Mohon tunggu...
Ma'ruf M Noor
Ma'ruf M Noor Mohon Tunggu... -

Patriot Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral | Nunukan - Kalimantan Utara | Kaimana - Papua Barat

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Saya Menyesal Membaca "Bibbi Boken"

31 Mei 2016   23:58 Diperbarui: 1 Juni 2016   15:18 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap buku punya ceritanya sendiri. Punya pembacanya sendiri. Penulisnya adalah pendongeng bagi pembacanya. Dan pembacanya adalah pendengar yang setia melebarkan telinganya. Satu dari penulis buku yang sangat berkarakter adalah Jostein Gaarder. Penulis sekaligus peminat filsafat. Penulis yang banyak menguak kisah di balik sebuah surat-menyurat. Mewarnai karyanya dengan banyak kemisteriusan. Jostein adalah penulis novel filsafat Dunia Sophie. Lalu buku lainnya  berjudul Maya, Gadis Jeruk, Bibbi Boken, Dunia Anna, dan beberapa buku yang juga terbit tapi tidak lagi beredar di toko buku.

Ketika kita memasuki usia pencarian, kita akan menemukan apa saja yang justru kadang tidak kita cari. Anggaplah saat duduk di bangku kuliah. Segala macam bentuk dan role model silih berganti untuk dicontoh. Tapi yang paling banyak memberi peran adalah lingkungan pergaulan. Hal lain yang tidak boleh dilupakan dalam prosesi pembentukan dan kematangan pola pikir adalah jenis bacaan. Bacaan menyumbangsi mindset, karakter, dan perilaku kita. Usia muda itu adalah usia latihan mencerna hal-hal berat dalam hidup. Termasuk membaca bacaan yang berat. Otak kita akan selalu tumpul jika usia muda hanya dilewatkan dengan bacaan-bacaan ringan yang tanpa butuh pemaknaan. Sejatinya otak kita mampu bekerja dan memaknai sesuatu meski sulit. Lewat bacaan kita bisa menyelami banyak dunia walaupun hanya lewat imajinasi.

Ada banyak sekali buku yang bisa menjadi umpan bagi otak kita. Kategorikan saja sebagai buku berat. Biasanya buku itu adalah buku terjemahan. Dan biasanya lagi adalah buku filsafat. Buku yang mengedepankan lompatan berpikir daripada alur sistematis. Maafkan saya kedangkalan definisi di atas. Karena saya hanya mengenal buku dan penulis yang terlanjur terkenal. Maka, saya tak banyak mengenal penulis asing kecuali penulis yang bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Saya sebut beberapa penulis tenar di pasar pembaca; Dan Brown, Paulo Coelho, Karen Armstrong, Jostein Gaarder, JK Rowling, Stephanie Meyer, Sir Arthur Ignatius Conan Doyle, Agatha Christie, James Paterson, Stephen King, dan tentu masih banyak lagi yang belum belum saya kenal.

Beberapa dari novel Jostein Gaarder saya beli dalam versi Indonesia dan kebetulan gold edition dari penerbit Mizan. Saya beli 2012 silam, dan baru saya baca 2015. Hampir tiga tahun terdiam berdesakan di deretan buku-buku. Tapi saya menyesal membaca Bibbi Boken. Menyesal baru membaca Bibbi Boken setelah lama. Sejak dulu sebenarnya Jostein Gaarder punya ruang sendiri dalam kekhasan karyanya. Sederhanakan saja menjadi bahwa dia lebih banyak menjebak imajinasi kita dengan gaya surat-menyurat dan kemisteriusan. Dunia Sophie dengan surat misterius. Gadis Jeruk dengan surat seorang ayah yang tersimpan belasan tahun. Bibbi Boken yang mensutradarai surat-menyurat lintas kota dua bocah. Maya dan si joker misterius.

Lalu karena Bibbi Boken-lah saya jadi semakin berhasrat mengoleksi buku. Tabungan untuk persiapan hidup beberapa bulan terkuras karena ketidakmampuan menahan naluri membeli buku. Meskipun, Bibbi Boken bukan satu-satunya bacaan yang memotivasi untuk punya perpustakaan pribadi. Saya merasa yakin, kalau hampir semua bibliofil adalah orang punya obsesi dan ambisi membangun perpustakaan pribadi.

Meskipun sebenarnya, novel Bibbi Boken berakhir dengan kenyataan bahwa semuanya adalah ulah Bibbi Boken, namun hal kurang mengenakkan justru ada pada bagian itu. Ketika karya yang ‘disutradarainya’ itu hanyalah menjadi buku yang kelak akan dibagikan kepada siswa-siswa sekolah dasar. Bagian ini mengecewakan pembacanya yang terlanjur dewasa dan sudah bukan anak sekolah lagi. Saya salah satunya. Sebelum sampai pada penjelasan yang diuraikan oleh Bibbi Boken itu, saya terus menyediakan ruang keterkejutan yang bisa saja meledak di lembaran akhir novel. Sayangnya, akhir cerita hanya membuat simpul kekanak-kanakan. Bagaimanapun, saya tidak terima masuk kategori pembaca yang diprediksikan oleh Bibbi Boken. Meski mungkin penulis sebenarnya Jostein Gaarder dan membayangkan novel ini dibaca oleh lintas generasi tanpa semaksud dengan isi novel.

Saya tetap menganggap novel itu adalah novel buatan Jostein Gaarder. Bukan oleh Nils dan Berit. Dua bocah belasan tahun yang menulis buku surat. Lalu buku surat itu dibaca oleh orang sejagad raya dalam wujud karya tulis Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup.

Selain itu, Perpustakaan Ajaib juga kurang tepat untuk menjuluki bangunan perpustakaan itu. Hanya sedikit sekali deskripsi yang mendukung gelar itu. Dan itupun kurang spesifik jika hanya mengandalkan incunabula dan efek pendar cahaya di dalam ruangan itu. Daya magic-nya kurang kuat untuk menegaskan keajaibannya. Ataukah saya keliru? Bahwa justru letak ajaibnya ada di ketidakmungkinan keberadaan bangunan itu. Tapi, bukankah cerita fiksi memang banyak sekali mengutarakan ketidakmungkinan-ketidakmungkinan yang lalu jadi cerita yang seolah fakta. Ah, begitulah novel. Semestinya, semua judul novel mencatut kata ajaib kalau begitu.

Sebagai pembaca yang tak banyak tahu tentang dunia sastra dan spekulasinya, maka saya merasa berhak atas penyesalan ini. Dengan tidak mengabaikan prinsip dua sisi sebuah koin. Yin Yang. Hitam Putih. Positif dan negatif yang niscaya selalu ada pada satu eksistensi materi dan nonmateri.

Sebagai penyeimbang atas sesal itu. Saya juga musti terima kasih atas segenap inspirasi gaya surat-menyurat Jostein Gaarder. Juga pada tokoh Bibbi Boken yang dengan kekuasaan dan kebetulannya mengurung ruang gerak dua bocah sehingga bisa melahirkan karya buku surat. Selain itu, hal yang paling menyadarkan dalam novel itu bahwa kita tidak pernah menemui akhir untuk menulis. Bahwa abjad yang hanya 26 huruf lalu menciptakan jutaan buku di dunia. Hal inilah yang semestinya menjadi ajaib di pikiran kita. Kita bisa menciptakan aksara tanpa batas di lembar-lembar tulisan masing-masing. Sekali lagi saya menyesal karena membacanya memberi dampak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun