Fakta yang paling kentara adalah film tersebut mengklaim bahwa semua korban disiksa oleh segerombolan anggota PKI sebelum akhirnya ditembak mati. Kenyataannya, tidak ada satu pun jenderal yang disiksa; mereka langsung ditembak mati. Gambaran yang dilebih-lebihkan ini merupakan senjata psikologis yang ampuh yang berhasil membantu penonton membangun rasa takut terhadap PKI dengan demikian, mendukung pembacaan yang disukai produser.
      Genre ketiga, horor, juga menjadi perspektif yang kontras untuk memahami nilai produksi film ini. Dibandingkan dengan film dokumenter sejarah yang harus menjunjung tinggi objektivitas dan beroperasi berdasarkan skenario berdasarkan fakta, film dalam genre horor dan drama dapat bersifat fiktif dan dilebih-lebihkan.
      Film ini tergolong dalam genre ini karena beberapa unsurnya, seperti: (1) musik pengiringnya yang menyeramkan, (2) suasana gelap yang dibangun lewat pencahayaan dan pewarnaan, (3) adegan-adegan berdarah yang kerap dihadirkan sepanjang film, dan (4) latar lokasi yang bertempat di hutan-hutan dan tempat-tempat tua yang dijarah. Selain itu, teriakan dan suara tembakan juga mendominasi dalam film tersebut. Film "Pengkhianatan G30S/PKI" dipuji memiliki nilai produksi yang sangat baik. Anehnya, mengingat biaya pembuatan film sebesar 800 juta rupiah (sekitar SGD 80.337) berasal dari pengeluaran pemerintah. Fakta bahwa pemerintah Indonesia akan mengalokasikan sejumlah besar uang untuk produksi satu film semakin menonjolkan niat mereka untuk menggunakan film ini sebagai propaganda politik.
Genre terakhir, propaganda politik, muncul setelah pembacaan balik mulai menunjukkan keanehan film ini. Kesadaran bahwa "Pengkhianatan G 30 S/PKI" adalah propaganda berarti ada beberapa penonton yang mulai menentang pembacaan yang disukai produser. Singkatnya, genre "dokumenter sejarah" yang dipilih menggarisbawahi fakta bahwa film ini sangat generik untuk membangun hubungan dengan penonton. Akan tetapi, genre itu sendiri tidak menjamin keberhasilan film ini sebagai propaganda politik. Pemerintah memastikan bahwa seluruh masyarakat Indonesia mengetahui film ini, dan lebih khusus lagi, mengetahui representasi yang digambarkan dalam film tersebut.
      Awalnya, film ini sendiri tidak dirilis melalui saluran komersial karena sifatnya yang sadis. Sebagai gantinya, pemerintah memerintahkan film tersebut untuk ditayangkan di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah. Penayangan tersebut bersifat wajib, dan lembaga-lembaga yang tidak melakukannya akan dikenai sanksi.
      Beberapa tahun kemudian, film ini akan diputar setiap tahun sekitar tanggal 30 September melalui saluran TV swasta dan publik. Film ini dijuluki sebagai film Indonesia yang paling banyak disiarkan dan paling banyak ditonton sepanjang sejarah negara ini.
      Singkatnya, "Pengkhianatan G 30 S/PKI" berhasil meraih pembaca yang disukai melalui dua proses utama: (1) pemilihan genre yang membentuk intertekstualitas penonton, dan (2) pemutaran film yang dipaksakan dan berulang-ulang sehingga menimbulkan ketakutan dan misinformasi di kalangan penonton Indonesia.
Hingga kini, jawaban siapa pelaku utama peristiwa tersebut masih belum dapat dipastikan.
      Namun, karena pemerintah Indonesia (di bawah Orde Baru) menginvestasikan banyak waktu dan modal terhadap nilai produksi dan distribusi film ini menyoroti kemungkinan bahwa mereka menolak untuk disalahkan sebagai pelakunya. Sayangnya, pembacaan dominan-hegemonik ini masih merupakan sudut pandang yang paling menonjol di Indonesia, karena film ini hanyalah satu dari lebih dari seratus media yang digunakan untuk menceritakan kembali dan mengutarakan kembali potongan sejarah Indonesia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H