Kini terbukti, prediksi tingkah laku Merapi dengan mendasarkan pada sedikit parameter tidak selalu memberikan hasil yang sesuai dengan realitas. Pun demikian bagi letusan Merapi 2010 ini. Jika semula diperkirakan letusan paling banter akan mengeluarkan 30 juta meter kubik magma, ternyata realitasnya jauh lebih besar. [caption id="attachment_315816" align="alignnone" width="201" caption="Letusan Merapi 4 November 2010, dengan kolom debu vertikal mencapai ketinggian 5 km, ciri khas letusan vulkanian tau sub-plinian yang punya potensi merusak. Sumber : Kompas, 2010"][/caption] Sejak kunjungan SBY ke barak-barak pengungsian di sekitar Merapi pada Rabu 3 November lalu, Merapi meletus tanpa jeda dengan energi yang luar biasa hingga pagi hari ini (5 November). Semburan gas dan material vulkanik menyebabkan terbentuknya kolom asap letusan setinggi hingga 8 km. Jika pada letusan-letusan sebelumnya kawasan kaki Merapi hanya mendapat kiriman hujan debu, kini kerikil telah berjatuhan di sana termasuk di Muntilan (Magelang, Jawa Tengah) dan Ngaglik (Sleman, DIY). Guyuran butir-butir pasir menerpa kota Yogyakarta. Letusan juga menimbulkan hujan debu yang sangat deras di kota Kebumen (Jawa Tengah), yang berjarak 90 km di sebelah barat Merapi. Ini peristiwa pertama guyuran hujan debu cukup deras bagi kota ini dalam 27 tahun terakhir setelah letusan Galunggung tahun 1983 silam. BPPTK Yogyakarta melansir, sampai pagi ini (5 November), Merapi telah mengeluarkan sedikitnya 50 juta meter kubik magma. Dengan asumsi suhu material tersebut 600 derajat Celcius, maka energi termal yang dikeluarkan Merapi telah mencapai 6 megaton TNT atau 300 kali lipat lebih dahsyat ketimbang letusan bom Hiroshima. Skala letusan kini telah memasuki VEI 3,5. Volume material tersebut melebihi volume seluruh kubah lava yang ada di puncak Merapi pasca letusan besar tahun 1872. Sehingga hampir dapat dipastikan seluruh kubah lava yang ada telah hancur dalam letusan ini dan sifat letusan kini dikendalikan sepenuhnya oleh pasokan langsung magma segar (juvenil) dari dapur magma Merapi. Hampir dapat dipastikan pula kini di puncak Merapi terdapat kawah menganga yang terbuka seperti halnya yang dimiliki Gunung Semeru maupun Gunung Agung. Perkembangan ini memaksa BPPTK meluaskan radius zona aman, dari yang semula minimal 15 km menjadi minimal 20 km dari puncak. Radius zona aman diperluas mengingat semalam awan panas meluncur jauh menempuh jarak 17 km hingga menghancurkan desa Argomulyo di Cangkringan (Sleman) serta desa-desa si sepanjang aliran Sungai Gendol, merenggut puluhan korban jiwa. Dengan perluasan radius zona aman tersebut, maka kota Yogyakarta yang berjarak hanya 7 km dari puncak Merapi kini tepat berada di ambang pintu zona aman. Semoga tidak terjadi perkembangan yang lebih dramatis lagi, mengingat jika kota besar ini masuk ke zona bahaya, sulit sekali untuk memperkirakan kekacauan dan kepanikan yang akan terjadi. Belum jika kota-kota disekitarnya seperti Sleman (21 km dari Merapi) dan Klaten (26 km dari Merapi) turut diperhitungkan. Sebagai gambaran, perluasan zona aman dari semula 10 km menjadi 15 km saja telah menyebabkan jumlah pengungsi menanjak hingga tiga kali lipat. [caption id="attachment_315820" align="alignnone" width="300" caption="Radius zona aman letusan Merapi 2010 (lingkaran bertanda 20) dibandingkan dengan posisi kota Yogyakarta, Sleman dan Klaten. Sumber : Ma'rufin, 2010"][/caption] Rentetan letusan tak terputus sejak 3 hingga 5 November ini, yang mencapai puncaknya pada 5 November dinihari tadi, terjadi hanya berselang 36 jam menjelang konjungsi antara Bulan dan Matahari, dimana posisi Bulan, Bumi dan Matahari tepat sejajar dalam garis syzygy-nya dengan Bulan berada di tengah-tengah. Konjungsi itu sendiri baru akan terjadi pada Sabtu 6 November pukul 11:51 WIB. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa faktor astronomik ini, yang selama ini secara temporal pun diyakini sebagai salah satu faktor pemicu kejadian gempa, merupakan salah satu faktor pemicu yang turut memperbesar letusan Merapi. [caption id="attachment_315823" align="alignnone" width="266" caption="Gambaran konfigurasi posisi Bulan, Bumi dan Matahari saat konjungtsi (atas) dan purnama (bawah). Letusan Merapi semalam terjadi hanya 36 jam jelang konjungsi. Sumber : Ma'rufin, 2010"][/caption] Ini tentu perlu dikaji lebih lanjut. Namun setidaknya, kini kita bisa mengetahui, ketika sebuah gunung api sedang kritis, waspadailah saat-saat Bulan sedang dalam kondisi konjungsi maupun purnama. Haraldur Sirgudsson -vulkanolog legendaris- dalam Encyclopedia Britannica menuturkan, memang terdapat kecenderungan letusan gunung berapi banyak terjadi saat Bulan purnama. Baik pada kondisi konjungsi maupun purnama, konfigurasi posisi Bulan, Bumi dan Matahari sebenarnya sama sehingga pernyataan Sigurdsson tersebut bisa diperluas hingga posisi konjungsi. Duh Gusti, mugi-mugi ujian ini cepat berakhir... Catatan : matur nuwun untuk mas Agus Hendratno, pak Daryono dan mas Fahrudin atas info-infonya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H