Mohon tunggu...
Ma'ruf M Noor
Ma'ruf M Noor Mohon Tunggu... -

Patriot Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral | Nunukan - Kalimantan Utara | Kaimana - Papua Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Ada Libur di Sumentobol

29 Juli 2016   07:09 Diperbarui: 29 Juli 2016   07:42 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Di sini tak ada libur, Bang!”, itu jawaban Imel saat kutanya kenapa dia meninggalkan kampung cukup lama. Padahal, saat itu merupakan hari-hari pertama anak bersekolah. Di kampung Imel, di hulu sungai pedalaman Kalimantan, kampung yang jadi jendela negeri ini, karena menjadi batas nusantara, antara Indonesia dengan Malaysia. Nama  kampungnya Sumentobol. Kampung yang sebagian besar aturan hidup masyarakatnya didasarkan pada hukum adat. Sepanjang sungai itu sendiri dari hilir ke hulu dihuni oleh masyarakat suku Dayak Agabag.

Kampung ini tak punya akses transportasi selain jalur sungai. Peristiwa Imel keluar kampung adalah peristiwa yang langka. Mahalnya harga bahan bakar untuk menyalakan mesin perahu longboat membuat warga Sumentobol harus bekerja keras untuk bisa menyaksikan peradaban di hilir sungai. Imel dan keluarganya cukup lama di kecamatan, setidaknya hampir dua minggu Imel sekeluarga baru bisa kembali ke kampung di hulu sungai.

Di keluarga Imel dan hampir seluruh warga di Sumentobol, tidak merasa ganjil dengan anak sekolah yang meninggalkan pelajaran selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Di kampung terisolir seperti itu, urusan sekolah tidak pernah masuk ke dalam hal-hal yang perlu dikhawatirkan atau menjadi beban pikiran, baik anaknya maupun orang tuanya.

Tak ada libur panjang tak ada libur semester. Setiap saat murid-murid merasa berhak untuk libur. Sehingga hari pembagian rapor siswa tidak menjadi hal penting, begitu pula dengan hari pertama masuk sekolah. Jika biasanya hari pertama masuk sekolah ditandai dengan libur panjang sebelumnya, maka murid-murid di SD 003 Sumentobol wajar tak mengenal hari pertama masuk sekolah, apalagi dengan orang tua mereka.

Gambaran nyata keadaan bangsa yang saya saksikan langsung di atas hanyalah sebutir situasi komplit permasalahan pendidikan di negeri ini. Sistem dan perangkat pendidikan masih harus berhadapan dengan tantangan berat. Dibutuhkan langkah taktis dan operasional yang harus segera dimulai dari sekarang dan oleh siapa saja dimana saja.

Bahwa komunikasi antar elemen sistem pendidikan di tingkat sekolah adalah sebuah keniscayaan. Antara guru dan orang tua murid sangat diperlukan kesepahaman dalam hal metode pendidikan. Begitu pula dengan sesama orang tua murid, dibutuhkan sebuah momentum tersendiri untuk saling mengenal dan memahami karakter masing-masing orang tua murid, sebagai lingkungan pertama bagi seorang peserta didik. Dengan begitu, kita tidak perlu lagi mendengar berita memalukan semisal guru yang dipotong rambutnya oleh orang tua siswa, atau orang tua guru bertikai karena pertengkaran anaknya di sekolah.

Maka sesungguhnya tugas negara masih terlalu banyak untuk menyelesaikan persoalan pendidikan di republik ini. Hari pertama masuk sekolah yang mustinya menjadi ajang untuk membenamkan spirit dan motivasi kepada murid-murid, juga menjadi momentum terjalinnya komunikasi efektif antara guru, orang tua, dan murid. Semua niatan kebaikan sebaiknya dimulai sejak kita semua menyadarinya. Sehingga, gerakan mengantar anak menghadapi hari pertama sekolahnya harus digalakkan. Lalu tidak hanya sampai disitu, hari-hari berikutnya orang tua tidak boleh melepas perhatian begitu saja kepada anaknya setiap pagi.

Gerakan mengantar anak di hari pertama bersekolah dan gerakan mencium tangan orang tua sebelum berangkat ke sekolah setiap hari adalah satu langkah pendekatan moral yang mungkin sederhana namun mungkin akan bermakna bagi perkembangan mental dan spiritual bahkan intelektual anak-anak di hari-hari mendatang. Sehingga segala macam kebiasan-kebiasan baik untuk membenahi situasi negeri ini layaknya didiseminasikan ke seluruh ruang geografis nusantara, dengan tidak mengaburkan tradisi tiap daaerah dan strategi kita menghadapi situasi ini.

Mungkin akan selalu ada banyak hal yang dikorbankan untuk mewujudkan sebuah agenda dan misi mulia membangun karakter bangsa ini. Mungkin kita butuh banyak agen pendidikan dan guru yang bersiap meneladankan kemuliaan di level tantangan yang tidak biasa. Mungkin kita butuh lebih banyak menyebarkan contoh-contoh kebaikan seseorang yang mengenyam pendidikan. Mungkin kita bisa memulainya dengan menjalankan komunikasi lintas arah dari segenap elemen pendidikan, seperti gerakan mengantar anak ke sekolah di hari pertamanya.

Sehingga, cukuplah kita belajar dengan peristiwa dan situasi abnormal saudara-saudara kita yang sedikit terlambat menerima informasi tentang pentingnya pendidikan. Situasi dimana seorang murid tidak mengenal libur sekolah. Situasi dimana orang tua murid dan guru terpisah jarak yang sangat jauh. Situasi dimana, kenaikan kelas menjadi gengsi orang tua dan mengakhirkan kemampuan anaknya sendiri. Situasi dimana guru tidak memiliki standar baku untuk membenarkan dan menyalahkan muridnya yang absen berhari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun