Mohon tunggu...
Muh Ma'rufin Sudibyo
Muh Ma'rufin Sudibyo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Langit dan Bumi sahabat kami. http://ekliptika.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Nature

Andai Peringatan (Tsunami) Itu Tidak Dicabut...

4 November 2010   08:31 Diperbarui: 5 Juli 2015   14:27 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semua memang sudah terjadi. Namun mari sedikit berandai-andai. Apabila BMKG pada 25 Oktober 2010 pukul 23:00 WIB lalu tidak mengakhiri amaran (peringatan) potensi adanya tsunami akibat gempa kuat yang mengguncang Kepulauan Mentawai pada pukul 21:47 WIB, apakah akan ada banyak jiwa yang akan terselamatkan? Jawabannya: sayangnya, tidak (!) Musababnya, ada mata rantai yang hilang khususnya di hilir sehingga sepanjang apapun durasi amaran diudarakan BMKG, amaran hanya bergema di ruang maya tanpa diikuti bisa diikuti implementasi nyata yang berpengaruh terhadap Kepulauan Mentawai.

Bahwasanya Kepulauan Mentawai merupakan 'sarang' dari gempa-gempa besar sebenarnya sudah diketahui sepanjang satu dekade terakhir. Dua dekade silam, sebuah kampanye penelitian potensi kegempaan di sepanjang pesisir barat Sumatra yang bertajuk GPS-GPS (Global Positioning Systems - Geodynamic Project in Sumatra) berhasil mengungkap karakteristik tektonik setempat dan mendeduksi adanya sistem patahan besar Mentawai, sebuah sistem patahan besar sepanjang +/- 1.000 km yang membujur sejajar patahan besar Sumatra di daratan, namun melintas di dasar laut di sebelah timur Mentawai. GPS-GPS kemudian dilanjutkan dengan SuGAR (Sumatran GPS Array) di bawah koordinasi LIPI dengan Division Geology and Planetary Sciences California Institute of Technology. Hasilnya diidentifikasi potensi sumber-sumber kegempaan di zona subduksi yang tersegmentasi menjadi sejumlah sumber potensial. Dan sumber paling menonjol adalah segmen Kepulauan Mentawai, yang terakhir kali terpatahkan pada 1833 silam dan kini ditengarai sudah berada di ujung siklus seismiknya, siap menggetarkan dunia dengan magnitude 9,0 skala Magnitudo-nya alias setara dengan gempa besar yang mengguncang ujung utara Pulau Sumatra di akhir 2004 lalu.

Pengungkapan potensi kegempaan ini, seyogyanya kemudian ditindaklanjuti dengan penyusunan tindakan antisipatif mengingat kapan waktu persisnya gempa terjadi belum ada yang sanggup menduga secara eksak lewat ketelitian yang tinggi. Tindakan antisipatif mencakup antisipasi hulu dan hilir. Pada tingkat hulu, dibutuhkan lembaga yang berwenang untuk meneliti, menganalisis data dan menyimpulkan tingkat keparahan yang bakal muncul dari gempa yang berasal dari sebuah sumber. Sementara di tingkat hilir, hasil analisis tersebut harus disampaikan secara cepat ke masyarakat khususnya yang berpotensi terpapar lewat instrumen-instrumen peringatan dini.

Sayangnya, tidak satupun rezim yang pernah berkuasa, baik Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati maupun SBY yang menempatkan antisipasi bencana khususnya gempa dan tsunami sebagai sebuah prioritas berskala luas dan menjadi 'tujuan' nasional. Tak ada di antara mereka yang memiliki visi sejernih John F. Kennedy setengah abad silam, yang secara tegas menggariskan bahwa 'tujuan nasional' bangsa Amerika yang baru adalah menjejakkan kaki ke Bulan menggunakan teknologi sendiri. Antisipasi gempa dan tsunami, demikian pula dengan bencana geologi lainnya secara umum, hanyalah program kosmetik yang dijalankan alakadarnya.

Sehingga tidak mengherankan, kalau untuk memantau wilayah seluas Jawa Tengah misalnya, hanya tersedia stasiun seismograf di Baturaden, Dieng dan Yogyakarta. Padahal jumlah sumber gempa potensial yang harus diamati disini bejibun, baik di darat maupun di dasar laut. Demikian juga dengan tsunami-buoy yang khusus dibangun untuk mendeteksi riak samudra tatkala tsunami menggelora. Sementara instrumen-instrumen peringatan dini seperti menara sirene yang seharusnya dibangun rapat di sepanjang garis pantai hanya bisa dijumpai di lokasi tertentu seperti di kawasan pantai NAD dan Sumatra Utara. Jangan bandingkan situasi ini dengan pemantauan gempa di mancanegara. Untuk memantau patahan San Andreas saja di California, segala cara yang dianggap memungkinkan diterapkan mulai dari memasang kawat melintang langsung di atas garis patahan hingga memasang sepasang teleskop radio di kedua sisi yang berseberangan untuk memanfaatkan sinyal pulsar jauh. Gempa dan tsunami dahsyat akhir 2004 memang sempat membangkitkan kekagetan dan kesadaran. Namun meminjam kata-kata Chairil Anwar, kesadaran itu hanya sekali berarti, sesudah itu mati (kembali).

Sebagai sumber gempa potensial yang amat dikhawatirkan para ilmuwan pergempaan dan kebencanaan, tidak hanya di Indonesia namun mancanegara mengingat dampak yang ditimbulkannya berpotensi bakal menerjang pesisir Asia dan Afrika, Kepulauan Mentawai tidak disiapkan untuk mengantisipasinya secara massif. Tidak dijumpai menara sirene peringatan dini tsunami di sini, demikian pula tidak dijumpai jalur-jalur khusus yang dirancang untuk evakuasi spontan tatkala tsunami menerjang. Sementara pendidikan siaga kebencanaan kepada masyarakat pun relatif belum terlaksana. Akibatnya, secepat apapun BMKG menyampaikan amaran, yang dalam kasus gempa dan tsunami 25 Oktober lalu sudah diudarakan hanya 5 menit pasca guncangan gempa utama (sebuah rekor tersendiri dalam seismologi), amaran tersebut hanya mengambang di dunia maya tanpa sempat tersampaikan secara nyata ke masyarakat. Dan terjadilah, dalam 15 menit pasca gempa, gelombang itu menggulung semuanya.

Mentawai 2010 seakan mengulang kembali Pangandaran 2006, dimana amaran pun sempat diudarakan (waktu itu via Badan Meteorologi Jepang atau JMA), namun ketiadaan sarana peringatan dini di kawasan pantai selatan Pulau Jawa (padahal ini adalah pulau dimana ibukota negara berada) membuat amaran menjadi sia-sia belaka.

Inilah saatnya menggugat kepedulian yang amat minimal dari administrasi pemerintahan saat ini. Apa sih susahnya menegakkan menara-menara sirene peringatan dini, mengingat setiap tahunnya Indonesia diguncang 4.000-an gempa tektonik dengan 100 di antaranya tergolong kuat dan merusak serta berpotensi menghasilkan tsunami? Dana untuk mendirikan fasilitas-fasilitas macam itu jauh lebih kecil dibanding puluhan trilyun yang dihambur-hamburkan pejabat dan anggota dewan yang terhormat setiap tahunnya untuk rekreasi masturbatif bertajuk studi banding, yang 90 % hasilnya mubazir.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun