejarah agama-agama di dunia tentu saja Santo Fransiskus Assisi.

Moderasi beragama adalah keseluruhan cara pandang yang utuh tentang agama dan keagamaan dalam kehidupan sosial, mulai dari ajaran, sikap, penghayatan, hingga praktik beragama. Melalui semangat moderasi, agama-agama berada pada posisi asali sebagai motor penggerak dalam mewujudkan kebaikan manusia dan alam (bonum commune). Di luar misi itu, cara beragama perlu direfleksikan ulang agar kembali ke 'tengah' (moderat).

Santo Fransiskus Assisi merupakan tokoh Gereja Katolik yang memiliki peran penting dalam semangat beragama yang moderat. Lahir di keluarga kaya tahun 1181, masa mudanya dijalani dengan penuh kemewahan dan kenikamatan duniawi. Orang tuanya berharap agar Fransiskus menjadi ksatria. Namun, krisis spiritual dan berbagai peristiwa yang dialami, termasuk sakit parah dan penjara perang, membuat Fransiskus berbalik ke jalan Tuhan.

Pada 1205, Fransiskus mendengar panggilan Tuhan yang memintanya memperbaiki Gereja yang rusak. Ia menanggalkan semua kekayaannya dan memulai hidup sebagai pengemis, mengabdikan dirinya untuk melayani orang miskin dan memperbaiki gereja-gereja. Tindakan ini mengundang banyak perhatian. Banyak orang mulai mengikuti jejaknya, membentuk komunitas yang kemudian dikenal sebagai Ordo Saudara Dina (Ordo Fratrum Minorum).

Fransiskus juga dikenal karena cintanya terhadap alam. Ia menggubah komposisi berjudul Gita Sang Surya yang isinya menyebut segala sesuatu sebagai saudara. Bagi Fransiskus, apa dan siapa pun di alam semesta satu saudara yang saling mengembangkan. Tak satu pun boleh diperlakukan sebagai musuh yang harus dilenyapkan. Dua tahun setelah wafatnya tahun 1226, sang mistikus itu dikanonisasi sebagai santo dan ditetapkan sebagai 'pelindung ekologi'.

Meredam Perang 

Selain memiliki kepedulian yang tinggi kepada lingkungan, Fransiskus juga peletak dasar moderasi beragama yang ulung. Ia berusaha meredam konflik antara Muslim dan Kristen pada 1219. Sejarawan Thomas Cahill (2006) mengatakan, 'Fransiskus Assisi adalah tokoh yang sangat luar biasa pada abad ke-13. Ia memutuskan untuk berlayar melintasi Mediterania dan mengunjungi istana Sultan Malik al-Kamil di tengah perang yang sedang berkecamuk'.

Sultan Malik al-Kamil, yang memerintah Mesir dari tahun 1218 hingga 1238, adalah seorang pemimpin Muslim yang terkenal karena kebijaksanaan dan keberanian diplomatisnya. Ia adalah keponakan dari Saladin, seorang pemimpin Muslim legendaris yang dikenal karena kemenangan militernya melawan Tentara Salib dalam Perang Salib Ketiga dan sikapnya yang adil serta penuh belas kasihan terhadap musuh-musuhnya (Tyerman, 2006).

Berdasarkan catatan Ensiklopedia Britanica, Perang Salib adalah konflik antaragama yang terjadi secara bergelombang mulai tahun 1095 hingga 1291. Perang ini bertujuan untuk saling menancapkan kendali atas Tanah Suci di Mediterania timur, termasuk wilayah penting Palestina, Suriah, Mesir, dan Anatolia. Sekalipun aroma agama cukup kuat, alasan politik dan ekonomi tak bisa dihindarkan dalam diri para pihak yang berkonflik untuk mengobarkan perang.

Di tengah perang, Fransiskus menunjukkan sikap rendah hati, tanpa takut. Ia memutuskan melakukan perjalanan ke Mesir bertemu Sultan Malik al-Kamil. Sebuah langkah sangat berani mengingat situasi saat itu penuh dengan ketegangan dan kekerasan antara tentara Kristen dan Muslim. Fransiskus yakin bahwa melalui dialog langsung, ia dapat membantu mengakhiri perang dan membawa pesan damai kepada kedua belah pihak (Menache, 2017).

Sultan Malik al-Kamil juga pribadi yang bijaksana. Melihat kedatangan 'musuh' dengan jubah sederhana di depan istananya, ia menyambut Fransiskus dengan tangan terbuka dan keramahan yang mengejutkan, mengingat situasi perang yang sedang berlangsung. Sikap ini menunjukkan kebesaran hati dan visi Sultan yang melampaui sekadar kemenangan militer. Ia melihat nilai dalam mendengarkan dan memahami pandangan dari sisi yang berbeda (Abulafia, 2011).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun