Mohon tunggu...
Maruf Islamudin
Maruf Islamudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Saya adalah mahasiswa aktif UIN Raden Mas Said Surakarta program studi Hukum Keluarga Islam ~OJOLALIMADANG

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Prinsip- Prinsip Perkawinan dalam UUD No.1 Tahun 1974

20 Februari 2024   19:11 Diperbarui: 20 Februari 2024   19:14 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Nama: 1. Ma'ruf Islamuddin (222121209)

               2. Farhad Najib (222121238)

               3. Yazid Wijdan Zhulfa (222121207)

Kelas: HKI 4F.

Prinsip- Prinsip Perkawinan dalam UU No.1 Tahun 1974

Al-Qur'an menggariskan perkawinan sebagai kerangka memperoleh sakinah dengan memberdayakan potensi mawaddah dan ramah yang Allah Swt.,berikan kepada manusia. Ketercapaian hakikat perkawinan tersebut tidak datang secara tiba-tiba, setiap pasangan diharuskan berusaha mewujudkannya dengan pedoman-pedoman yang tertuang dalan an-nuu al-muqaddasah. 

Pedoman tersebut merupakan serangkaian prinsip-prinsip perkawinan yang apabila diimplementasikan dalam kehidupan rumah tangga, maka tujuan perkawinan yang digariskan al-Qur'an dapat tercapai, sebagaimana yang telah diteladankan oleh Nabi Saw. Di Indonesia, perkawinan diatur oleh UU Normor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengandung beberapa prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh setiap pasangan yang ingin menikah. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

a). Asas Sukarela

Dalam Bab I Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk. membentuk keluarga yang sejahtera, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 

Sehubungan dengan hal tersebut di atas agar perkawinan terlaksana dengan baik, maka perkawinan yang dilaksanakan itu haruslah didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Agar suami istri dapat membentuk keluarga bahagia dan sejahtera serta kekal, maka diwajibkan kepada calon mempelai untuk saling kenal terlebih dahulu. Perkenalan yang dimaksud di sini adalah perkenalan atas dasar moral dan tidak menyimpang dari norma agama yang dianutnya. 

Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihannya, melainkan diharapkan membimbing dan menuntut Beberapa Catatan tentang Hukum Perkawinan di Indonesia miliknya agar memilih pasangan yang cocok sesuai dengan him agama yang mereka peluk. Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, maka kawin paksa -nar dilarang Undang-Undang Perkawinan ini.

b). Asas Partisipasi Keluarga

Asas ini terdapat dalam Pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan "perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dalam asas ini, untuk menikah diperlukan partisipasi keluarga untuk merestui perkawinan itu.Bagi yang masih berada dibawah umur 21 tahun (pria dan wanita). Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (2,3,4,5,6) UU No.Tahun 1974 tentang Perkawinan.

c). Perceraian dipersulit

Jika tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka mempersulit terjadinya perceraian dikedepankan. Perceraian merupakan perbuatan halal yang dibenci oleh Allah SWT. Meskipun perceraian itu diperbolehkan, namun akan dipersulit terjadinya perceraian tersebut. Karena dampak dari perceraian begitu banyak, selain pada anak hasil perkawinan juga secara umum berdampak pada masyarakat.

Asas ini terdapat dalam Pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan "perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak".

d). Poligami dibatasi dengan ketat

Asas ini terdapat dalam Pasal 3 dan 4 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, begitu pula sebaliknya, namun Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

e). Kematangan calon mepelai

Prinsip kematangan calon mempelai dimaksudkan bahwa calon suami istri harus telah matang jasmani dan rohani untuk melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu harus dicegah adanya perkawinan di bawah umur. 

Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Oleh karena itu ditentukan batas umur untuk kawin yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. 

Bahkan dianjurkan perkawinan itu dilakukan pada usia sekitar 25 tahun bagi pria dan 20 tahun wanita. Namun demikian dalam keadaan yang sangat memaksa (darurat), perkawinan di bawah batas umur minimum sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Perkawinan tersebut dimungkinkan. setelah memperoleh dispensasi dari Pengadilan atas permintaan orang tua.

f). Memperbaiki derajat kaum Wanita

Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan diputuskan bersama oleh suami istri. Asas ini mengangkat harkat dan derajat (kedudukan) kaum wanita, yaitu para istri dengan adanya ungkapan jelas dalam Undang-Undang tersebut bahwa hak dan kedudukan suami adalah seimbang dengan hak dan kedudukan istri dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

g). Asas pencatatan perkawinan

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Disamping itu, tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, surat akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.


Menarik untuk dianalisis, asas-asas perkawinan ini memiliki landasan yang tegas seperti yang termuat dalam al-Qur'an dan Hadits. Seperti yang diurai oleh M. Rafiq, asas yang pertama dan keempat dapat dilihat rujukannya pada firman Allah: "Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih sayang. Sesugguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berfikir". (QS. Al Rum: 21).

 Berkenaan dengan prinsip kedua, sesuatu yang telah jelas dimana hukum yang ingin ditegakkan harus bersumber pada al-Quran dan al-Hadits.

 Prinsip ketiga dapat dilihat pada firman Allah: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) Perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinlah dengan wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun