Mohon tunggu...
Muh Ma'rufin Sudibyo
Muh Ma'rufin Sudibyo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Langit dan Bumi sahabat kami. http://ekliptika.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memahami Status Siaga Kawah Timbang, Dieng (Jawa Tengah)

8 Juni 2011   16:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:43 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah menaikkan status aktivitas vulkanik Dataran Tinggi Dieng ke status Siaga (level 3) yang berlaku efektif sejak 30 Mei 2011. Keputusan itu didasari kian meningkatnya perilaku vulkanik dataran tinggi tersebut sejak dua minggu sebelumnya khususnya di area Kawah Timbang, Batur (Banjarnegara). Perkembangan cepat ini sontak mengejutkan sebagian dari kita, mengingat status tersebut hanya tinggal setahap lagi dari status Awas (level 4). Apalagi sempat muncul anggapan bahwa aktivitas Dieng bakal terus menanjak sehingga letusan yang dahsyat berpotensi terjadi. Terlebih Dataran Tinggi Dieng sebenarnya memang sebuah kaldera gunung berapi dan seperti diketahui kaldera merupakan jejak letusan gunung berapi yang teramat dahsyat di masa silam. Dataran Tinggi Dieng secara geografis terletak di perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo, di tengah-tengah propinsi Jawa Tengah. Dataran tinggi ini tepat berada di utara gunung Sindoro dan merupakan dataran tertinggi kedua di dunia setelah Tibet (Cina). Kita mengenal Dieng sebagai tempat yang eksotis: dingin, penuh kabut, ada berbagai danau sirkular (bulat), ada kompleks percandian bernafaskan Hindu yang tergolong sisa peradaban era sejarah tertua kedua di Jawa (setelah kompleks percandian Batujaya), ada pula lahan-lahan pertanian kentang yang luas serta ada lapangan energi panas bumi (geotermal) yang turut memasok daya ke sistem interkoneksi Jawa-Bali. Eksotisnya Dataran Tinggi Dieng ternyata segendang sepenarian dengan sejarah geologinya. Jika jajaran gunung berapi di tanah Jawa diplot pada sebuah garis imajiner, nampak bahwa hampir semua gunung tersebut berada dalam satu baris yang membentang dari barat laut ke tenggara. Perkecualian adalah Dataran Tinggi Dieng serta gunung Ungaran dan gunung Muria. Seperti diteorikan Awang Harun Satyana (2007) ketiga gunung berapi "aneh" tersebut muncul sebagai konsekuensi eksisnya sistem patahan besar Kebumen-Muria-Meratus 65 juta tahun silam yang merentang dari Jawa hingga Kalimantan. Bersama dengan sistem patahan besar Cilacap-Pamanukan-Lematang yang sama usianya dan merentang dari Jawa hingga Sumatra, pergerakan keduanya menyebabkan banyak anomali di Jawa Tengah. Antara lain menghilangnya (baca : terbenamnya) Pegunungan Kapur di pesisir selatan Jawa Tengah (bandingkan dengan pegunungan yang sama di pesisir selatan Jawa Barat dan Jawa Timur) dan terangkatnya lapisan-lapisan sedimen tertua di Jawa yang tersingkap di Karangsambung (Kebumen). Sebagai jalur lemah dalam kerak Bumi, sistem patahan besar ini juga menjadi jalan pintas magma menembus kerak Bumi untuk terekstrusi keluar menjadi gunung berapi yang posisinya lebih ke utara dibanding barisan gunung berapi Jawa pada umumnya. Sistem patahan besar tersebut kini memang telah mati, namun jejak-jejaknya masih tersisa hingga sekarang. Antara lain di Dieng. [caption id="attachment_115195" align="alignnone" width="638" caption="Citra Satelit Dataran Tinggi Dieng dengan beberapa kawahnya (antara lain Telaga Menjer, Telaga Pengilon/Warna, Pakuwaja, Sikidang, Sileri, Pagerkandang dan Dringo). "][/caption] Dataran Tinggi Dieng terbentuk ketika Gunung Prahu purba meletus teramat dahsyat hingga mengosongkan dapur magma-nya dan akibatnya sebagian besar tubuh gunung ambuk membentuk kadera seluas 14 x 6 km persegi. Di kaldera ini kemudian terbentuk gunung Bisma di selatan sebagai kerucut vulkanis tertua pasca-kaldera, yang kemungkinan pernah mengalami letusan menyamping (erupsi lateral) mirip letusan Papandayan 1772 atau St Helena 1980, ditandai ambruknya lereng gunung sektor tenggara. Berturut-turut kemudian muncul kerucut Seroja, Menjer (kerucut parasitik yang pasca meletus menjadi danau), Pangonan, Merdada (pasca letusan juga menjadi danau), Dringo, Petarangan dan yang termuda Igir Binem (kawahnya menjadi danau bernama Telaga Warna). Sejak 8.500 tahun silam aktivitas erupsi leleran yang melibatkan magma mendadak berhenti. Dieng kemudian hanya diwarnai aktivitas letusan eksplosif lemah dengan dampak lokal pada skala letusan < 3 VEI (Volcanic Explosivity Index). Secara keseluruhan terdapat 26 kawah di dataran tinggi ini, baik yang berbentuk kering maupun basah (danau). [caption id="attachment_115196" align="alignnone" width="614"][/caption] Sejak abad ke-18 tercatat 20 kali letusan dari beberapa kawah. Kawah Sileri adalah kawah teraktif, yang mencatat 8 letusan (termasuk yang terakhir pada 2009 silam). Menyusul kemudian kawah Pakuwaja (3 letusan), Petarangan (3 letusan), Sikidang (2 letusan), Candradimuka (1 letusan), Timbang (1 letusan), Sinila (1 letusan) dan Sigludug (1 letusan). Letusan Sinila dan Sigludug (1979) yang terjadi secara bersama-sama merupakan perkecualian karena diikuti aliran lava panas. Satu yang menonjol dari aktivitas vulkanik Dieng terkini adalah munculnya gas beracun (karbondioksida) yang berulang kali menelan korban jiwa, terbesar dalam tragedi Sinila (149 orang). Giggenbach (1991) menuturkan gas karbondioksida Dieng merupakan produk reaksi air magmatik silikat dengan batuan setempat yang kompleks sehingga membebaskan karbondioksida sebagai gas bersuhu rendah yang selanjutnya terkumpul dalam reservoir-reservoir sedalam +/- 1 km. Suhu rendah ini juga aneh bagi Dieng, sebab eservoir geotermal Dieng diketahui memiliki suhu cukup tinggi (yakni 330 derajat Celcius). Gas karbondioksida selanjutnya akan diemisikan ke permukaan Bumi lewat dua macam pelepasan. Yang pertama, lewat letusan yang diawali dengan tanda-tanda khas seperti terbentuknya retakan disertai gempa. Yang kedua, langsung keluar begitu saja tanpa tanpa tanda-tanda sama sekali, khususnya di kawah yang mengandung fumarol/solfatara aktif. [caption id="attachment_115197" align="alignnone" width="614" caption="Telaga Warna, salah satu contoh kawah basah Dieng.Sumber: Aifa, 2011"][/caption] Tragedi Sinila terjadi pada Kamis dinihari 22 Februari 1979 diawali letusan dalam kawah Sinila dan Sigludug. Kawah Sinila dengan dua lubang utamanya yakni Situmpuk dan Nagarunting sebelumnya dikenal sebagai kawah mati yang tak pernah berulah. Namun di dinihari tersebut kawah Sinila meletus dan melelehkan lava hingga sejauh 3 km ke selatan. Secara bersamaan kawah Sigludug pun meletus dan melelehkan lava sejauh 1 km, juga ke selatan. Dua aliran lava tersebut melewati lembah di sisi barat dan timur desa Kepucukan dan Sinila sehingga seakan mengepung kedua desa. Penduduk yang panik mencoba mengungsi ke arah barat daya menuju ke Batur melalui jalan setapak SD Inpres Kepucukan. Namun rupanya letusan simultan Sinila dan Sigludug menghasilkan retakan tanah di dekat SD ini. Bersama-sama dengan kawah Sinila, retakan ini mengeluarkan gas karbondioksida berkadar tinggi yang segera menyebar luas. Akibatnya korban jiwa pun berjatuhan di sepanjang jalan setapak ini. Secara keseluruhan 149 orang tewas akibat asfiksia (keracunan karbondioksida sehingga oksigen tidak bisa terserap ke dalam darah) dan jasadnya baru bisa dievakuasi beberapa hari kemudian setelah bahaya mereda. Akibatnya desa Sinila dan Kepucukan pun dinyatakan sebagai daerah bahaya dan dihapus secara administratif, sementara sisa penduduknya ditransmigrasikan ke Sumatra. [caption id="attachment_115198" align="alignnone" width="642" caption="Citra satelit kawasan Batur timur, tempat tragedi Sinila 1979 terjadi. nampak posisi kawah Dringo, Candradimuka, Jalatunda, Sinila, Sigludug dan Timbang. Nampak bekas Desa Kepucukan dibatasi lembah sungai di sebelah barat dan timurnya. Jalan maut adalah lokasi tewasnya sebagian besar dari 149 korban. Nampak jalan ini melewati lembah barat sehingga terpapar gas karbondioksida dari kawah Sinila."][/caption] Tragedi Sinila memberi gambaran bahwa bahaya terbesar aktivitas vulkanisme Dieng tidak terletak pada aliran lava maupun semburan debunya, melainkan pada emisi gas karbondioksida. Gas ini tidak berbau dan tidak berasa, sehingga kehadirannya tak bisa dipastikan dengan indera penciuman manusia. Namun gas karbondioksida lebih berat dibanding Oksigen maupun Nitrogen, sehingga selalu menempati lokasi lebih rendah seperti lembah dan hanya terkonsentrasi di tempat itu. Karena itu ketika kali ini Dieng kembali menggeliat dan sudah dinyatakan dalam status Siaga, sangat disarankan untuk tidak berada di lembah khususnya yang sealur dengan Kawah Timbang. Sementara lembah lainnya, apalagi puncak-puncak perbukitan, relatif lebih aman. Realitas ini tentunya sudah sangat dipahami Badan Penanggulangan Bencana Daerah Banjarnegara sehingga evakuasi dilakukan dengan tujuan menghindari kawasan lembah yang berbahaya. Di luar kawasan itu berstatus aman sehingga kunjungan Dataran Tinggi Dieng tetap bisa dilakukan. Pada akhirnya, karakteristik aktivitas vulkanik di Dieng sangat berbeda dengan gunung berapi lainnya. Perbedaan inilah yang sebaiknya kita pahami, sehingga penyikapan terhadap situasi Siaga di Dieng berlangsung sesuai proporsinya. Dieng memang gunung berkaldera, namun rekaman perilakunya sepanjang 8.500 tahun terakhir menunjukkan aktivitasnya tidaklah seganas Merapi. Peningkatan status ini seyogyanya membuat kita belajar lebih memahami Bumi ini. Bumi yang hidup, dengan proses-proses geologisnya yang merentang masa demikian panjang melampaui peradaban manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun