Mohon tunggu...
Marto
Marto Mohon Tunggu... -

Manusia sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Lely

27 Mei 2016   19:11 Diperbarui: 27 Mei 2016   19:22 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: www.wallpapermania.eu

 Aku ingat persis sosoknya saat itu. Di suatu malam yang hening kala aku sedang duduk di teras rumah kost. Waktu itu sekitar pukul setengah sebelas lewat beberapa menit. Hari dan tanggal aku tak persis ingat, sekitar bulan Februari menjelang hari Valentine, tahun 2011.

"Pergi dulu ya Pasaribu" pamitnya dengan senyum yang sangat bersahabat, serta menggoda. Aku sontak hanya senyum grogi dengan jawaban yang tidak terlampau jelas. Di depan, telah menunggu mobil mewah berwarna putih. Sekelebat, pandangku sempat menangkap lelaki di belakang setir dengan setelan rapi. Lelaki yang berbeda lagi dengan yang menjemput sebelumnya. Begitulah ia berlalu, lindap ditelan malam. Menyisakan bayangan senyumnya yang manja diselimuti dengan aroma wangi tubuhnya yang memikat. Semua itu kupeluk erat dalam angan. Aku terbuai karenanya.

Kami memang tidak memiliki banyak waktu untuk saling tukar cakap. Maklum saat itu aku masih kuliah sambil kerja. Hampir seluruh aktivitas keseharian hanya berkutat di sekitaran kampus. Pagi ke siang kuliah, siang hingga malam lanjut kerja. Untungnya, tempat kerjaku adalah kampusku juga. Paling cepat pukul sembilan malam baru pulang. Saat aku tiba di kost, sekitar 1-2 jam kemudian, giliran ia yang pergi kerja dan akan baru pulang menjelang subuh. Pada saat itu, ia pun akan tidur terlelap hingga jam makan siang tiba.

Namun, walau dengan durasi jumpa yang sedikit, setiap termin yang kami lalui saat bersua, selalu memiliki kesan tersendiri bagiku. Percakapan ringan namun berkesan. Begitu kira-kira deskripsinya. Mungkin juga itu hanya perasaan berlebihan yang muncul dalam diri alias Ge-Er, di mana kala ia melempar senyum yang begitu mempesona sesaat mendengar "Tidur yang nyenyak ya kak Lely manis" nadaku yang sedikit manja.
 Dan aku pun akan kegirangan hebat begitu berlalu dari hadapan perempuan itu.

Akh, kadang aku merasa terlalu maju dengan ucapan itu. Bukan, bukan terlalu maju, tetapi berlebihan. Kata 'manis' itu seyogianya tak perlu ada. Secara ia kan sudah beranak dua, sementara aku masih seorang mahasiswa yang sebentar lagi bergelut dengan TA. Dan kak Lely, entahlah. Aku tidak tahu banyak tentang dia. Aku juga tidak begitu tahu persis dan sejujurnya tidak ingin tahu apa pekerjaanya. Yang aku tahu ia hanya seorang anak kost di tempat ini, sama seperti yang lainya. Ia juga hampir saban malam pergi dengan lelaki yang berbeda, lengkap dengan mobil jemputan. Dan kadang aku gundah dengan rutinitas ia itu. Gundah karena, kapan giliranku menjemput ia? Harapan yang konyol memang. Terkadang aku menganggap, mungkin aku buta dengan begitu banyaknya wajah-wajah cantik yang berseliweran di kampus sana. Yang seusia, sebanding, selaras atau mungkin seprofesi yang sama. Tapi aku tidak begitu tertarik dengan mereka. Sosok kak Lely meniadakan itu semua.

Separuh tahun sebelumnya aku memang memiliki seorang pacar inisial Whanie, tapi ditinggal pergi. Ia bahkan tak menitip kata pisah. Lenyap bagai kuntilanak yang pulang tak diantar. Semenjak itu aku sedikit mengurung niat untuk mencari pengganti. Kebetulan, saat itu aku masih sedikit berharap kepada kekasihku itu. Aku menanam asa, kelak ia menemukan jalan pulang kembali ke pelukanku. Nahas bagiku, hingga detik ini asa tersebut tak pernah terwujud. Ya sudahlah.

Lalu saat ini, apa gerangan yang membawa kenangan kak Lely kembali? Kenangan yang terukir di sekitaran Pringgan tersebut?

Semua ini gegara kopi Aceh, segelas esspresso hitam yang tadi kami seruput perlahan membuat mata enggan merem. Rupanya aku sedang reuni dengan rekan seperjuangan dahulu. Kami kongkow-kongkow di sebuah resto kopi. Maka kami pun kembali dan tersesat di kenangan masa yang lampau. Dominasi cerita kami tertuju ke sebuah tempat kost Jl. Sei Bamban, daerah ini dekat dengan Sei Wampu menuju ke Sei Batang Hari sebelum melewati Sei Kapuas. Hmm, ada banyak jalan berbau 'sei' memang di sana. Alamat pertama itu menyimpan sejuta kejadian yang layak dikenang. Maka terbersitlah kata "Rindu aku sama kak Lely bah" dari mulutku, yang membuat kami tertawa bahak, terkenang dan terbuai lagi dengan tingkah-tingkah konyol di masa itu.

Tapi ada satu peristiwa yang aku enggan kisahkan kepada mereka. Sudah pasti nanti aku akan dikata 'Parbellak, Palobi-lobihon, Pargabus (baca: mengarang cerita)' begitu mendengar ceritaku. Bukannya apa, karena aku sendiri pun tak begitu yakin dengan apa yang hendak kuutarakan ini. Apakah peristiwa ini benar-benar terjadi apa adanya, atau hanya sebuah fantasi yang timbul di dalam pikir, akibat aku terlampau kagum dengan sosok kak Lely ini? Untuk hal yang satu ini, mungkin hanya Tuhan yang tahu kebenaranya.

Baiklah. Aku akan memulai cerita ini. Jadi begini, pernah di suatu dini hari, lebih tepatnya menjelang subuh. Entah ada angin apa yang membuat aku terbangun sepagi itu. Biasanya, pada saat menjelang subuh begini, aku masih terlalu asyik bermain dengan mimpi. Aku terjaga dan masih dalam posisi golek sedikit ngantuk, sayup kudengar suara gerbang pintu pagar depan berdenting. Wah, jangan-jangan ada maling, di depan kan ada banyak sepeda motor milik anak kost. Atau mungkin hantu? Akh ngarang! Dengan sikap mendadak waspada, aku lalu beranjak menuju depan. Alih-alih berjumpa maling, yang kudapati adalah sosok yang membuat aku terperangah. Rasa kantuk dan waspada yang kubawa dari kamar, sirna begitu saja.

Aku tetiba grogi, jantungku berdegub lumayan kencang. Dan kuperhatikan sosok itu semakin mendekat ke arahku dengan langkah yang goyah. Semakin dekat, ia melewati cahaya temaram di antara lorong kamar, ia gontai. Aku hanya bergeming, ia sudah tiba persis di hadapanku. Dengan mata sayu, lemah ia berucap "Paapasaribuu..." lalu kutangkap dengan pelukan ketika kakinya sudah tak lagi mampu menopang tubuhnya yang lunglai. Kutahan wajahnya yang bersandar di dadaku. "Kak Lely..?" tanyaku menyelidik sembari memberanikan diri mengusap rambut yang berderai menutupi wajahnya. Dan kutemukan wajahnya kini lemas, lelah menguar dari air mukanya. Aku iba sekaligus takjub.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun