Mohon tunggu...
Marto
Marto Mohon Tunggu... -

Manusia sederhana

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Des, Inikah Cinta Pendosa?

15 Oktober 2015   18:36 Diperbarui: 15 Oktober 2015   19:26 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Lagiaann, kenapa kamu bertanya tentang dosa Deshi manisku ?" tanya lelaki itu senyum penasaran sembari mengelus pipinya.
Selang beberapa saat sepertinya pertanyaan itu menggelitik alam bawah sadarnya.
Perempuan itu akhirnya beranjak dari dekapan lelaki itu. Perasaan jengkel tiba-tiba menyusup ke dalam pikiranya.
"Abang tidak sadar dengan apa yang telah kita lakukan ini ya ? Seharusnya kita tidak boleh melakukan hal ini. Aku telah menghianati suamiku.
Sementara abang masih lelajang yang tidak punya beban moral. Abang bebas memilih wanita yang ingin disinggahi.
Sementara aku ? Oh Tuhan, ternyata aku sehina ini." kata-kata perempuan itu penuh dengan penyesalan. Lalu ia tertunduk dan menutup muka dengan kedua tanganya. Seketika saja mengeluarkan air mata. Air mata keresahan. Ia merasa dirinya adalah manusia paling berdosa, perempuan murahan.

Namun dengan sahaja lelaki itu kembali meraih tangan perempuanya. Mengusap air mata dengan senyum kharismanya.
Pelan meraba kedua pipi dan menatap matanya penuh dengan rasa kelembutan.
"Tidak ada yang salah di antara kita Des. Aku begitu mencintaimu. Cinta yang akan usang sendiri karena tak mungkin memiliki.
Kau sudah terlanjur menikah dan punya anak. Dan kita dipertemukan dalam situasi begini, aku tidak ingin memperkeruh suasana. Ketahuilah seandainya kau meminta untuk kujemput ke rumah orang tuamu dan melamarmu, saat ini juga akan kulakukan. Tapi aku lebih berpikir realistis. Ingatlah anak dan suamimu. Biarlah cinta ini abadi di antara dosa. Karena tidak akan ada yang mampu merenggutnya dari kita. Kebahagiaan yang kita rasakan saat bersama, itulah yang paling penting. Itulah segalanya bagiku. Kumohon jangan menangis lagi ya Des" sambil merangkul badan Deshi dengan penuh kehangatan dan mendekapnya di antar dada bidangnya.

***

Setahun sudah mereka melalui hubungan tak berakta kertas itu. Tidak seorang pun di lingkungan pekerjaan yang mengetahui kedekatan mereka selain hanya sebuah hubungan sahabat dan rekan kerja. Teringat lima tahun yang lalu dari saat pertama kali berjumpa di kantor.
Perusahaan multimedia tempat kerja pertamaku setelah lulus kuliah.
Berawal dari hal yang sederhana, senyum biasa. Makan siang bersama. Saling mencadai sesama rekan kerja yang lain.
Dan sesekali ketika suaminya berhalangan lelaki itu mengantarkan pulang Deshi sampai ke gang rumah, karena kebetulan arah jalan pulang mereka sama. Hingga rasa suka dan ketertarikan di antara mereka tidak terbendung lagi. Dan rasa itupun mengalir seperti air menuju lautan luas. Lautan cinta.
Dan terjebaklah mereka dalam sebuah kisah cinta para pendosa.

Namun belakangan rasa insaf itu akhirnya menghampiri perempuan itu juga. Layaknya manusia yang terbangun dari tidur panjang.
Perempuan itu kembali meluruskan pikiranya. Menimbang kembali hal-hal yang sudah dilewatinya bersama lelaki itu. Dengan hati yang jernih ia termenung saat ia bersama anak dan suaminya. Dipandanginya wajah anak dan suaminya, sekujur tubuhnya seketika bergetar merasa pilu.
Setelah itu hanya penyesalan pedih yang dapat ia rasakan dalam hatinya. Tak mampu meneteskan air mata di depan mereka. Karena itu hanya akan membongkar aibnya sendiri. Deshi akhirnya menguatkan diri dan akan membuang semua itu.

Sore itu hanya tinggal Deshi dan lelaki itu yang berada di kantor. Kebetulan lelaki itu adalah orang kepercayaan si bos dan memang memegang kunci kantor. Sehingga dia pun leluasa perihal jam pulang kantor. Dalam suasana sepi sepertinya masing-masing mereka telah paham akan arah pembicaraan. Terlihat dari mimik wajah mereka.

"Aku merasa bersalah karena telah bersamamu. Kita harus mengakhiri ini" pelan suara Deshi memulai pembicaraan.

"Bersalah..?? Kesalahan itu hanyalah milik ajaran-ajaran orang munafik itu. Ortodoks mereka. Pemikiranya tidak maju." hardik lelaki itu dengan isapan rokok filter putih berada di antar jemari tanganya. Ia tak lagi menatap wanita itu. Tatapanya kini beralih ke gedung-gedung seberang melalui jendela berkaca bening.
"Sesungguhnya mereka itu telah buta, buta oleh doktrin ajaran yang selama ini mengekang pikiran mereka.
Mereka terpenjara oleh jeruji dogma manusia. Ya, dogma manusia biasa yang mengaku utusan pencipta.
Dan dogma itulah yang mempengaruhimu" sambung lelaki itu lagi.

"Kenapa begitu sinis dengan ajaran keyakinanku ?
Tidakkah kamu lihat ajaran itu berdampak baik bagi banyak umat manusia ?" memandang seksama lelaki yang memunggunginya.

"Baik ketika mereka merasa yakin benar dengan membunuh sesama manusia ? Jihad, Martir, atau apalah ?
Lihatlah yang terjadi di berbagai negara belahan dunia ini. Nyawa manusia sudah tidak ada harganya bagi mereka.
Hanya karena sebuah nama yang disembah ?
Nama yang entah dari mana datangnya ?
Mengatakan merekalah yang benar sementara yang lain adalah kafir ? Hagh..!
Memilah-milah manusia berdasarkan anutan ? Itukah keyakinanmu ?"

"Kamu memang sudah gila. Itu hanyalah kelakukan manusia dan sama sekali tidak mewakili keyakinan.
Kamu telah salah menilai keyakinanku dan keyakinanmu sendiri." ujar perempuan itu tidak mau mengalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun