Mohon tunggu...
Muh Ma'rufin Sudibyo
Muh Ma'rufin Sudibyo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Langit dan Bumi sahabat kami. http://ekliptika.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bila Masjid Nabawi dan Quba' Tidak Menghadap Ka'bah

17 Juli 2012   03:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:53 6871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak yang terperangah mendengarnya, khususnya Umat Islam. Betapa tidak. Masjid Nabawi dan Masjid Quba' menempati posisi amat sentral dalam peradaban Islam. Keduanya dibangun lewat sentuhan langsung tangan Rasulullah SAW, dengan masjid Quba' dibangun lebih dulu. Keduanya memainkan peran besar dalam sejarah peradaban Islam. Keduanya juga menempati posisi istimewa. Shalat di dalam Masjid Nabawi mengandung pahala yang setara dengan 1.000 kali lipat shalat di masjid lainnya (kecuali untuk Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha). Sementara shalat di Masjid Quba' mengandung pahala yang setara dengan ibadah umrah. [caption id="attachment_200937" align="alignleft" width="300" caption="Masjid Quba masa kini. Sumber : Sudibyo, 2012."][/caption] Jadi, bagaimana bisa kedua masjid tersebut tidak menghadap Ka'bah ? Problem tersebut mulai mengemuka saat aplikasi teknologi penginderaan jauh (remote sensing) mulai menyentuh ranah publik, khususnya tatkala raksasa informasi Google mulai memperkenalkan basis data citra satelit segenap penjuru permukaan Bumi dalam resolusi tertentu pada spektrum cahaya visual. Lahirlah program Google Earth dan laman Google Maps. Kelahiran keduanya mendorong pengenalan rupabumi di kawasan yang kita inginkan dengan lebih baik dan lebih membumi, yang salah satunya mendorong kita untuk mencek kembali posisi koordinat tempat-tempat penting tertentu. Termasuk koordinat Ka'bah di Makkah serta Masjid Nabawi dan Masjid Quba' di Madinah. Lewat Google Earth pula, dan turunan laman Google Maps seperti misalnya Qibla Locator, maka kita mampu menarik langsung garis lurus penghubung Ka'bah dengan tempat-tempat tertentu yang kita kehendaki di suatu tempat. Kita bisa menamakan garis ini sebagai garis arah hadap Ka'bah. Kejutan muncul tatkala hal ini diimplementasikan bagi Masjid Nabawi dan Masjid Quba'. Masjid Nabawi, khususnya bangunan baru hasil perluasan, ternyata membentuk sudut terhadap garis arah hadap Ka'bah sebesar 4 derajat. Kasus lebih ekstrem dijumpai pada Masjid Quba'. Bangunan Masjid Quba' ternyata membentuk sudut sebesar 7,5 derajat terhadap garis arah hadap Ka'bah. Dengan kata lain kedua masjid ini ternyata tidak menghadap langsung ke Ka'bah. [caption id="attachment_200943" align="alignnone" width="496" caption="Masjid Quba berdasarkan citra Google Earth. Panah putih menunjukkan arah bangunan Masjid. Panah hitam menunjukkan arah ke Ka"]

13424930421426916671
13424930421426916671
[/caption] Seberapa besar pergeserannya? Di sini kita perlu memperhatikan terminologi jarak Ka'bah, yakni jarak terpendek antara suatu titik dengan Ka'bah dalam perspektif geometri Bumi. Jarak Ka'bah amat penting guna mendeduksi ke koordinat mana suatu masjid menghadap (yang disebut titik simpang) dan berapa besar jarak koordinat tersebut dengan Ka'bah. Dalam kasus Masjid Nabawi, jarak Ka'bah adalah sebesar 339 km dengan titik simpang berada di dekat pilar Hudaibiyah (batas tanah haram Makkah sisi barat). Sementara dalam kasus Masjid Quba', jarak Ka'bahnya adalah 336 km dengan titik simpang berdekatan dengan kota Jeddah atau sudah jauh di luar pilar tanah haram Makkah. Jarak antara titik simpang Masjid Quba' dengan Ka'bah adalah 45 km. Redefinisi Konsep Kiblat Dengan jarak simpang demikian besar khususnya bagi Masjid Quba', apakah bisa dikatakan kalau Masjid Quba' (dan juga Masjid Nabawi) tidak menghadap kiblat? Pertanyaan tersebut sebenarnya tidak perlu mengemuka jika kita melihat kembali bagaimana Masjid Nabawi dan Masjid Quba' berdiri. Keduanya merupakan bangunan masjid yang pembangunan langsung dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Kedua masjid juga mengalami periode pemindahan kiblat, dari semula ke Baitul Maqdis menjadi ke Baitullah (Ka'bah). Dalam proses pemindahan kiblat tersebut, arah masjid yang baru ditetapkan sendiri oleh Rasulullah SAW. Dalam sejumlah riwayat, penetapan arah kiblat yang baru itu dibantu pula oleh malaikat Jibril. Segala perkataan, persepakatan dan tindakan Rasulullah SAW, baik yang terucap maupun tak terucap, pada dasarnya adalah sumber hukum Islam yang disebut al-Hadits. Dengan demikian baik Masjid Nabawi maupun Masjid Quba' secara hukum tetap menghadap kiblat. [caption id="attachment_200947" align="alignnone" width="628" caption="Konsep koblat terbaru sebagai hasil redefinisi kiblat dengan mempertimbangkan arah masjid Nabawi dan Quba"]
13424939281648751864
13424939281648751864
[/caption] Pemahaman ini mendatangkan perspektif baru dalam memandang konsep kiblat. Selama ini kiblat dianggap identik dengan Ka'bah sehingga arah kiblat adalah arah hadap ke Ka'bah. Namun dengan eksistensi titik simpang Masjid Quba' yang sejauh 45 km dari Ka'bah, sementara secara hakiki Masjid Quba' tetap menghadap kiblat, maka konsep lama tersebut perlu ditinjau ulang. Kiblat perlu didefinisikan ulang sebagai titik-titik dimanapun berada sepanjang terletak di antara Ka'bah dan titik simpang masjid Quba'. Dan karena arah kiblat berlaku secara universal (dari segenap penjuru permukaan Bumi), maka titik-titik tersebut sebaiknya terhimpun dalam satu area berbentuk lingkaran dengan jari-jari 45 km yang berpusat di Ka'bah. Lingkaran inilah kiblat dalam konsep yang baru. Eksistensi lingkaran ini melingkupi seluruh bagian tanah haram Makkah, yakni area yang menurut perspektif sejumlah cendekiawan Muslim menjadi kiblat ijtihad (kiblat bagi segenap Umat Islam yang tinggal dan bermukim di luar batas tanah haram Makkah).Jika kita menarik garis lurus dari sebuah titik di permukaan Bumi ke arah tepi lingkaran berdiameter 45 km ini dan dibandingkan dengan garis yang sama namun diarahkan ke Ka'bah, maka terbentuk sudut tertentu di antara dua garis tersebut. Dengan redefinisi konsep kiblat seperti di atas, maka sudut ini merupakan sudut yang dapat ditoleransi (ihtiyathul qiblat). Ihtiyathul qiblat sekaligus menjadi pembatas bagi akurasi perhitungan arah kiblat dengan mempertimbangkan variabel-variabel yang belum tercakup dalam perhitungan. Dengan kata lain, sebesar apapun akurasi perhitungan arah kiblat, akurasi tersebut dibatasi oleh eksistensi ihtiyathul qiblat. Besarnya sudut yang dapat ditoleransi ini bervariasi, namun semakin menjauh dari kota Makkah maka semakin mengecil. Bagi kota Madinah, sudut ini besarnya 7,5 derajat. Sehingga meskipun arah hadap Ka'bah bagi kota suci Madinah adalah menuju azimuth 175 (hampir tepat ke selatan), namun masjid yang didirikan di kota diperkenankan mengambil arah kemanapun sepanjang berada di antara azimuth 167,5 hingga 182,5. Sementara bagi Indonesia, sudut ini besarnya hanya 0,5 derajat. Konsekuensinya upaya pengukuran arah kiblat di Indonesia membutuhkan akurasi yang mumpuni dan mencukupi guna meraih sudut toleransi tersebut. Referensi : Sudibyo. 2012. Sang Nabi pun Berputar, Arah Kiblat dan Tata Cara Pengukurannya, cetakan pertama. Surakarta : Tinta Medina.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun