Mohon tunggu...
Maruf Islamudin
Maruf Islamudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Saya adalah mahasiswa aktif UIN Raden Mas Said Surakarta program studi Hukum Keluarga Islam ~OJOLALIMADANG

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perbandingan Hukum Poligami di Indonesia dan Malaysia

12 Maret 2024   16:18 Diperbarui: 12 Maret 2024   16:20 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di Indonesia, hukum Islam yang berkembang dalam masyarakat adalah hukum Islam yang terbentuk atas dasar adat istiadat yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat Indonesia sehingga produk-produk hukum disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, kendatipun pada zaman kolonial (Belanda) pemikiran hukum banyak mengalami tekanan dari pihak penjajah sehingga hukum Islam sulit berkembang.[1] Hukum keluarga Islam Indonesia yang bermuat dalamKompilasi Hukum Islam dan atau Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Artinya, hukum Islam dan hukum adat merupakan dua sistem yang saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan, baik secara teoritis maupun praktisnya. Sama halnya di Malaysia, hukum Islam yang berlaku sebelum kehadiran kolonial Inggris di Malaysia adalah hukumIslam bercampur dengan hukum adat. Namun selama masa pemerintahan kolonial Inggris, Islam telah mewarnai berbagai kebijakan legislatif lokal yang berhubungan dengan fungsifungsi negara, keberadaan dan prosesi lembaga peradilan syariah untuk menerapkan hukum Islam, serta regulasi adiministrasi institusi social-legal Islam yang diberlakukan di seluruh negeri pada negara tersebut, seperti hukumperkawinan, hukum perceraian dan hukum waris. Kondisi ini terus berlanjut sampai Malaysia memperoleh kemerdekaannya. Salah satu langkah pembaruan hukum keluarga di negara-negara muslim modern seperti Indonesia dan Malaysia adalah meninjau kembali sejumlah ketentuan hukum Islamklasik yang dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi sosial dan tuntutan/perubahan modern. Diantara hasil dari peninjauan kembali itu adalah masalah hukum poligami. Aturan fiqh konvensional yang menjadi referensi selama berabad-abad kini ditinjau kembali dan digantikan dengan produk legislasi yang diarahkan pada upaya mengangkat status wanita dan merespon tuntutan dan perkembangan zaman. Berkaitan hukum keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia tentang aturan poligami, dikategorikan kepada negara yang membolehkan poligami dengan persyaratan yang relatif ketat (dipersulit). 21 Kategori inilah menjadi kecenderungan umum hukum keluarga di dua negara tersebut. Pembatasan poligami yang dilakukan bersifat variatif, dari cara yang paling lunak sampai yang paling tegas, dengan mempersyaratkan kondisi atau izin tertentu. Hal ini tentunya berbeda dengan situasi sebelum pemberlakuan Undang- undang (UU) Perkawinan No. 1/1974 di Indonesia, seorang laki-laki muslim cukup mudah untuk melakukan perkawinan poligami. Laki-laki tersebut hanya diminta untuk melaporkan perkawinan barunya kepada petugas pencatat perkawinan dan bersikap adil kepada para isterinya.

A. Sejarah Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia

1. Hukum keluarga Islam di Indonesia

Sebelum Merdeka:

  • Sebelum masa kolonial, Indonesia dikenal memiliki tradisi hukum adat yang beraneka ragam di setiap daerahnya. Islam mulai masuk ke kepulauan ini pada abad ke-7 melalui aktivitas perdagangan dan misi-misi agama. Proses islamisasi yang berlangsung secara bertahap membawa serta tatanan hukum Islam yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
  • Era Kerajaan Hindu-Buddha: Pada periode ini, Islam mulai mempengaruhi beberapa kerajaan di Indonesia, seperti Sriwijaya dan Majapahit. Meskipun bukan pemerintahan yang sepenuhnya Islam, tetapi kehadiran Islam memengaruhi aspek-aspek kehidupan, termasuk sistem hukum keluarga.
  • Masa Kesultanan: Pada abad ke-13, Kesultanan Islam mulai muncul di beberapa wilayah. Kesultanan-kesultanan ini memberikan pengaruh besar terhadap penegakan hukum Islam, termasuk dalam konteks hukum keluarga.

Setelah Merdeka:

  • Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945, Indonesia mengalami perubahan signifikan dalam sistem hukumnya. Hukum Islam tetap diakui sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Seiring berjalannya waktu, pemerintah Indonesia mengembangkan sistem hukum keluarga Islam yang lebih terstruktur. Pada tahun 1974, diterbitkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur berbagai aspek perkawinan termasuk poligami, perceraian, dan hak-hak keluarga.

2. Hukum Kelurga Islam di Malaysia

Sebelum Merdeka

  • Selama masa penjajahan, terjadi transformasi dalam tatanan hukum. Hukum Islam diintegrasikan dengan hukum kolonial Barat yang diperkenalkan oleh penjajah. Aspek-aspek tertentu dari hukum Islam tetap diakui, tetapi kendali semakin terpusat pada sistem hukum Barat.

Setelah Merdeka

Pada periode setelah kemerdekaan Malaysia, terjadi upaya pembaharuan hukum keluarga yang melibatkan berbagai aspek terkait perkawinan dan perceraian. Proses ini mencakup langkah-langkah yang lebih komprehensif dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, khususnya terkait pendaftaran perkawinan dan perceraian.

Langkah-langkah pembaharuan tersebut mencakup:

  • Penyesuaian dengan Undang-Undang Lokal: Negara bagian, seperti Melaka, Kelantan, dan Negeri Sembilan, mulai melakukan penyesuaian undang-undang keluarga Islam dengan kebijakan dan kebutuhan lokal mereka. Ini memungkinkan adanya fleksibilitas dalam penerapan hukum keluarga sesuai dengan konteks sosial dan budaya di masing-masing wilayah.
  • Otonomi bagi Negara Bagian: Dengan adanya penyesuaian undang-undang oleh masing-masing negara bagian, terjadi peningkatan otonomi hukum keluarga Islam di tingkat regional. Setiap negara bagian memiliki kebebasan untuk menyesuaikan undang-undang mereka sesuai dengan kebijakan lokal dan kebutuhan masyarakatnya.
  • Diversifikasi Hukum Keluarga Islam: Masing-masing negara bagian mengembangkan regulasi hukum keluarga Islam yang mencerminkan keragaman sosial, budaya, dan etnis di wilayah mereka. Hal ini menjadikan hukum keluarga Islam di Malaysia bersifat dinamis dan sesuai dengan keunikan setiap negara bagian.
  • Perkawinan dan Perceraian: Pembaharuan ini tidak hanya memperhatikan aspek pendaftaran perkawinan dan perceraian, tetapi juga mencakup berbagai aspek lain seperti nafkah, hak asuh anak, dan hak-hak serta tanggung jawab suami istri.

B. Pengaturan Hukum Poligami Dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia

1. Di Indonesia

a) Izin Poligami

Walaupun UU Perkawinan mengadopsi prinsip monogami, sesuai dengan Pasal 3 yang mengamanatkan bahwa seorang laki-laki hanya boleh memiliki satu istri dan seorang perempuan hanya dapat memiliki satu suami, terdapat pengecualian dalam konteks poligami. Dalam beberapa ketentuan lainnya, diizinkannya poligami diatur sebagai suatu pengecualian tertentu. Pengecualian ini diperbolehkan dengan menyertakan alasan-alasan tertentu yang membenarkan praktik poligami dalam situasi-situasi khusus. Dalam pasal 4 UU Perkawinan menyatakan: seorang suami yang akan menikah lebih dari seseorang jika:

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri

2. Istri mempunyai cacat fisik atau sakit tidak bisa disembuhkan.

3. Istri tidak dapat melahirkan anak.

Dalam KHI pasal 56 juga yang jelaskan:

  •  Suami yang ingin mempunyai isteri lebih dari satu seseorang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
  •  Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat 1 dilaksanakan sesuai prosedur sebagaimana diatur dalam Bab VII PP No.9 th 1975.
  •  Pernikahan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Tidak ada Pengadilan Agama kekuatan hukum.

Dari pasal-pasal di atas, KHI nampaknya tidak berbeda dengan UU Perkawinan. Meskipun aktif Pada dasarnya UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI menganut prinsip monogami, tapi sebenarnya peluang diberikan kepada poligami juga terbuka lebar. Itu berkata Dengan demikian, kontribusi UUP dan KHI hanya sebatas prosedur prosedur permohonan poligami. Tata cara poligami di Indonesia diatur dalam Pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40 hingga 44, PP no. 9 Tahun 19754 dan pasal 55 sampai 59

b) Persyaratan Poligami

Adapun persyaratan poligami di Indonesia tersebut antara lain:

  • Persyaratan Ekonomi: Perundang-undangan berupaya memastikan bahwa laki-laki yang ingin melakukan poligami harus benar-benar mampu secara ekonomi untuk menyokong istri-istri dan anak-anaknya. Tujuannya adalah agar keluarga dapat hidup dengan layak (sandang-pangan-papan).
  • Keadilan Terhadap Istri-Istri: Selain kemampuan ekonomi, peraturan juga berusaha memastikan bahwa suami yang melakukan poligami harus mampu bersikap adil terhadap istri-istri. Ini bertujuan untuk mencegah penelantaran istri-istri dan anak-anaknya.
  • Persetujuan dari Istri-Istri: Sebelum seorang suami dapat melakukan poligami, perundang-undangan menetapkan bahwa persetujuan dari istri-istri yang sudah ada harus diperoleh terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan penghargaan terhadap keputusan bersama dalam konteks pernikahan poligami.
  • Peran Pengadilan Agama: Pengadilan Agama memiliki peran yang sangat penting dalam mengesahkan praktik poligami. Ini menandakan bahwa keputusan untuk melakukan poligami tidak sembarangan dan harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh lembaga tersebut. Otoritas Pengadilan Agama menjadi kunci dalam mengizinkan poligami.

c) Sanksi Poligami

Adapun orang yang melanggar aturan poligami dapat dihukum dengan hukuman denda setinggitingginya Rp 7.500,-sebagaimana dicantumkan dalam pasal 45

ayat (1 a) : "Kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku, maka: (a) Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat (3), (4) peraturn pemerintahan ini dihukumdengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah)". Jumlah hukuman

denda itu tentu harus dilihat dari nilainya, bukan dari jumlahnya, dimana UU ini dibuat pada tahun 1974.

  • PNS yang beristri lebih dari seorang tanpa izin dapat dihukum dengan empat kemungkinan: (1) penurunan pangkat setingkat lebih rendah; (2) pembebasan jabatan; (3) pemberhentian dengan hormat tidak dengan atas permintaan sendiri sebagai PNS; (4) pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
  • PNS wanita yang menjadi istri kedua, ketiga, keempat dari seorang pria maka diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS (PP no. 45 tahun 1990 pasal 15 ayat 2 dengan tegas menyatakan PNS wanita yang melanggar ketentuan pasal 4 ayat 2 dijauhi hukuman disiplin yaitu pemberhentian tidak dengan hormat).

Dengan demikian, ketentuan hukum tentang sanksi bagi pelaku poligami, yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan berlaku, tidak tegas bagi semua kalangan, kecuali PNS ketentuan sanksi bagi pelanggar ketentuan poligami lebih tegas. 


2. Di Malaysia

a) Izin Poligami

Di Malaysia, dinyatakan bahwa setiap permohonan untuk melakukan poligami harus disertai dengan izin tertulis dari Mahkamah Syariah atau Hakim Syariah. Oleh karena itu, seseorang diwajibkan membayar denda kepada Mahkamah Syariah sebagai sanksi apabila telah melakukan pernikahan poligami tanpa izin resmi dari Mahkamah. Denda yang dibayar sebesar RM 1000,00 atau penjara 6 bulan penjara atau kedua-duanya.

Setelah denda tersebut di atas dibayar oleh suami, maka suami bersama isteri kedua diharuskan membuat :

1. permohonan secara tertulis kepada Mahkamah untuk pengesahan nikah poligami.

2. Pendaftar akan menyimak apakah saman salah disempurnakan pada isteri pertama dengan melihat apedevit penyampaian.

3. Pendaftar akan bertanya kepada isteri pertama apakah setuju dengan pernyatan dan janji yang dibuat oleh suami.

4. Dokumen-dokumen tersebut akan dibawa di majelis persidangan untuk disidangkan. Pada persidangan ini, hakim akan    bertanya dan meneliti tentang keabsahan nikah yang telah dilakukan oleh suami dan isteri kedua tadi tentang :

a. Kapan dan dimana pernikahan itu dilakukan

b. Siapa wali yang menikahkan

c. Siapa saksi-saksi yang telah ditunjuk

5. Hakim memberi keputusan

b)Persyaratan Poligami

Secara umumnya, terdapat empat syarat utama berpoligami yang termaktub dalam peruntukan poligami Akta dan Enakmen Keluarga Islam negeri-negeri yang wajib dipenuhi oleh pihak suami, yaitu:

(a) Perkawinan yang dicadangkan adalah patut dan perlu dengan melihat faktor-faktor ketidak- mampuan isteri yang ada dari segi fisik, seperti mandul, uzur yang membawa kepada ketidakmampuan untuk persetubuhan, gila serta ingkar mematuhi perintah untuk pemulihan hak- hak persetubuhan,

(b) Pemohon mempunyai kemampuan dari segi keuangan untuk menanggung semua isteri dan anak-anak termasuk isteri yang bakal dinikahi,

(c) Pemohon berupaya memberikan layanan yang adil dan saksama kepada semua isteri mengikut hukumsyara',

(d) Perkawinan yang dilakukan itu tidak akan menyebabkan darar syari'I kepada isteri atau isteri isteri yang ada.

c) Sanksi Poligami

Sanksi poligami dalam perundangan Malaysia menurut Enakmen Wilayah Persekutuan 303/1984 dan negeri-negeri selain Serawak didenda maksimal RM 1000 atau penjara maksimal 6 bulan atau keduanya. Suami tidak adil dalam poligami didenda maksimal RM 1000 atau penjara maksimal 6 bulan atau keduanya.

C. Perbandingan Hukum Poligami Dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia

1. Persamaan dan Perbedaan Prosedur Izin Poligami

a) Persamaan

Indonesia

1. Memasukan berkas-berkas permohonan yang dibutuhkan di Pengadilan Agama

2. Berkas-berkas itu berisikan :

- Alasan-alasan suami melakukan poligami

- Persetujuan isteri secara tertulis

- Bukti kemampuan suami secara ekonomi untuk menghidupkan isteri-isteri dan anak-anak mereka

3. Pengadilan memanggil dan mendengarkan secara lisan persetujuan isteri disampaikan di depan pengadilan

4. Pemeriksaan perkara dilakukan paling lambat setelah 3 hari

5. Keputusan pengadilan tentang diberi izin atau tidak kepada suami yang ingin berpoligami

Malaysia

1. Memasukan borang permohonan di Mahkamah Syari'ah

2. Borang tersebut disertakan dengan suatu pernyataan :

- Alasan poligami

- Bukti kemampuan suami dalam bidang keuangan

- Ada izin tertulis dari pihak isteri

3. Mahkamah memanggil isteri untuk mendapatkan pandangan kepada isteri apakah suaminya layak atau tidak untuk  berpoligami

4. Proses persidangan

5. Hakim memutuskan pemberian izin atau tidak


b)Perbedaan

Indonesia

1. Ada izin khusus untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu harus ada izin dari pejabat

2. Tidak ada pengesahan nikah poligami

Malaysia

1. Tidak ada izin khusus untuk pegawai kerajaan

2. Ada tata cara izin pengesahan nikah poligami


2. Persyaratan Poligami

a). Persamaan persyaratan di Indonesia dan Malaysia

1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri

2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tak disembuhkan

3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan

4. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri

5. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

6. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil kepada isteri-isteri dan anak-anak mereka

b). Perbedaan

Indonesia

  • Bagi istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istri selama minimal 2 (dua) tahun, atau sebab-sebab lain yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan, maka persetujuan dari istri atau istri-istri tidak diperlukan.

Malaysia

  • Ada wilayah tertentu yang memasukkan syarat (alasan) dan pertimbangan dari pihak lain yang terkait, yaitu mertua dari kedua belah pihak
  • Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap isteriisterinya kelak, dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis

3. Sanksi Poligami

a). Persamaan sanksi di Indonesia dan Malaysia

  • Pidana denda dan penjara atau kedua- duanya, namun besaran denda dan lamanya penjaramasing negeri atau yang berbeda.

b). Perbedaan

Indonesia

  • Ada ketentuan khusus untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu sanksi sampai kepada diberhentikan dari PNS

Malaysia

  • Tidak ada ketentuan khusus bagi warga negara tertentu dalam sanksi Poligami.

Studi ini menyajikan temuan yang meneliti regulasi poligami secara yuridis dalam hukum keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia. Hasil studi menunjukkan bahwa dalam kedua negara tersebut, praktik poligami telah diatur dengan tegas melalui kerangka hukum keluarga Islam. Ketegasan dalam regulasi ini mencakup upaya untuk mengontrol dan mengarahkan pelaksanaan poligami sesuai dengan prinsip-prinsip hukum keluarga Islam. Rincian terkait prosedur, syarat, dan sanksi mencerminkan komitmen untuk menciptakan landasan hukum yang jelas dan terstruktur bagi praktik poligami. Dengan demikian, hukum keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia menciptakan suatu kerangka yang mengintegrasikan nilai-nilai agama Islam dengan ketentuan hukum positif untuk mengelola poligami secara lebih teratur.


Penulis: Ma'ruf Islamuddin


Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun