Memandang sosoknya, kita akan menemukan 'pasuryan' khas Jawa, raut wajah yang secara sarkastik bisa dikatakan lucu dan wagu, jauh dari tampang kinyis-kinyis ala indo sehingga barangkali takkan pernah dilirik jagat persinematografian Indonesia yang demikian gandrung dengan wajah dan tubuh impor, kecuali yang menyebal dari mainstream seperti sang maestro Deddy Mizwar. Namun inilah wajah yang menjadi salah satu magnet Yogyakarta khususnya dalam empat tahun terakhir. Inilah Mbah Maridjan, nama yang jauh lebih populer ketimbang gelar yang diberikan Sultan Hamengku Buwono X kepadanya: Mas Ngabehi Panewu Surakso Hargo.
Mbah Maridjan melesat popularitasnya laksana meteor di angkasa seiring peristiwa erupsi Merapi 2006. Ketika banyak pihak menghendaki evakuasi total penduduk dari kawasan rawan bahaya Merapi di saat gunung itu mulai memperlihatkan sinyal-sinyal erupsinya pada periode April - Mei 2006, simbah tetep bersikukuh untuk bertahan di kediamannya, sebuah dusun kecil nan sunyi bernama Kinahrejo yang masuk wilayah Cangkringan, Sleman. Simbah bahkan menyebut Merapi, gunung yang dijaganya secara resmi sejak 1974 tatkala dirinya diangkat sebagai wakil juru kunci Merapi oleh Kraton Kasultanan Yogyakarta, hanya sedang 'membangun' sehingga tak perlu dikhawatirkan. Simbah terusik oleh berita bahwa pihak-pihak terkait telah menyiapkan ribuan kantung jenazah untuk mengantisipasi korban-korban bencana Merapi.
Pada akhirnya, bencana memang datang menerjang, namun datang dari tempat yang sungguh tak terduga: sisi timur lembah Opak. Ketika batuan yang mengalasi Pegunungan Sewu (Southern Mountain) bagian barat sudah tak sanggup lagi menahan beban tekanan yang dideritanya akibat penunjaman lempeng Australia ke bawah lempeng Eurasia, patahlah ia, dalam luasan 25 x 13 km persegi sekaligus menggesernya sejauh 0,6 cm. Pematahan ini memicu rangkaian pergerakan dimana-mana, mulai dari dasar cekungan Bantul di barat hingga kelurusan Baturagung Dengkeng di utara. Inilah gempa tektonik 27 Mei 2006, yang meletup di pagi hari dengan magnitude Mw 6,4 skala Magnitudo dan merenggut korban jiwa lebih dari 6 ribu orang. Gempa yang sama juga yang kian meningkatkan aktivitas Merapi hingga mencapai puncaknya pada 14 Juni 2006, saat kubah lava ambrol dan meluncurkan awan panas besar yang melabrak kawasan Kaliadem di sebelah tenggara Merapi, sekaligus membobol bunker perlindungan hingga menewaskan 2 orang didalamnya.
Ajaibnya, meski beberapa rumah tetangganya sempat terserempet awan panas ini, kediaman Mbah Maridjan tetap utuh tak tersentuh. Meski, merujuk penuturan Bupati Sleman Ibnu Subiyanto (sebelum dirujuk ke hotel prodeo karena kasus korupsi), pada saat-saat puncak erupsi itu Pemkab Sleman menggelar "operasi rahasia" untuk mengevakuasi simbah ke tempat yang lebih aman, dengan sandi 'Mbah Maridjan Sudah Naik Ke Atas.' Inilah momen yang mengangkat simbah jadi legenda hidup Merapi, sang penakluk Merapi. Hingga orang pun berdatangan dari mana-mana, dari yang sekedar ingin berkenalan hingga yang berniat numpang jual tampang mencari popularitas. Dan seakan tak terpengaruh oleh banjir pemberitaan mengenainya, simbah tetap menyambut setiap tamu yang datang, apapun kepentingannya, dengan tangan terbuka dan keramahan khas pelosok.
Keramahan simbah sudah dikenal jauh hari sebelum peristiwa erupsi 2006, meski saat itu hanya di kalangan terbatas. Kediamannya terbuka untuk siapapun yang datang berkunjung, baik rombongan pecinta alam yang mencoba mendaki gunung teraktif di dunia ini ataupun kelompok-kelompok yang menyelenggarakan training maupun rihlah di seputaran kaki Merapi khususnya kawasan Kaliadem. Belakangan daftar tamu yang beranjangsana ke kediaman simbah bertambah setelah diketahui bahwa Masjid yang dibangun keluarga Mbah Maridjan, secara luar biasa, ternyata tepat menghadap ke kiblat, sehingga kunjungan ke Kinahrejo bagi ahli falak menjadi 'setengah wajib.' Namun meski daftar tamunya terus bertambah, simbah tak berubah, pun tak silau dengan tawaran yang diberikan sejumlah tamunya. Pak Irwan Hidayat direktur PT Sidomuncul berkisah, simbah berkenan menjadi bintang iklan minuman berenergi yang diproduksinya semata dengan pertimbangan bahwa keluarga pak Irwan (khususnya ayahnya) pernah membantu kehidupan masyarakat Kinahrejo di dekade 1970-an, sehingga simbah merasa harus membalas budi baik beliau.
Pamor simbah kembali bertambah kinclong ketika Merapi kembali menggeliat menampakkan sinyal-sinyal aktivitasnya sejak pertengahan Agustus 2010 lalu. Gempa vulkanik dalam (sinyal bahwa magma sedang bergerak ke atas dari reservoar terdalamnya) dan gempa vulkanik dangkal (sinyal bahwa magma sudah memasuki dua kantung magma Merapi di kedalaman 1 km) terus terjadi dengan intensitas kian meningkat. Sehingga memaksa Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dari Badan Geologi Departemen ESDM lewat Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta menaikkan status Merapi menjadi waspada. Belakangan kemudian disadari, akumulasi energi gempa (baik vulkanik maupun multifase) di sekujur tubuh Merapi ternyata 3 kali lipat lebih besar ketimbang peristiwa 2006, sehingga menerbitkan kekhawatiran bakal adanya erupsi yang lebih besar dibanding peristiwa 2006 yang 'hanya' mengeluarkan 8 juta meter kubik magma. Kekhawatiran ini diperkuat dengan tingkah Merapi yang aneh, yang menampilkan penggelembungan (deformasi) puncak demikian cepat namun tidak menunjukkan tanda-tanda adanya titik api diam (sebagai indikasi magma sudah keluar dari puncak) maupun timbunan kubah lava yang baru. Secara visual Merapi hanya memperlihatkan kepulan asap solfatara yang lebih besar dan lebih pekat.
Ini sangat berbeda dibanding kebiasaan Merapi yang telah dikenal selama ini, yang lebih dulu menimbun magmanya di puncak sebagai kubah lava baru. Kubah lava yang terus tumbuh berkembang selanjutnya mendesak kubah lava lama sehingga stabilitasnya terganggu dan akhirnya longsor/ambrol sebagai awan panas beserta sebagian volume kubah lava baru. Pertumbuhan kubah lava baru bisa membutuhkan waktu hingga 1 bulan sebelum luncuran awan panas terjadi, sehingga menyediakan waktu yang cukup bagi penduduk disekitarnya untuk bersiaga dan mengevakuasi diri pada saat yang tepat. Pemahaman semacam ini pula yang diserap oleh Mbah Maridjan dan penduduk seputaran kaki Merapi secara titen (niteni). Lucas Sasongko Triyoga dalam bukunya "Manusia Jawa dan Gunung Merapi" menyebut adanya hubungan unik antara sang gunung dan penduduk yang berdiam di seputar kaki dan lerengnya. Merapi, bagi masyarakat di sekitarnya, adalah rumah 'simbah' Rama dan Permadi, empu kesohor tanah Jawa masa silam yang terpaksa hidup di alam gaib setelah tempat kediamannya ditimbun gundukan tanah oleh para dewa sebagai upaya menyetabilkan pulau Jawa setelah penciptaannya. Dua simbah gaib tersebut akan memberikan tanda-tanda khusus secara fisik dan batin kepada penduduk apabila arak-arakan Eyang Kartadimedja (yakni magma, lava pijar dan awan panas) akan melintas. Bagi penduduk lereng selatan (yakni Turgo, Kaliurang dan Kinahrejo), bahkan terdapat keyakinan lokal bahwa bagaimanapun Eyang Kartadimedja bertingkah, ia takkan mengarahkan arak-arakannya ke selatan karena disinilah kediaman orang tuanya. Bila itu sampai terjadi, sang eyang bakal kualat seumur-umur. Keyakinan penduduk lereng selatan bertambah karena terdapat penghalang alami antara mereka dengan kerucut puncak Merapi, yang di Turgo berupa bukit Jumadil Kubro, sementara di Kinahrejo berupa geger boyo (sebentuk kubah lava tua di puncak Merapi yang nampak bergerigi seperti punggung buaya). Pemahaman semacam ini yang membuat penduduk enggan mengungsi meskipun BPPTK kemudian menaikkan status Merapi menjadi siaga, fakta yang membuat BPPTK di satu sisi dan Pemprov DIY/Pemkab Sleman di sisi lain menjadi kian ketar-ketir.
Pada titik inilah Mbah Maridjan mungkin silap. Ilmu titen Merapi yang dikuasainya, yang merupakan penyerapan dari fakta empirik perilaku Merapi secara visual sepanjang hayat simbah, hanya sanggup mendeskripsikan sebagian dari dinamika gunung api paling lasak di Indonesia itu. Fakta lainnya, geger boyo sebenarnya sudah tidak ada karena sudah runtuh menjelang terbentuknya kubah lava 2006. Itulah yang membuat kubah lava saat itu terbentuk di pelataran Gendol, persis di atas hulu Sungai Gendol, dan pada puncak erupsinya awan panas melanda kawasan tenggara dan melumat Kaliadem, peristiwa yang terakhir kali terjadi 100 tahun sebelumnya. Simbah mungkin juga lupa bahwa tanda-tanda gaib yang ditunggu-tunggu penduduk pun tak kunjung muncul ketika awan panas meluncur dan memanggang Turgo, menewaskan 76 penduduk dalam peristiwa tragis November 1994. Pada aras yang lebih tinggi, simbah barangkali enggan menyadari panta rhei, tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan. Simbah yang dulu muda perkasa, kini telah menua. Pun demikian Merapi, tidak selalu menyajikan tingkah yang sama sepanjang perilakunya. Hal-hal semacam inilah yang membuat keputusan Mbah Maridjan untuk tetap bertahan di Kinahrejo dalam kondisi apapun, meski BPPTK sudah menangkap sinyal-sinyal mengkhawatirkan dari Merapi dan mengestimasikan bakal ada letusan yang sangat berbeda, yang bisa menyebar ke segala arah, menjadi awal dari sebuah tragedi.
Manusia agraris yang terikat tanah, demikian ejekan para antropolog terhadap sikap keras kepala simbah. Barangkali tidak sepenuhnya demikian. Sebagai juru kunci Merapi, tugas yang dibebankan di pundaknya meski hanya digaji kurang dari Rp 10 ribu/bulan oleh Kraton, Mbah Maridjan tetap merasa harus bertanggung jawab memonitor perkembangan sang gunung dan menjadi orang yang paling akhir meninggalkan gunung. Sikap seperti ini bukan hal aneh, karena Douglas McArthur di Perang Dunia II pun menerapkannya. Jauh hari sebelumnya, hampir 2000 tahun silam, seorang Gauius Plinius Secundus alias Pliny Tua, komandan Armada Barat Kekaisaran Romawi, pun menerapkan sikap serupa saat menghadapi krisis letusan Vesuvius di bulan Agustus 79 M. Setelah habis-habisan mengerahkan seluruh armadanya untuk mengevakuasi penduduk dan mati-matian mengerahkan kemampuannya mengobservasi letusan luar biasa sang gunung, Plinius pun tak kuasa mengelak dari serbuan awan panas Vesuvius tatkala berada di pantai Stabiae. Namun pengorbanannya diganjar dunia, ilmu pengetahuan menabalkan namanya sebagai nama bagi letusan-letusan gunung berapi sangat dahsyat (seperti Krakatau 1883) : letusan Plinian.
Namun posisi simbah di Kinahrejo seakan meneguhkan tesis Kuntowijoyo dalam bukunya "Paradigma Islam", bahwa pada saat-saat kritis masyarakat lebih mematuhi pemimpin natural (natural leader) dibanding pemimpin formal. Sikap simbah yang tetap mencoba bertahan di Kinahrejo, meski barangkali itu merupakan sikap pribadi, oleh masyarakat sekitar dipandang sebagai sikap pemimpin. Alhasil kediaman simbah pun menjadi paran jujugan (tempat berkumpul) setiap kali Merapi mengalami krisis. Disinilah lingkaran tak berujung itu terbentuk: masyarakat baru mau mengungsi bila simbah berkenan mengungsi, sementara simbah hanya mau mengungsi bila orang lain sudah mengungi semuanya. Bujuk rayu dari segenap pihak pun tak mempan, termasuk dari para sejawat simbah yang masih menyempatkan diri naik ke Kinahrejo meski kolom asap setinggi 1,5 km (tanda bahwa erupsi Merapi sudah terjadi dan kali ini bersifat eksplosif) sudah muncul di langit. Lingkaran terus saja berputar-putar tanpa ada ujung dan baru buyar setelah awan panas melabrak semuanya. Pada saat yang sama sebagian penduduk pun sadar bahwa Merapi kali ini berbeda, awan panas langsung menerjang dengan energi tinggi tanpa didahului pembentukan kubah lava. Maka kepanikan dan kekacauan luar biasa pun terjadilah, ketika puluhan ribu penduduk tergopoh-gopoh menuruni lereng gunung berkejaran dengan debu vulkanik dan awan panas pada Selasa kelabu itu. Dan inilah tragedi, ketika Kinahrejo pun turut dihantam awan panas, menewaskan 31 orang (sampai sejauh ini) termasuk Mbah Maridjan. Lidah pun semakin kelu ketika menyadari di antara korban pun terdapat pihak-pihak yang sedang mencoba membujuk simbah.
Tragedi Kinahrejo 2010, bersama dengan Tragedi Turgo 1994, semoga menjadi pelajaran yang amat berharga ke depan. Tak ada yang salah dengan ilmu titen, sebagai salah satu local wisdom masyarakat kaki Merapi dan sebagai bagian dari sistem peringatan dini setempat. Namun harus disadari, perubahan adalah wajah lain dari Merapi. Ketika biasanya magma Merapi enggan menyekap gas-gas vulkanik, suatu perubahan kecil (yang diduga kuat adalah peningkatan keasaman magma atau peningkatan kadar silikat) membuat magma menjadi lebih kental dan lebih sanggup menahan gas. Proses-proses pergerakan magma, apalagi sebelum sampai ke puncak, hanya sanggup dibaca lewat garis zigzag instrumen seismograf. Di titik ini kita harus cermat membaca keadaan, mengingat Merapi 2010 bukanlah akhir dari erupsi gunung itu. Masih ada Merapi empat/lima tahun dan sembilan/sepuluh tahun ke depan sesuai siklusnya.