Mohon tunggu...
Muh Ma'rufin Sudibyo
Muh Ma'rufin Sudibyo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Langit dan Bumi sahabat kami. http://ekliptika.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak Ranakah, Gunung Api Termuda di Dunia (Yang Nyaris Terlupa)

16 November 2010   09:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:34 3061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanyakanlah apa nama gunung api paling muda di dunia. Sebagian akan menjawabnya dengan Paricutin, sebentuk kerucut sinder yang menjulang 424 meter dari dasarnya dengan elevasi puncaknya 2.800 m dari permukaan laut, yang secara geologis tegak berdiri di atas Sabuk Vulkanik Trans-Meksiko dan secara administatif termasuk negara bagian Michoacan, Meksiko.

Gunung api Paricutin muncul sejak 20 Februari 1943 dari sebuah retakan memanjang di ladang jagung milik Dionisio Pulido, petani sederhana dari desa Paricutin. Jauh hari sebelumnya retakan ini sebenarnya sudah ada dan menjadi salah satu ajang bermain anak-anak Paricutin. Namun sejak awal 1943, desa ini diguncang getaran gempa berkali-kali yang sempat meretakkan dinding sejumlah rumah penduduk sehingga ketakutan pun merajalela. Di pagi hari 20 Februari itu, pak Pulido beserta istri dan anaknya memutuskan untuk tetap menggarap ladang jagung mereka meski tanah masih tetap bergetar secara frekuentif. Di situlah mereka merasakan ada sesuatu yang aneh, tanah terasa lebih hangat dari biasanya. Dan tak lama berselang, dari retakan itu keluarlah semburan debu dan batu yang segera menyelubungi ladang pak Pulido dan tanah pertanian disekitarnya. Dalam minggu pertama, terbentuk timbunan debu dan batu (alias scoria) setinggi gedung lima lantai. Dalam setahun pertama, timbunan itu telah setinggi 336 meter. Selama delapan tahun kemudian timbunan ini - yang dinamakan Gunung Paricutin - tetap meletus namun dengan pola berbeda, yakni melelehkan lava segar yang membanjiri 25 km persegi lahan terbuka disekelilingnya. Aktivitas ini membuat desa-desa disekitarnya terbenam lava dan memaksa penduduk dievakuasi. Menara gereja San Juan Pangaricutiro menjadi satu-satunya bangunan yang masih tersembul pasca banjir lava. Letusan berhenti pada 1952, tanpa menghasilkan kerusakan berarti berskala luas mengingat tipe letusan yang cenderung strombolian dan vulkanian lemah, yang bersifat membangun tubuh gunung. Namun sesungguhnya Paricutin bukanlah peristiwa lahirnya gunung api pertama yang dilihat manusia. Jauh hari sebelumnya, tepatnya sejak Desember 1927 hingga Januari 1929, penduduk Selat Sunda telah menyaksikan hal serupa, sebagai kepulan uap, gas dan debu vulkanik yang menggelegak di tengah ketenangan laut sempit di antara Pulau Sumatra dan Jawa itu. Mereka menyaksikan lahirnya gunung api Anak Krakatau, tepat di lokasi yang hampir setengah abad sebelumnya menjadi pusat letusan katastrofik yang menghebohkan dunia. Sejak itulah gunung baru terus tumbuh hingga setinggi 315 meter dari muka laut (495 meter dari dasar Selat Sunda) pada pengukuran tahun 2000 lalu. Namun lucunya, peristiwa lahirnya gunung api Anak Krakatau justru dinisbatkan sebagai letusan jenis Surtseyan, padahal peristiwa lahirnya gunung api Surtsey (Islandia) dari kedalaman laut terjadi tiga dekade pasca lahirnya Anak Krakatau. Sangat jarang pula di antara kita yang menyadari bahwa peristiwa sejenis lahirnya Paricutin ternyata terjadi pula di Indonesia, tanah yang permai ini. Bahkan peristiwanya pun belum lama, tepatnya pada awal 1988 yang terjadi di sebidang lahan dalam wilayah Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang terletak di bagian barat Pulau Flores. Namun peristiwa ini nyaris terlupakan dalam sejarah bila dibandingkan dengan popularitas Paricutin. Gunung Poco Leok merupakan salah satu gunung api di Pulau Flores yang tinggal tersisa bekas-bekasnya saja pasca letusan dahsyat 15 ribu tahun silam yang sampai membentuk kaldera. Namun batas-batas kalderanya tidak jelas. Pasca pembentukan kaldera, didalamnya terbentuk kubah-kubah lava yang kini dikenal sebagai Poco (puncak) Mandosawu dan Ranakah. Aktivitas vulkanik lantas seakan berhenti total sejak terbentuknya kubah-kubah lava itu, yang bertahan selama 15 ribu tahun kemudian. Selama periode tersebut kawasan kaldera Poco Leok berubah menjadi hutan yang rimbun dan tenang. Ketenangan terusik pada 28 Desember 1987 tatkala guncangan dan ledakan menggetarkan kawasan. Ledakan ternyata berpusat dari lereng timur laut Poco Ranakah, pada sebuah retakan memanjang yang dikenal warga setempat sebagai loka leke ndereng (lubang tempurung merah). Selama seminggu kemudian dari retakan ini keluar uap air dan debu vulkanik secara vertikal, ciri khas dari letusan freatik (letusan akibat interaksi air bawah tanah dengan magma sehingga air berubah menjadi uap bertekanan). Hingga 3 Januari 1988 tercatat ada 17 kali letusan bertekanan tinggi dan 200 kali letusan bertekanan rendah. Letusan freatik mereda sejak 3 Januari 1988, namun digantikan oleh getaran gempa frekuentif (susul-menyusul) selama seminggu kemudian. Inilah tanda yang sangat jelas bahwa fluida (magma) sedang berusaha menerobos naik ke atas sembari memecahkan batuan dalam kerak bumi sehingga menciptakan krisis swarm seismic. Antara 6 dan 7 Januari 1988 saja tercatat ada 400 getaran gempa. Magma itu akhirnya sampai juga ke permukaan pada 9 Januari 1988 dan segera membentuk gundukan. Disebabkan oleh komposisinya yang andesit-dasitik silikat sehingga relatif asam dan kental, keluarnya magma justru menyebabkan lubang bekas letusan freatik tersumbat sehingga meningkatkan tekanan gas yang masih tersimpan didalamnya. Sumbatan inilah yang menghasilkan letusan tergolong besar pada 11 Januari 1988, saat kolom asap dan debu dihembuskan hingga setinggi 8 km atau menyamai ketinggian kolom letusan Merapi 2010. Letusan itu membuka kembali lubang yang tersumbat, sehingga menghasilkan aliran piroklastika (awan panas) dan lava pijar ke lembah Wae Reno. Sehari kemudian (12 Januari 1988) teridentifikasi gundukan lava setinggi 30 meter yang terus tumbuh dengan pesat. Dalam dua minggu berikutnya, tinggi gundukan lava sudah mencapai 150 meter dengan menempati area seluas 350 x 200 meter persegi, dengan laju pertumbuhan mencapai 20 ribu meter kubik perhari. [caption id="attachment_75541" align="alignnone" width="640" caption="Gunung Anak Ranakah, setahun setelah kelahirannya. Sumber : Direktorat Vulkanologi, 1989"][/caption] Aktivitas terus berlanjut sehingga gundukan lava itu mencapai ketinggian 175 meter dengan menempati area seluas 1.000 x 200 meter persegi. Secara keseluruhan diestimasikan terdapat 30 juta meter kubik magma yang dikeluarkan letusan dan tertumpuk pada lembah Wae Rono yang sempit di antara Poco Ranakah dan Poco Mandosawu. Awalnya gundukan lava ini dinisbatkan sebagai gunung api Namparnos, namun kemudian lebih dikenal sebagai gunung api Anak Ranakah. Puncak gunung memiliki elevasi 2.247 meter dari permukaan laut. Saat ini aktivitas gunung Anak Ranakah hanyalah hembusan solfatara (belerang) yang keluar dari beberapa titik di kaki dan lereng selatan. Gunung api Anak Ranakah lahir sebagai konsekuensi keunikan geologi pulau Flores (dan Kepulauan Nusa Tenggara pada umumnya). Untaian kepulauan ini didesak oleh lempeng Australia dari selatan, sehingga terbentuk jalur subduksi yang secara kasat mata nampak sebagai palung laut memanjang di lepas pantai Samudra Hindia. Jalur subduksi ini pernah memaksa perhatian dunia tatkala pada 10 Agustus 1977 sebuah gempa tektonik kuat (magnitude Mw 7,5) mengguncang kawasan ini disertai dengan amukan gelora tsunami yang merenggut ratusan korban jiwa terutama di Pulau Bima. Sementara di utara membujur sistem patahan Flores dan Wetar yang menjulur dari lepas pantai utara pulau Wetar hingga ke Situbondo. Sistem patahan ini adalah back-arc thrust, yang terbentuk sebagai konsekuensi dari subduksi. Patahan Flores menarik perhatian dunia 4 tahun pasca kelahiran gunung api Anak Ranakah, ketika sebuah gempa kuat (magnitude Mw 7,2) menggetarkan daerah ini pada 12 Desember 1992 disertai longsoran besar di dasar laut hingga terbitlah tsunami besar akibat longsoran (tsunami-earthquake) dengan gelombang setinggi 26,5 meter. Akibatnya tsunami ini 2.000 orang tewas di kota Maumere dan sekitarnya. Jumlah korban jiwa dan tinggi gelombang dalam tsunami Maumere adalah rekor bagi Indonesia di abad ke-20, sebelum dipatahkan peristiwa gempa megathrust Sumatra-Andaman 26 Desember 2004 [caption id="attachment_75542" align="alignnone" width="646" caption="Jajaran tiga gunung : Poco Ranakah, Anak Ranakah dan Poco Mandosawu. Dicitrakan dengan Google Earth dari arah selatan. Kiri adalah barat dan kanan adalah timur. Di latar belakang nampak Laut Flores"]

12898989061380178269
12898989061380178269
[/caption] Subduksi antar lempeng membuat bagian atas lempeng yang menelusup (yakni lempeng Australia) bergesekan dengan bagian bawah lempeng yang membengkak (yakni lempeng Sunda). Pergesekan menyebabkan pelelehan yang selanjutnya terkumpul sebagai magma dalam reservoir yang sangat dalam (lebih dari 100 km). Magma di kedalaman ini lantas bermigrasi ke atas, ke dapur magma yang lebih dangkal. Mungkin akibat dijepit subduksi di selatan dan back-arc thrust di utara, maka kuantitas magma di sini relatif lebih banyak dibanding sistem subduksi lainnya di Indonesia. Keberadaan kaldera sejak wilayah tapal kuda Jawa Timur (Tengger, Ijen) hingga Bali (Batur, Buyan-Bratan) dan Kep. Nusa Tenggara (Rinjani, Tambora, Poco Leok) mungkin salah satu indikasinya. Indikasi lainnya adalah kekayaan Pulau Flores akan gunung api, dimana terdapat 26 buah gunung api dengan 17 di antaranya bertipe A. Bandingkan dengan Pulau Jawa, yang empat kali lebih luas namun 'hanya' memiliki 36 buah gunung api. Ada dua hal yang sangat membedakan kelahiran gunung Anak Ranakah dengan Paricutin. Pertama, wilayah tempat lahirnya gunung Anak Ranakah sudah sangat lama (sekitar 15 ribu tahun) tidak mengalami aktivitas vulkanik dan hanya memperlihatkan gejala-gejala pasca vulkanik. Sehingga dianggap sudah 'mati' secara vulkanis. Kawasan selatan kaldera Poco Leok bahkan telah dieksplorasi (sebagai lapangan panas bumi Ulumbu) yang berpotensi menghasilkan 15 megawatt listrik. Sebaliknya kawasan Michoacan (tempat lahirnya gunung Paricutin) dikenal sebagai kawasan aktif. 183 tahun sebelum lahirnya gunung Paricutin, Michoacan pun menjadi saksi lahirnya gunung api Jorullo yang muncul pada titik sejauh 80 km sebelah timur laut lokasi Paricutin. Gunung Jorullo muncul sejak 2 September 1759 dalam serial letusan yang berlangsung terus selama 15 tahun kemudian hingga membentuk gunung api setinggi 1.320 meter dari dasar. Kedua, baik Paricutin maupun Jorullo merupakan kerucut sinder sehingga adalah gunung api monogenetik. Artinya, baik Paricutin maupun Jorullo hanya akan meletus sekali (yakni pada masa kelahirannya) untuk kemudian mati, karena kelak magma akan mencari saluran baru untuk keluar ke permukaan bumi (dan melahirkan gunung api baru). Sementara gunung Anak Ranakah, dengan posisinya yang persis di samping gunung Poco Ranakah, kemungkinan memiliki sumber magma yang tetap yang juga melahirkan gunung Poco Ranakah sebelumnya. Kondisi ini memungkinkan gunung Anak Ranakah kelak akan tumbuh tinggi dan berkembang meluas hingga menjadi gunung api tipe strato yang khas, jika pasokan magma-nya tetap kontinu. Namun semenjak kelahirannya, sampai saat ini belum jelas pola aktivitas gunung Anak Ranakah sehingga belum jelas pula kontinuitas pasokan magmanya. Ini sangat berbeda bila kita bandingkan dengan lahirnya gunung Anak Krakatau, yang lantas terus tumbuh dan berkembang secara kontinu dengan keluaran magma 51,25 juta meter kubik/tahun hingga menjadi seperti sekarang. Ada dua pelajaran penting yang bisa diambil dari lahirnya gunung Anak Ranakah. Pertama, gunung api termuda (di daratan) bukanlah Paricutin, melainkan Anak Ranakah. Sementara yang kedua, lahirnya gunung Anak Ranakah membuat kita tak bisa menafikan keberadaan sisa-sisa gunung api lainnya di Indonesia yang diidentifikasi telah tak aktif sekian lama. Sehingga kita tak perlu lagi dikagetkan dengan kejutan seperti letusan Sinabung pada bulan Agustus 2010 lalu, setelah gunung api ini tak menunjukkan tanda-tanda aktivitas selama 4 abad. namun begitu, tak perlu menyebarkan kekhawatiran berlebihan, karena munculnya aktivitas gunung api selalu diawali tanda-tanda yang jelas, seperti getaran gempa vulkanik (swarm). Referensi : Syarifuddin dkk. 1988. Petrokimia Batuan Kompleks Mandosawu (Letusan Anak Ranakah 28-12-1987 s/d 19-1-1988), Flores, Nusa Tenggara Timur. Bandung : Direktorat Vulkanologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun