Mohon tunggu...
Muh Ma'rufin Sudibyo
Muh Ma'rufin Sudibyo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Langit dan Bumi sahabat kami. http://ekliptika.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Idul Fitri 1433 H (2012) dan Hilaal yang Tak Begitu Kita Pahami (Hikayat Anak Bulan di Kaki Langit Bagian 4)

18 Agustus 2012   06:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:35 1324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiap menjelang hari raya Idul Fitri, selain disibukkan dengan urusan mudik dan melonjaknya harga-harga barang yang berujung pada peningkatan inflasi, kita juga disibukkan dengan pertanyaan klasik: kapan hari raya itu terjadi khususnya bila disetarakan dengan kalender Gregorian (Masehi) yang lebih familiar dalam pengaturan kehidupan keseharian kita? Secara faktual, dalam urusan penentuan awal bulan Hijriyyah maka Umat Islam Indonesia terbagi dalam dua kelompok utama yang berbeda pandangan, disamping sejumlah kelompok minor lainnya. Dua kelompok utama tersebut adalah kelompok wujudul hilaal (yang melandaskan keputusannya pada hisab hakiki berbasis "kriteria" wujudul hilaal) dan imkan rukyat (yang mendasarkan keputusannya pada hisab hakiki berbasis "kriteria" imkan rukyat dengan ditopang data-data hasil rukyat). Karena berbeda kriteria, tak jarang penetapan awal bulan Hijriyyah di antara keduanya pun berjalan secara berbeda, seperti terlihat dalam mengawali Ramadhan 1433 H ini. Walaupun sudah dianggap biasa di kalangan Umat Islam Indonesia, dalam sejumlah kasus tak jarang perbedaan tersebut berimplikasi pada eksplosivitas di permukaan publik. Kasus hari raya kembar dalam Idul Fitri 1432 H tahun lalu mendemonstrasikan betapa perbedaan dalam penetapan hari raya justru berujung pada terjadinya disharmoni, seiring munculnya perasaan tak nyaman, saling menyalahkan serta saling mencari pembenaran atas keputusan masing-masing. Pada akhirnya makna Idul Fitri sebagai hari dimana manusia saling memaafkan antara yang satu dengan yang lainnya dalam konteks hubungan antar manusia pun tereduksi sampai ke titik yang cukup dalam. Di bawah bayang-bayang situasi demikian, bagaimanakah 'nasib' Idul Fitri 1433 H kali ini? Elemen Bulan Ijtima’ atau konjungsi Bulan-Matahari, yakni peristiwa unik saat Matahari dan Bulan menempati satu garis bujur ekliptika yang sama dalam tata koordinat langit, akan terjadi pada Jumat 17 Agustus 2012 menjelang tengah malam, yakni pada pukul 22:54 WIB. Dengan demikian berdasarkan perspektif astronomi, melakukan evaluasi terhadap elemen Bulan pada saat Matahari terbenam di hari Jumat 17 Agustus 2012 adalah tidak bermakna karena konjungsi Bulan-Matahari saja belum terjadi. Evaluasi tersebut hanya bisa diberlakukan pada Sabtu 18 Agustus 2012 saat matahari terbenam, yang mencakup elemen tinggi Bulan, Lag Bulan, umur Bulan dan elongasi Bulan-Matahari. [caption id="attachment_207446" align="alignnone" width="634" caption="Gambar 1. Peta tinggi Bulan saat Matahari terbenam pada Sabtu 18 Agustus 2012 secara global. Daerah berarsir (di antara tinggi Bulan 4 dan 10 derajat) pada kawasan di antara garis lintang 12 LU hingga 12 LS adalah daerah dimana Bulan telah berstatus hilaal. Di sisi barat daerah berarsir ini adalah daerah dimana Bulan telah mencapai status Bulan sabit. Sumber : Sudibyo, 2012 dengan modifikasi dari BMKG, 2012. "][/caption] Pada Sabtu 18 Agustus 2012 saat Matahari terbenam, tinggi Bulan di seluruh penjuru Indonesia bervariasi antara +4,6 derajat hingga +7,0 derajat, dengan tinggi Bulan terkoreksi antara +4,35 derajat hingga +6,75 derajat (tinggi Bulan terkoreksi = tinggi Bulan - 0,25). Lag Bulan, yakni keterlambatan terbenamnya Bulan terhadap terbenamnya Matahari, juga bervariasi mulai dari +22 menit hingga +32 menit. Khusus untuk tinggi Bulan dan Lag Bulan, pola distribusinya adalah mirip yakni nilai terkecil terjadi di Jayapura (Papua) untuk kemudian terus meningkat besarannya ke arah barat daya sehingga mencapai nilai terbesarnya di sekitar pesisir Pelabuhan Ratu (Jawa Barat). Pola distribusi ini sekaligus membantah persepsi umum yang selama ini beredar dimana makin ke bagian barat Indonesia maka tinggi Bulan kian besar, karena faktanya ternyata tidak demikian. Umur Bulan, yakni selisih waktu sejak terjadinya konjungsi Bulan-Matahari hingga saat Matahari terbenam pada setiap titik di segenap penjuru Indonesia, juga bervariasi mulai dari +16,7 jam hingga +19,9 jam. Dan elongasi Bulan-Matahari, yakni jarak busur/sudut di antara pusat cakram Bulan dan pusat cakram Matahari dilihat dari permukaan Bumi pada semua titik di segenap penjuru Indonesia, pun bervariasi antara +9,4 derajat hingga +11,0 derajat. Berkebalikan dengan pola distribusi tinggi dan Lag Bulan, pola distribusi elemen umur Bulan dan elongasi Bulan-Matahari adalah juga mirip namun dengan nilai terkecil terdapat di Merauke (Papua) untuk kemudian terus meningkat besarannya ke arah barat laut sehingga mencapai nilai tertinggi di pesisir Lhoknga (Aceh). Dengan elemen demikian, maka analisisnya sederhana saja. Bagi kelompok yang mendasarkan diri pada "kriteria" wujudul hilaal, 29 Ramadhan 1433 H bertepatan dengan Jumat 17 Agustus 2012. Dan pada saat Matahari terbenam pada 17 Agustus 2012 itu, syarat wujudul hilaal (yakni Lag Bulan > 0 menit) belum terpenuhi karena konjungsi Bulan-Matahari saja belum terjadi. Maka bagi kelompok ini, Idul Fitri 1433 H akan bertepatan dengan Minggu 19 Agustus 2012. Sementara bagi kelompok imkan rukyat, 29 Ramadhan 1433 H bertepatan dengan Sabtu 18 Agustus 2012. Dengan demikian evaluasi elemen Bulan dilaksanakan pada 18 Agustus 2012 saat Matahari terbenam. Syarat "kriteria" imkan rukyat (yakni imkan rukyat hasil revisi 2011) bagi awal bulan Hijriyyah adalah salah satu dari dua postulat berikut: tinggi Bulan terkoreksi > 2 derajat dan umur Bulan > 8 jam, atau tinggi Bulan terkoreksi > 2 derajat dan elongasi Bulan-Matahari > 3 derajat (tinggi Bulan terkoreksi 2 derajat = tinggi Bulan 2,25 derajat). Jika syarat ini dibandingkan dengan elemen Bulan pada saat Matahari terbenam 18 Agustus 2012 di segenap penjuru Indonesia, nampak jelas bahwa seluruh syarat tersebut terpenuhi. Sehingga, meski kepastiannya tetap menanti data-data rukyat dari segenap penjuru Indonesia, “kriteria” imkan rukyat mengindikasikan Idul Fitri 1433 H juga akan berlangsung pada Minggu 19 Agustus 2012. Kesamaan ini menyebabkan Idul Fitri 1433 H akan dilangsungkan pada saat yang sama di Indonesia, yakni Minggu 19 Agustus 2012. Namun harus digarisbawahi, kebersamaan dalam Idul Fitri 1433 H ini ini bukan akibat telah adanya kalender Hijriyyah tunggal di Indonesia atau telah terjadinya kesepakatan bersama di antara para pihak terkait, sebab kebersamaan itu semata merupakan sebuah anugerah, sebuah kebetulan yang terjadi akibat elemen Bulan sedemikian rupa sehingga membuka kemungkinan untuk kebersamaan itu. Apa itu Hilaal ? Perbedaan di Indonesia dalam hal penetapan awal bulan Hijriyyah pada umumnya dan hari raya Idul Fitri pada khususnya selama ini dipersepsikan sebagai perbedaan antara hisab (perhitungan posisi Bulan dan Matahari) dengan rukyat (observasi sabit Bulan pasca konjungsi). Namun analisis komparatif memperlihatkan perbedaan sebenarnya disebabkan faktor di luar kedua hal itu, yakni perbedaan dalam mendefinisikan atau mengambil pengertian tentang hilaal. Sebagai konsekuensinya maka kriteria hilaal, yakni derivasi langsung dari definisi hilaal, pun berbeda. Maka perbedaan dalam mendefinisikan hilaal secara otomatis bakal berujung pada perbedaan penetapan awal bulan Hijriyyah khususnya hari raya Idul Fitri, meskipun kedua belah pihak menghitung dengan rumus algoritma posisi Bulan-Matahari yang sama persis dan demikian pula dengan lokasi perhitungannya yang juga sama persis. [caption id="attachment_207447" align="alignnone" width="330" caption="Gambar 2. Ilustrasi bagaimana pengaruh besar kecilnya nilai kontras terhadap keterlihatan sebuah obyek berbentuk lingkaran. Meski tebal lingkarannya sama, namun karena A memiliki kontras lebih rendah dibanding B, maka lingkaran A nampak lebih tipis dan lebih kabur dibanding lingkaran B. Sumber : Sudibyo, 2012. "]

1345270826474137219
1345270826474137219
[/caption] Apa itu hilaal? Secara bahasa, kita menyebutnya Bulan sabit tertipis/termuda yang berwujud lengkungan setipis benang. Dari definisi ini, jelas terdapat perbedaan mendasar antara hilaal dengan Bulan sabit. Hilaal hanya muncul pada saat tertentu sehingga bisa dijadikan patokan dalam memulai awal bulan Hijriyyah yang baru dalam sistem kalender Hijriyyah yang digunakan Umat Islam yang merupakan kalender lunar murni (murni berdasarkan peredaran Bulan). Sebaliknya Bulan sabit muncul setelah fase hilaal terlewati dan dapat berlangsung selama berhari-hari kemudian hingga mencapai posisi Bulan separuh (dimana separuh cakram Bulan tersinari Matahari jika dilihat dari Bumi). Namun dalam praktiknya, derivasi definisi hilaal yang pada saat ini tidak bisa membedakan status hilaal dengan status Bulan sabit, baik menggunakan "kriteria" wujudul hilaal maupun imkan rukyat. Masalah lainnya yang lebih pelik adalah kedua definisi tersebut sama-sama berdasarkan asumsi belaka sehingga merupakan definisi asumtif yang tak ditopang data ilmiah pendukung, khususnya data empirik. Definisi hilaal menurut imkan rukyat misalnya, adalah definisi asumtif yang validitasnya sangat diragukan karena merujuk situasi 29 Juni 1984 pasca terbenamnya Matahari dimana perukyat saat itu sangat boleh jadi keliru dalam mengidentifikasi sekaligus kekurangan pengetahuan astronomis dasar khususnya dalam hal posisi planet-planet tata surya kita, sehingga Venus (yang kala itu ada di ketinggian rendah di langit barat) pun keliru disangka sebagai hilaal. Pun demikian dengan wujudul hilaal yang juga asumtif dan bertolak belakang kala disandingkan dengan data observasi fotografis terkini dimana sabit Bulan tertipis muncul secara terus-menerus tanpa pernah lenyap baik pada saat pra konjungsi, konjungsi maupun pasca konjungsi. Kedua definisi tersebut juga tidak bisa memecahkan problema: apa yang membuat hilaal berbeda dengan Bulan sabit? Sehingga posisi Bulan yang sudah cukup tinggi di langit pasca Matahari terbenam pada 24 jam setelah wujudul hilaal/imkan rukyat menetapkan suatu awal bulan Hijriyyah, maka situasi Bulan pada saat itu hanya dianggap sebagai situasi tanggal 2 Hijriyyah tanpa bisa ditetapkan apakah Bulan pada saat itu masih berstatus hilaal ataukah sudah bersalin rupa menjadi Bulan sabit. Kerancuan dalam membedakan hilaal dengan Bulan sabit amat fatal, sebab jika hilaal dianggap tak berbeda dengan Bulan sabit, maka penentuan tanggal 1 Hijriyyah bisa mulur hingga 8 hari. Artinya, jika tak bisa membedakan Bulan sabit dengan hilaal, maka dalam kasus Idul Fitri 1433 H ini, siapapun yang melaksanakan shalat Id dan mengakhiri puasa Ramadhan 1433 H pada tanggal-tanggal Masehi di antara tanggal 19 hingga 26 Agustus 2012 adalah sah, karena status Bulan sabit disandang Bulan hingga 26 Agustus 2012 mendatang. Definisi memang ranah ijtihadiyah. Namun alangkah baiknya bila mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan terkait di masa kini sehingga pada gilirannya akan terbentuk suatu definisi komprehensif yang bakal membuahkan sebuah kriteria hilaal yang berterima baik secara ilmiah maupun syariah. Hal semacam ini sebenarnya telah digariskan Rasulullah SAW 14 abad silam. Cara termudah guna mendefinisikan hilaal sekaligus menarik garis batas yang tegas antara Bulan sabit dan hilaal adalah dengan keterlihatan (visibilitas). Dalam perspektif astronomis, keterlihatan merupakan parameter fisis, sehingga hilaal adalah Bulan yang sudah terlihat mata pasca terbenamnya Matahari setelah terjadinya konjungsi Bulan-Matahari. Dengan demikian parameter fisis yang membatasi hilaal pun dapat ditegakkan, yang terdiri dari dua: parameter minimum dan parameter maksimum. Parameter minimum menegakkan batas yang tegas antara hilaal dengan Bulan pasca konjungsi (Bulan gelap). Sementara parameter maksimum menegakkan batas antara hilaal dengan Bulan sabit. Dengan demikian parameter minimum bagi hilaal adalah saat Bulan sudah terlihat pasca terbenamnya Matahari. Sementara parameter maksimumnya adalah saat Bulan terlihat tepat pada saat terbenamnya Matahari. Penggunaan parameter minimum dan maksimum sebenarnya telah dilakukan dalam waktu shalat, yang juga berdasarkan pada parameter fisis, yakni posisi tertentu Matahari. Dalam hal waktu Maghrib misalnya, parameter fisis minimumnya adalah saat Matahari terbenam sementara parameter fisis maksimumnya adalah saat cahaya senja (syafaq al-ahmar) sudah menghilang dari langit barat. Parameter minimum Maghrib kemudian diterjemahkan menjadi tinggi Matahari = -1 derajat yang selanjutnya dikonversikan ke dalam waktu sipil berdasarkan sistem waktu universal (UT). Demikian halnya parameter maksimum Maghrib, yang diterjemahkan sebagai tinggi Matahari = -20 derajat dan selanjutnya juga dikonversikan menjadi waktu sipil. Definisi yang tegas semacam ini membuat kita dengan mudah mampu membedakan kapan waktu 'Ashar, Maghrib dan Isya' meskipun ketiga waktu shalat tersebut letaknya berdampingan dan berurutan tanpa jeda. Sebelum Matahari terbenam (sebelum parameter minimum Maghrib terpenuhi), maka itu masih menjadi bagian dari waktu 'Ashar. Sebaliknya setelah cahaya senja menghilang (setelah parameter maksimum Maghrib terlewati) maka itu merupakan bagian dari waktu Isya'. Maka, entah dihitung secara teliti (dihisab) maupun dibandingkan dengan hasil observasi (rukyat), akan dijumpai waktu Maghrib yang tepat sama tanpa terkecuali untuk satu titik di permukaan Bumi. Tawaran Solusi Bagaimana parameter fisis untuk hilaal? Dengan basis keterlihatan dan merujuk rangkaian riset sejak 1976 hingga kini, maka dinamika sabit Bulan sangat dipengaruhi tiga faktor: posisi Bulan-Matahari, sifat optis atmosfer dan keterbatasan resolusi mata manusia/alat optik. Secara simultan ketiga faktor itu mengerucut pada satu hal yang disebut kontras Bulan. Kontras Bulan adalah rasio antara intensitas cahaya dari Bulan terhadap intensitas cahaya senja yang melingkupinya dalam spektrum cahaya tampak (visual). Parameter minimum hilaal adalah saat kontras Bulan lebih besar dibanding ambang batas kontras bagi mata yang terjadi beberapa saat setelah terbenamnya Matahari. Sementara parameter maksimum hilaal adalah saat kontras Bulan lebih besar dibanding ambang batas kontras bagi mata yang terjadi tepat pada saat terbenamnya Matahari. [caption id="attachment_207449" align="alignnone" width="558" caption="Gambar 3. Posisi Bulan terhadap Matahari pada saat Matahari terbenam pada 18 Agustus 2012 untuk Yogyakarta. Garis putus-putus menunjukkan batas kriteria RHI. Nampak Bulan sudah memiliki tinggi positif dan lebih besar dibanding nilai aD pada selisih azimuth Bulan-Matahari yang ditempati Bulan saat itu. Sumber : Sudibyo, 2012. "]
13452711861405107009
13452711861405107009
[/caption] Apakah kontras Bulan bisa bernilai lebih kecil dibanding ambang batas kontras bagi mata, khususnya dalam beberapa saat setelah terbenamnya Matahari? Bisa. Itu bukan hal yang aneh. Meski telah terjadi konjungsi dan saat Matahari terbenam Bulan sudah ada di atas horizon, belum tentu nilai kontras Bulan-nya telah melampaui ambang batas kontras bagi mata. Ada dua hal yang menyebabkannya. Pertama, intensitas cahaya Bulan masih lebih kecil dibanding intensitas cahaya senja. Dan yang kedua, intensitas cahaya Bulan sudah melampaui intensitas cahaya senja, namun selisihnya masih cukup kecil sehingga nilai kontras Bulan-nya belum melampaui nilai ambang batas kontras mata. Penggunaan nilai kontras sebenarnya bukan hal yang baru dalam astronomi. Semua benda langit lainnya, entah benda langit alami seperti bintang, planet dan komet hingga benda langit buatan seperti satelit berukuran besar (misalnya teleskop antariksa Hubble) maupun stasiun antariksa (misalnya stasiun antariksa internasional/ISS maupun stasiun Tiangong-1 milik Cina), akan terlihat ketika langit masih terang akibat cahaya senja meski Matahari sudah terbenam jika nilai kontrasnya sudah lebih besar dari ambang batas. Definisi hilaal berdasarkan parameter fisis nilai kontras ini relatif sederhana dan mudah dioperasionalkan dari sisi astronomi. Meski praktiknya memang lebih rumit, karena tidak hanya sekedar menghitung posisi Bulan dan Matahari, kita juga harus menghitung nilai intensitas cahaya Bulan, intensitas cahaya senja (yang terjadi akibat terhamburnya sinar Matahari oleh partikel-partikel debu dan uap air di atmosfer Bumi) dan nilai kontras. Namun terdapat derivasi empiris yang sederhana, yang hanya dinyatakan dalam posisi Bulan dan Matahari tertentu namun telah mencakup faktor-faktor sifat optis atmosfer Bumi dan ambang batas resolusi mata manusia. Derivasi tersebut dikenal sebagai kriteria visibilitas, yang berupa persamaan matematis pembatas. Kriteria visibilitas inilah yang seyogyanya dijadikan basis dalam melakukan hisab sekaligus menjadi filter dalam pelaksanaan rukyat. Kriteria visibilitas modern berkembang sejak 1976 di tengah kemajuan teknologi observasi. Saat ini teleskop tidak hanya menjadi milik ekslusif lembaga-lembaga astronomi, karena lembaga pendidikan, lembaga swadaya nirlaba dan bahkan perorangan pun telah memilikinya. Teleskop berkualitas bagus kini relatif kompak sehingga mudah dibawa kemana-mana dan telah bersistem otomatis sehingga mampu mengikuti gerak benda langit yang dibidiknya tanpa perlu campur tangan manusia secara manual. Teknologi fotografi juga berkembang pesat, sehingga anak Bulan kini bisa difoto dan direkam secara elektronik, yang mudah disebarluaskan lewat media. Dengan semua perkembangan ini, data-data rukyat modern pun telah diperoleh dan membentuk basis data visibilitas baik global maupun lokal. Basis data semacam itulah yang digunakan Audah (2004). Memanfaatkan basis data ICOP, yang dikumpulkan secara konsisten sejak 1998 hingga 2004 di seluruh penjuru Bumi sehingga menghasilkan 737 data rukyat, maka Audah mengusulkan kriteria visibilitasnya V = aD-(-0,1018*W*W*W + 0,7319*W*W-6,3226*W + 7,1651). Bagi Audah, Bulan bukanlah hilaal jika V < -0,96 sementara hilaal bisa dilihat dengan mudah lewat mata tanpa bantuan alat optik apapun jika V > 5,65. Dalam kriteria ini, variabel W adalah lebar sabit tertebal Bulan (dalam menit busur) sementara aD adalah selisih tinggi Bulan dan Matahari secara toposentrik dan airless (dalam derajat). Sementara di Indonesia, data observasi juga telah terhimpun dalam Basis Data Visibilitas Indonesia (BDVI) yang diakuisisi oleh jaringan Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) selama lima tahun terakhir, yang hingga 2009 telah terhimpun sebanyak 174 data. Dari data tersebut juga telah tersusun sebuah kriteria visibilitas regional yang disebut kriteria RHI dengan bentuk : aD >  0,099*DAz*DAz - 1,490*DAz + 10,382 dimana DAz + selisih azimuth Bulan-Matahari. Kriteria RHI pada dasarnya adalah sebuah kasus khusus dalam kriteria Audah sama dan identik dengan kriteria Audah namun hanya berlaku bagi kawasan tropis. Dari BDVI juga dapat diketahui bahwa parameter maksimum hilaal adalah saat aD = 10 derajat. Bagaimana implementasinya? Berdasarkan kriteria RHI, maka hilaal adalah saat Bulan memiliki nilai tinggi Bulan di antara parameter minimum aD = 0,099*DAz*DAz - 1,490*DAz + 10,382 hingga parameter maksimum aD = 10 derajat. Bila diimplementasikan bagi Yogyakarta pada Sabtu 18 Agustus 2012,, maka pada saat itu tinggi Bulan sudah 7,8 derajat dengan selisih azimuth Bulan-Matahari 4,4 derajat. Jika dihitung pada selisih azimuth Bulan-Matahari tersebut, maka nilai parameter minimum aD adalah 5,6 derajat. Sementara parameter maksimum aD adalah 10 derajat. Dengan demikian tinggi Bulan saat itu ada di antara parameter minimum dan maksimum bagi hilaal, sehingga bagi Yogyakarta pada Sabtu 18 Agustus 2012 saat matahari terbenam, Bulan sudah berstatus hilaal. Situasi demikian juga bisa dijumpai pada segenap titik di seluruh penjuru Indonesia. Namun dengan lengkungan sabit Bulan hanya 40 derajat, hilaal hanya bisa disaksikan dengan bantuan alat optik (teleskop/binokuler). [caption id="attachment_207450" align="alignnone" width="341" caption="Gambar 4. Foto hitam putih hilaal pada 20 Juni 2012 (1 Syaban 1433 H) dari lokasi observasi Pondok Bali, Subang (Jabar). Nampak lengkungan sabit Bulan yang amat tipis di antara awan. Bentuk hilaal pada 18 Agustus 2012 pasca terbenamnya Matahari di segenap penjuru Indonesia bakal menyerupai ini. Sumber : Observatorium Bosscha, 2012. "]
134527141179103327
134527141179103327
[/caption] Catatan : Dinukil dari Majalah elektronik Bima Sakti edisi 2/2012 dan harian Suara Merdeka 13 Agustus 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun