Mohon tunggu...
Muh Ma'rufin Sudibyo
Muh Ma'rufin Sudibyo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Langit dan Bumi sahabat kami. http://ekliptika.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tsunami 14 Meter Itu...

22 November 2010   08:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:24 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12904148761175676781

Studi lapangan tim gabungan LIPI bersama koleganya dari mancanegara yang dipimpin Dr. Danny Hilman Natawidjaja akhirnya menyimpulkan tsunami Pagai (Mentawai) 25 Oktober 2010 lalu memang bukan tsunami biasa. Turut serta dalam tim tersebut Dr. Jose C Borrero, pakar tsunami dari Scripps Institute of Oceanography (AS). Kurang jelas informasinya apakah para manusia langka peneliti tsunami dari mancanegara khususnya yang menggumuli zona subduksi Sumatra selama setidaknya 1 dekade terakhir seperti Mohammed Chlieh, Costas Synolakis, Kerry Sieh, John Galetzka, Yehuda Bock dan George Pararas-Carayannis ikut menjadi anggota tim. Pun demikian dengan manusia langka dari Indonesia seperti Hamzah Latief, Nanang T Puspito, Cecep Subarya dan Subandono Diposaptono. Yang jelas, pesisir barat Pulau Sumatra dan untaian kepulauan di sebelah baratnya telah menjadi pusat perhatian LIPI beserta California Institute of Technology mengingat potensi kegempaannya, yang diawasi secara menerus dalam kampanye pengamatan bertajuk SuGAR (Sumatran GPS Array). Tim gabungan mengonfirmasikan tulisan sebelumnya bahwa tsunami Pagai memang bukan tsunami biasa. Tinggi gelombang di Pagai Selatan tercatat 14 meter. Sementara di Pagai Utara ketinggiannya tercatat bervariasi antara 5 hingga 6 meter. Nun jauh di daratan Sumatra, stasiun pasang-surut Padang mencatat adanya gelombang dengan amplitude 0,5 meter. Bila semua data-data ini dimasukkan ke dalam model tsunami a la Katsuyuki Abe, diperoleh kesimpulan bahwa magnitude tsunami Pagai sebesar 8,31 +/- 0,24 atau lebih besar dibanding magnitude gempa-nya (Mw) yang 7,7. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa tsunami Pagai memang tipikal tsunami-earthquake, atau dengan kata lain gempanya merupakan gempa slow-earthquake. Sehingga drama Pangandaran 2006 memang berulang, penduduk tidak merasakan getaran yang keras (meski getaran pelan itu berlangsung cukup lama), namun berselang kemudian tsunami datang menerjang dengan deru teramat kencang seperti suara mesin jet. Tsunami-earthquake secara sederhana bisa dikatakan sebagai gempa 'kecil' namun memproduksi tsunami yang besar. Besarnya tsunami disebabkan adanya mekanisme lain yang turut bekerja membuat olakan kolom air laut di atas segmen sumber gempa jadi lebih intensif. Dalam kasus tsunami Pagai, sangat boleh jadi mekanisme lain tersebut adalah longsoran massif di dasar laut (megaslump). Indikasi ini ditunjang dengan kontur dasar laut setempat yang cenderung curam karena berdekatan dengan palung laut. Kasus tsunami Pangandaran 2006 pun menunjukkan hal serupa, demikian pula dengan tsunami Flores 1992 dan tsunami Iliwerung 1979. Korban jiwa yang terenggut dari tsunami-tsunami ini pun tergolong cukup besar, dimana untuk Pagai, Pangandaran dan Iliwerung mencapai 500 jiwa sementara di Flores hingga 2.000 jiwa. Terjadinya longsoran dasar laut, ataupun longsoran tebing curam yang masuk ke laut, maupun longsoran/runtuhnya lereng gunung api laut, telah menjadi perhatian tersendiri mengingat tsunami yang dihasilkannya bisa sangat besar walaupun sifatnya lokal. Ambruknya tubuh gunung Krakatau dalam letusan katastrofik 1883 misalnya, menghasilkan tsunami setinggi 30 meter yang merenggut nyawa 36.000 orang. Tsunami setinggi 60 meter yang melanda pesisir Laut Banda 1799 juga dihasilkan oleh proses runtuhnya pesisir ke dalam laut yang curam. Kasus paling mengerikan terjadi di Teluk Lituya Alaska (AS) 9 Juli 1958, saat ambrolnya tebing curam di sisi teluk memproduksi tsunami setinggi 520 meter ! Mujur bahwa korban yang jatuh 'hanya' 2 jiwa. Tim gabungan juga menyimpulkan, dalam kasus tsunami Pagai tak ada yang perlu disalahkan dengan mekanisme peringatan dini a la BMKG. Tsunami Pagai adalah kasus khusus, sebab dengan lamanya getaran gempa (yang mencapai lebih dari satu menit) menyebabkan pelampung tsunami manapun kesulitan mendeteksi antara getaran gempa dengan perubahan riak muka laut. Ditambah dengan fakta bahwa pelampung terdekat saat itu pun rusak -sehingga BMKG hanya bisa mengandalkan data seismogram yang sebenarnya tidak mencukupi- dan tiadanya perangkat komunikasi yang terhubung antara Pusat Gempa Nasional dengan kawasan terlanda, menyebabkan sebagus apapun peringatan dini tsunami diudarakan, akan sia-sia belaka karena tidak sanggup menjangkau sasaran. [caption id="attachment_76543" align="alignnone" width="350" caption="Simulasi tsunami Pagai 2010 oleh Dr. Hamzah Latief. Nampak dalam 6 menit pasca gempa, dinding air setinggi 7 meter sudah berada di depan pesisir Pagai Utara dan Pagai Selatan. Meski tidak memperhitungkan kemungkinan tsunami-earthquake, namun pola pergerakan gelombang yang disimulasikan berdasarkan karakteristik sumber gempa dan kontur dasar laut wilayah setempat mirip dengan yang jejak-jejaknya diteliti tim gabungan. Jika simulasi seperti ini bisa tersedia dalam waktu setengah jam saja pascagempa, maka bagaimana parahnya kondisi daerah terlanda bisa diestimasikan relatif baik, tanpa harus menunggu-nunggu laporan dari daeah tersebut (dalam kasus tsunami Pagai, laporan baru datang 10 jam kemudian). Sumber: Latief, 2010"][/caption] Tsunami Pagai 2010 semoga mendatangkan kesadaran baru. Ketika pelampung tsunami banyak yang rusak atau hilang (dicuri), seharusnya segera dibangun yang baru dan diperbanyak sehingga jejaringnya kian rapat. Ketika jaringan peringatan dini belum ada di lapangan, seharusnyalah segera dibangun dengan memanfaatkan segala macam sarana yang mungkin. Disamping itu respons cepat dalam setiap peristiwa gempa kuat/besar (apalagi yang berpotensi tsunami) harus terus menerus dilatih dan dikembangkan dengan bersandar pada data yang lebih komplet. Saya kadang membayangkan ada suatu Pusat Gempa dan Tsunami Nasional yang mengelola jejaring seismograf dan pelampung tsunami yang rapat di segenap penjuru Nusantara, sehingga ketika sebuah gempa berpotensi tsunami meletup, segera diketahui bagaimana simulasi perambatan gelombang tsunami-nya, simulasi tinggi gelombang saat menerjang pantai, simulasi jauhnya landaan (terjangan) gelombang ke daratan dan seberapa besar populasi penduduk yang terdampak baik oleh gelombang secara langsung maupun oleh getaran gempa. Jika USGS di AS sana bisa melakukannya dengan konsep PAGER (Prompt Assessment of Global Earthquake Response) yang diudarakan paling lambat 2 jam pasca gempa, kita di Indonesia pun seharusnya bisa. Dengan demikian program evakuasi bisa segera langsung disiapkan, tanpa harus menunggu laporan.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun